28.9 C
Jakarta

Tantangan Pemberantasan Terorisme 2021

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTantangan Pemberantasan Terorisme 2021
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tahun 2020 segera berlalu dan tahun 2021 segera datang menjelang. Masa lalu adalah guru, masa depan adalah harapan. Demikianlah semestinya kita dan segenap komponen bangsa menempatkan dinamika perjalanan kehidupan berbangsa. Berbagai tantangan berat segera menanti di tahun depan. Salah satunya penanggulangan terorisme. Hal ini mengingat Indonesia sebagai target potensial penyebaran terorisme pasca-runtuhnya ISIS.

Empat tahun lalu, kaum militan terorisme ISIS menyerbu banyak wilayah Suriah dan tetangganya, Irak. ISIS memproklamasikan pembentukan ‘kekhalifahan’, dengan khalifah Abu Bakr al-Baghdadi. Mereka memaksa menjadi penguasa pada hampir 8 juta orang. Sekarang, aktor terorisme, ISIS, hanya menguasai sekitar 1% dari wilayah yang pernah mereka kuasai.

Runtuhnya ISIS menjadi kabar baik sekaligus mengkhawatirkan. Kabar baik lantaran iklim perdamaian di Suriah dan Irak muncul titik cerahnya. Di sisi lain muncul kekhawatiran, eks militan ISIS kembali dan menyebar ke seluruh penjuru dunia. Mereka jelas membawa paham radikalisme dan terorisme. Dengan demikian, perjuangan mereka kini tidak lagi terkonsentrasi, tapi menyebar atau berdiaspora.

Terorisme Pasca-ISIS

Koalisi pimpinan AS, yang mencakup pasukan Australia, Bahrain, Prancis, Yordania, Belanda, Arab Saudi, Turki, Uni Emirat Arab, dan Inggris, mulai meluncurkan serangan udara terhadap posisi-posisi ISIS di Irak pada Agustus 2014. Koalisi serangan udara terhadap ISIS di Suriah dimulai sebulan kemudian. Sejak saat itu pesawat-pesawat yang dikerahkan sebagai bagian dari Operation Inherent Resolve telah melakukan lebih dari 13.400 serangan udara di Irak dan lebih dari 16.100 di Suriah.

Rusia bukan bagian dari koalisi, melainkan jet-jet tempur mereka mulai melancarkan serangan udara terhadap apa yang disebut ‘teroris’ di Suriah pada September 2015 untuk membantu pemerintahan Presiden Assad.

Kementerian Pertahanan Rusia melaporkan pada Agustus 2018 bahwa pasukannya telah melancarkan 39 ribu serangan udara di Suriah sejak 2015, menghancurkan 121 ribu sasaran teroris, dan menewaskan lebih dari 5.200 anggota ISIS.

Koalisi pimpinan AS berhasil merebut kembali Kota Ramadi, ibu kota Provinsi Anbar di Irak, oleh pasukan propemerintah Irak pada Desember 2015. Selanjutnya Mosul, kota terbesar kedua Irak pada Juli 2017. Pada Oktober 2017, kota Raqqa sebagai ‘ibu kota kekhalifahan’ juga berhasil direbut. Sementara itu, tentara Suriah mampu menguasai lagi Kota Deir al-Zour dan pasukan Irak merebut kembali Kota al-Qaim yang terletak di perbatasan sejak November 2017. ISIS secara de jure dengan demikian telah lumpuh dan runtuh.

Namun, AS melaporkan masih ada 14 ribu militan ISIS di Suriah dan 17.100 militan ISIS di Irak. Kawasan-kawasan ini sudah tidak lagi mereka kuasai sepenuhnya. PBB juga memperkirakan bahwa masih ada pula kantong besar militan ISIS di berbagai negara lain, seperti di Libia antara 3.000 hingga 4.000 orang dan Afghanistan sekitar 4.000 orang. Antara 1.500 hingga 2.000 militan diperkirakan masih bersembunyi di daerah sekitar Kota Hajin, di Lembah Sungai Eufrat Tengah, Suriah.

Kelompok ISIS juga memiliki militan dalam jumlah yang tidak sedikit di Asia Tenggara, termasuk sejumlah pendukung di Indonesia, Afrika Barat, Semenanjung Sinai Mesir, Yaman, Somalia, dan Sahel. Militan ISIS di Irak dan Suriah mengubah taktik dengan kembali ke akar pemberontakan mereka, yaitu dengan melakukan pengeboman, pembunuhan, dan penculikan, sembari mencoba untuk membangun kembali jaringan mereka. Ada pula individu-individu yang terinspirasi ideologi kelompok itu, lalu melakukan berbagai serangan di Eropa dan di tempat lain.

BACA JUGA  Mengonstruksi Ruang Digital yang Steril dari Ekstremisme-Terorisme

Penelitian Soufan Center (2017), memperkirakan bahwa sekitar 5.600 petempur ISIS telah kembali ke kampung halaman mereka di 33 negara di seluruh dunia, antara lain yang terbesar ialah sekitar 900 orang kembali ke Turki. Sekitar 1.200 orang telah kembali ke Uni Eropa, terdiri atas 425 orang ke Inggris, sekitar 300 pulang ke Jerman, dan 300 lainnya kembali ke Prancis.

Ratusan petempur asing lainnya sudah ditangkap dan masih ditahan SDF di kawasan Suriah timur laut yang dikuasai Kurdi. Amerika Serikat menyerukan negara-negara lainnya untuk membawa pulang warga negara mereka yang bergabung dengan ISIS, untuk diadili.

Byman (2019) memaparkan bahwa daya tarik negara Islam dan ideologi al-Qaeda tetap kuat, serta sejumlah kecil pengikut di Barat akan berusaha mengangkat pedang mereka lagi. Namun, saat ini ancamannya kurang mengancam jika dibandingkan dengan 2014.

Tantangan Deradikalisasi

Tumbangnya ISIS di pusat semestinya turut melemahkan pergerakan para anggota dan simpatisannya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Di Indonesia, kelompok terorisme JAD diperkirakan akan masih tetap beroperasi dan belum mengindikasikan kelompok tersebut akan menyerah (Nurdin, 2019).

AS Hikam dalam bukunya Deradikalisasi bahwa negara beserta aparatnya telah kecolongan dalam mengantisipasi masuknya propaganda ISIS ke Indonesia, serta kurangnya penyebaran pemahaman Islam yang benar pada masyarakat.

Dunia harus bersatu dan bersinergi menyikapi penyebaran ideologi radikal pasca-keruntuhan ISIS. Ideologi terorisme ISIS bisa jadi tumbuh sendiri menyebar ke penjuru dunia, tetapi bisa jadi mereka juga berkolaborasi dengan jaringan radikal lain yang sudah eksis di suatu negara.

Perlawanan berbasis dakwah mesti dilakukan dengan pendekatan geo-strategi. Basis sinergi kewilayahan mesti kuat. Militan ISIS yang telah menyabar mesti segera dipetakan rinci hingga titiknya. Mereka mesti diisolasi secara spasial agar tidak berkembang dan minim fasilitas.

Antarnegara mesti bekerja sama. Konon salah satu target pengembangan terbesar ialah Asia Tenggara. Dengan pusatnya, yaitu Filipina, yang sejak lama telah memiliki modal konflik. Indonesia sebagai negara berwarga Muslim terbesar mesti tampil di depan mengoordinasi geo-strategi penyikapannya. Terorisme bukan persoalan ringan.

Komitmen setiap negara dibutuhkan, misalnya, mengadili warganya yang terlibat ISIS. Selanjutnya, saling bertukar informasi dan data intelijen, khususnya terkait dengan indikasi adanya keterlibatan warga negara lain.

Upaya lain, dakwah berbasis teologi damai mesti digencarkan. Indonesia juga harus tampil terdepan. Dai yang berkompeten dapat dikirim ke seluruh dunia yang membutuhkan. Koordinasi dan edukasi juga dapat difasilitasi. Dakwah perdamaian harus menjadi gerakan dan jaringan yang sistematis dan masif. Setiap wilayah yang terendus terkena virus radikalisme dan terorisme mesti dilawan dengan dakwah perdamaian.

Ribut Lupiyanto
Ribut Lupiyantohttps://www.www.harakatuna.com/
Konsultan, Peneliti, Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA). Website: www.ributlupiyanto.com

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru