27.6 C
Jakarta
Array

Tarawih dan Budaya Toleransi Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Artikel Trending

Tarawih dan Budaya Toleransi Masjid UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Labbaika Wa Marhaban Ya Syahra Ramadan. Ramadan tiba, semua umat Islam menyambutnya dengan rasa bahagia membuncah dan gegap gempita. Ramadan merupakan bulan mulia yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam. Semua amal ibadah yang dilakukan di bulan Hijriyah ke sembilan ini dilipat gandakan pahalanya oleh Allah SWT. bagi yang mengamalkannya. Banyak fragmen ibadah di bulan Ramadan ini yang dapat dilakukan oleh umat Islam, di antaranya, berpuasa mulai dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari, sedekah dengan berbagi kebaikan, dan bershalat Tarawih secara berjamaah di masjid.

Berbicara tentang Tarawih, ia merupakan ibadah di bulan Ramadan yang masih kontroversi di kalangan ulama. Banyak ulama berbeda pendapat dalam jumlah rakaat Tarawih. Ada yang mengikuti apa yang dikatakan Siti Aisyah r.a, yang menurutnya Nabi SAW. tidak pernah melakukan shalat malam lebih dari delapan rakaat. Sehingga sebagian ulama berpendapat hadis ini juga berlaku terhadap jumlah rakaat Tarawih. Versi Tarawih selajutnya adalah amalan Sayyidina Umar r.a yang melakukan rakaat Tarawih sebanyak 20 rakaat selain shalat Witir. Sedangkan yang terakhir 36 rakaat (Madzhab Almalikiyah) .

Kontroversi tentang rakaat Tarawih ini tidak hanya riuh dan pikuk di masyarakat perkotaan, melainkan juga di masyarakat pedalaman atau pedesaan. Pengalaman saya yang dari pedalaman sebuah desa di Bangkalan Madura, sikap masyarakat terhadap sejumlah kelompok yang melakukan shalat Tarawih dengan jumlah 8 rakaat, sebelas dengan 3 rakaat Witirnya, memunculkan sikap resistensi yang ekstrim dari lingkungan masyarakat. Mungkin dikarenakan sudah sekian lama masyarakat terbiasa melakukan Tarawih yang berjumlah 20 rakaat. Kecamanpun bermacam-macam, ada yang memberi stigma Islam garis keras, Wahabi, Muhammadiyah dan bahkan dianggap kafir.

Hal ini mengingatkan saya kepada kisah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri organisasi Muhammadiyah di dalam novel Sang Pencerah. Di sana diceritakan bahwa Dahlan mengerjakan shalat Tarawih dengan jumlah 8 rakaat di suraunya sendiri yang terletak di Kauman. Penyematan kata kafir terhadapnya menggemma di mana-mana baik secara verbal atau tidak langsung. Mayoritas masyarakat kauman sinis kepada Dahlan dengan menyebutnya “kiai kafir”. Sebabnya, selain ia berbeda tentang arah kiblat, salah satunya juga akibat berbeda dalam jumlah rakaat Tarawih. Hingga pada akhirnya surau yang dia tempati untuk ibadah dibakar oleh sejumlah kelompok pemuda yang disuruh oleh penghulu Kamaludiningrat (Suaramuhammadiyah.id).

Sangat jelas sengitnya perbedaan yang dialami oleh Ahmad Dahlan, dan yang dialami oleh sekelompok yang berbeda penafsiran tentang rakaat Tarawih di desa saya. Biasnya bukan hanya berhenti di desa saja, akan tetapi terjadi labelisasi oleh masyarakat luas terhadap pesantren kelompok pemuda yang mengusung versi Tarawih tersebut, sehingga di belakangan hari mayoritas masyarakat enggan untuk memondokan putera-puterinya ke pesantren itu.

Hal ini berbeda jauh dengan apa yang saya temukan di Yogyakarta, tempat organisasi Muhammadiyah lahir. Pertengahan tahun 2016, saya tiba di kota Istimewa tersebut, namun yang terekam dalam ingatan bahwa Yogyakarta adalah tempat lahirnya Organisasi Muhammadiyah. Dalam pandangan orang Madura, Muhammadiyah sangat bersebrangan engan Nahdlatul Ulama (NU), bahkan bagi orang awam apabila mendengar kata Muhammadiyah adalah kelompok kafir karena berbeda dengan NU, baik dalam bidang Tahlilan, Budaya, tradisi dan Tarawih.

Ternyata Tarawih di yogyakarta tidak seperti yang saya bayangkan yang hanya menoton 8 rakaat. Akan tetapi juga banyak anggota NU yang ada di Yogyakarta, semua hidup berdampingan dan menakjubkan. Tempat shalat Tarawih yang menarik dan enak di pandang adalah Masjid Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Potret tentang toleransi sangat dirasakan di dalamnya kala menjelang Tarawih tiba. Banyak dan beragamnya jamaah rupanya dipahami betul oleh takmir masjid.

“Jamaah shalat Tarawih yang saya muliakan, sebelum shalat Tarawih dilaksanakan, ada beberapa informasi yang akan kami sampaikan. Pertama, tentang pemsukan infak hari ini sebesar (sekian-sekian). Kedua, yang bertindak sebagai penceramah, yang terhormat Dr. ……. sebagai Imam adalah…… Shalat Tarawih akan di laksanakan sebanyak 20 rakaat, dan bagi yang hendak melaksanakan 8 rakaat kami persilahkan dan untuk tempat shalat witir sudah kami persiapkan di serambi masjid,” 

Begitulah kira-kira pengmuman takmir masjid saat sebelum Tarawih dilaksanakan. Ini sangat the best menurut saya, indah dipandang. Dua prinsip yang berbeda bisa shalat bersamaan dalam satu tempat dan waktu yang sama. Bukan kontroversi dan hujatan yang ditampilkan, akan tetapi sikap saling menghormati dan saling menghargai satu sama lain. Dan, Subhanallah, bukan hanya ditoleransi, akan tetapi juga difasilitasi tempat shalat witir bagi yang melakukannya 8 rakaat.

Betapa indah, damai dan tentram andaikan saja sikap saling menghormati seperti di masjid itu diaplikasikan dalam suasana kebangsaan, supaya tidak lagi terdengar cemoohan dan hujatan sesama bangsa setanah air akibat beda partai politik, pilihan presiden, dan calon-calon lainnya. Tidak hanya dibolehkan berbeda, akan tetapi  saling menjaga dan memberi informasi yang benar dan bermanfaat. Bangsa ini perlu meniru budaya toleransi yang ada di Masjid UIN Yogyakarta.

Salim, Direktur Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) & Pimpinan Redaksi Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY).

[zombify_post]

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru