Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, Malaikat Jibril pernah menjelma sebagai manusia untuk ikut nimbrung kepada Nabi saw yang sedang asyik dengan para sahabat. Dalam dialognya, Jibril mengajukan sejumlah pertanyaan yang sebenarnya sudah ia ketahui sebelumnya. Tentunya ini dilakukannya sebagai salah metode pengajaran samawi bagi para sahabat. Satu dari tiga pertanyaan pokok yang diajukan Jibril adalah mengenai al-Ihsân setelah pertanyaan tentang Iman dan Islam. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Nabi saw, Ihsan adalah suatu tingkatan ibadah kepada Allah swt seakan-seakan kita melihat-Nya (tingkatan Musyâhadah), jika tidak mampu mencapainya maka cukup satu tingkat di bawahnya yakni meyakini Allah swt selalu melihat kita (tingkatan Murâqabah). Atas tiga unsur dasar inilah (Iman, Islam dan Ihsan) agama yang dibawa oleh Nabi Besar Muhammad saw dapat berdiri. Sehingga bisa dikatakan ketiganya menjadi rukun agama.
Selanjutnya pengejawentahan Ihsan menjadi sebuah ilmu yang disebut tasawuf. Tasawuf merupakan tangga menuju tingkatan Ihsan. Sebab tujuan utama tasawuf adalah mewujudkan arti Ihsan yang didefinisikan oleh Rasul saw (musyhâdah atau murâqabah). Dalam al-Shûfiyah wa al-Tashawwuf fî Dhau’ al-Kitâb wa al-Sunnah karya Hasyim al-Rifai disebutkan, Muhammad bin Shidiq al-Ghumary menilai, agama seseorang tidak akan sempurna tanpa Tasawuf yang menjadi salah satu rukun agama dan disebutkan secara jelas dalam hadis Jibril. Ahmad al-‘Alawy dalam kitab Risâlah al-Nâshir fî al-Dzabb ʻAn al-Tashawwuf menegaskan mayoritas ulama-ulama besar semua mempraktekkan ajaran tasawuf yang menjadi tujuan inti beragama. Jika dirujuk pada al-Quran dan sunah, istilah yang mewakili ajaran Tasawuf selain Ihsan dalam hadis Jibril adalah Tazkiyyah al-Nufûs (pembersihan jiwa) yang diredaksikan oleh al-Quran dengan wa yuzakkîhim. Pembersihan jiwa ini salah satu tugas yang telah dilaksanakan oleh Rasulullah saw bagi para sahabatnya. Tasawuf mulai dikenal dan digeluti sejak masa slaf salih tepatnya pada masa tabiin. Menurut Abu Thalib al-Makki dalam Qût al-Qulûb, sosok pertama kali yang bermanhaj ilmu Tasawuf adalah Hasan al-Bashri (w. 110H). Penulis Mirqâh al-Mafâtîh Syarh Misykâh al-Mashâbîh, Mula Ali al-Qari menukil suatu ungkapan yang disandarkan pada salah satu pembesar madzhab empat, Malik bin Anas (w. 179 H):
Orang yang mendalami fikih tanpa bertasawuf dia akan mudah berbuat fasiq. Orang yang bertasawuf tanpa berfikih dia akan mudah lepas keimanannya. Siapapun yang menggabungkan antara tasawuf dan fikih dia menjalankan agama dengan benar.
Sayangnya satu dari tiga kepingan yang bernama Ihsan (tasawuf) mulai ditinggalkan oleh umat Islam. Bahkan sebagian kelompok Islam secara terang-terangan menganggapnya bukan ajaran Islam hingga ‘membuangnya’ jauh-jauh. Bahkan ada juga yang berpandangan bahwa ajaran Tasawuf berasal dari agama Budha, Brahma dan beberapa sekte di India. Padahal tasawuf sudah ada sejak masa salaf tabiin. Ada juga anggapan dari kelompok tertentu, nama tasawuf bukan diambil dari bahasa Arab tetapi dari bahasa Yunani ‘Sofia’ yang berarti hikmah karena tasawuf merupakan filsafat Yunani. Sejatinya pandangan-pandangan ini sengaja dimunculkan oleh kelompok tertentu di tengah umat Islam untuk meninggalkan tasawuf yang nota bene adalah esensi dari Ihsan, salah satu ‘kepingan’ agama yang tidak bisa dipisahkan dengan kepingan lain yakni Iman dan Islam. Kalau boleh diibaratkan, iman menjadi dasar beragama. Islam menjadi tata cara pelaksanaan agama. Sedangkan Ihsan menjadi cara merasakan agama. Sebagaimana perumpamaan Syeikh Zaruq yang dinukil oleh Ahmad bin ʻUjaibah dalam Îqâdzh al-Himam Syarh Matn al-Hikam, kedudukan tasawuf dalam agama layaknya keberadaan ruh dalam jasad. [Ali Fitriana]