27.9 C
Jakarta

Tantangan Para Ulama dalam Membangun Bangsa

Artikel Trending

KhazanahOpiniTantangan Para Ulama dalam Membangun Bangsa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam membangun bangsa yang maju besar dan beradab, agama memiliki peran yang sangat besar. Sebagai organisasi sosial keagamaan, sejak dulu para ulama berperan sangat besar dalam mengayomi dan membangun masyarakat, baik melalui pendidikan, dakwah dan sebagainya. Peran ulama yang besar itu diemban oleh para ulama tidak lain karena ulama adalah pewaris dari ajaran para nabi (al-‘ulama waratsah al-anbiya’). Rasululullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya ulama itu pewaris nabi, sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ahmad Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ibnu Hibban)

Sementara tugas ulama selain liyatafaqqahu fiddin, mengggali, merumuskan dan mengembangkan pemikiran keagamaan, juga memiliki tugas-tugas yang tidak kalah pentingnya dan bahkan sangat strategis yang berkaitan dengan masalah sosial dan kebangsaaan yaitu tugas membangun masyarakat yakni membentuk kepribadian. Dalam kaitan dengan masalah masyarakat, ulama masa kini memiliki beberapa tugas: membangun mental spiritual, kepribadian atau karakter, dan wawasan kenegaraan  agar lahir kader atau masyarakat yang memiliki sikap, ketegasan, prinsip serta tanggung jawab.

Karena itu para ulama memiliki tugas kedua yaitu pembangunan bangsa. Dengan adanya pembentukan karakter pembangunan bangsa bisa dilaksanakan dan ini merupakan modal dasar untuk membangun negara. Dengan pembangunan bangsa ini maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani, karena memiliki kepribadian nasional yang kokoh, sehingga dapat berdiri tegak sejajar dengan bangsa-bangsa beradab yang lain. Tugas ketiga adalah kritik membangun. Ini sesuai dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar.

Sebagaimana sering ditegaskan bahwa sikap ulama terhadap negara taat mutlak bahwa negara harus dijaga dan dibela, tetapi terhadap pemerintah yang ada ulama menerap kaum prinsip amar makruf nahi mungkar. Sementara dalam melakukan amar makruf sendiri perlu menggunakan etika, “amar ma’ruf bil ma’ruf.” Barangsiapa mengajak maka dengan cara yang baik pula.

Sikap kritis ulama dalam mendukung atau mengkritik pemerintah berdasarkan pertimbangan etis, bukan oleh pertimbangan politis. Kembali pada upaya pembangunan karakter dan pembangunan bangsa. Ini merupakan langkah yang sangat mendesak saat ini, karena ini merupakan masalah besar yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini ketika sekolah dan lembaga pendidikan lain termasuk lembaga kebudayaan yang ada tidak melakukannya.

Sementara itu globalisasi yang begitu besar menghancurkan sendi-sendi bangsa di semua sektor kehidupan, sehingga terjadi kemerosotan moral dan lunturnya karakter. Penanaman rasa cinta tanah air dan bangga terhadap sejarah serta peradaban itu sendiri dilakukan karena pertimbangan bahwa: “Barang siapa tidak memiliki tanah air dan tidak mencintai tanah air, maka tidak memiliki sejarah, barang siapa tidak memiliki sejarah maka tidak memiliki memori dan karakter.”

Bagi orang atau bangsa yang tidak memiliki memori maka dia akan menjadi bangsa yang tidak memiliki karakter, dan bangsa yang tidak memiliki karakter akan kehilangan segalanya. Politiknya akan hilang, peradabannya akan menetap dan aset ekonominya pun akan dijarah bangsa lain akhirnya akan menjadi yang buruk dan tidak akan baik. Inilah pentingnya menanamkan rasa cinta tanah air, dan karena itu tidak henti-hentinya, ulama-ulama Indonesia sejak dahulu menanamkan rasa cinta tanah air.

BACA JUGA  Pemilu 2024: Stop Sikap Ekstremisme di Ruang Digital!

Lalu di mana letak krisis para ulama terjadi? Kembali kepada kriteria al-Ghazali tentang ulama yang representatif dan mumpuni, maka kita bisa melihat dan menyimak nilai-nilai ikhlas tercederai oleh faktor-faktor eksternal. Produk yang lahir dari kaburnya orientasi itu adalah alumnus-alumnus pesantren yang kurang representatif untuk disebut ulama. Memang, kita tidak bisa mengambinghitamkan begitu saja terhadap faktor-faktor eksternal.

Kita tidak boleh menutup mata terhadap berkurangnya animo santri sekarang ini untuk menggali kitab kuning secara baik dan benar. Bahkan ada beberapa pihak yang mencoba mencari jalan pintas dalam mengkaji ilmu-ilmu agama dengan jalur penterjemah kitab-kitab kuning, yang tentu saja tidak akan bisa sama bertahan dengan tidur.

Ini tidak kecil efek negatifnya, apalagi bagi orang yang telah berkecimpung lama di dunia pesantren. Ada pengurangan dan kemerosotan yang sangat terasa, sebagai suatu hal yang kentara dan tidak akan berubah menjadi satu-satunya momok bagi perjalanan pesantren.

Masalah itu sebenarnya bisa dicarikan solusi dengan pemahaman yang mendalam tentang ilmu agama, di mana teks-teks narasi kitab kuning seharusnya menjadi kontekstual bahkan aktual dalam menjawab masalah-masalah-persoalan sosial itulah letak fikih sosial mampu jembatan solusi dari masalah yang timbul antara ulama, umara dan umat.

Isu krisis ulama agaknya pernah dihadapi dan dihadapi oleh beberapa pihak, khususnya oleh pemerintah. Lebih dari setengah dasawarsa yang lalu dengan berbagai lembaga negara dengan melibatkan banyak ulama di dalamnya, MUI, ICMI bahkan Dewan Ekonomi Syariah. Ada semacam langkah untuk mengisi posisi ulama dalam kehidupan yang menuntut peran ulama lebih besar lagi.

Meskipun banyak pihak yang kurang sependapat dengan isu ulama, tetapi jumlah kuantitas yang terus bertambah, tentu tidak akan cukup dihadapi dengan jumlah pemuka agama yang masih bisa dihitung dengan jari. Akan tetapi langkah tersebut ternyata tidak efektif, bahkan menimbulkan kesan akan menggeser posisi sentral ulama sebagai legitimator masalah-masalah fiqhiyah.

Gambaran situasi di atas sebagai kenyataan dan tantangan serius bagi para ulama dan pesantrennya, sekaligus merupakan dorongan yang kuat terhadap kebutuhan adanya lembaga kader fuqaha yang tertata rapi dengan manajemen dan pendanaan yang memadai. Sudah sangat perlu sebuah formulasi lembaga yang ideal bagi penempaan kader-kader fuqaha yang alami, zuhud dan ikhlas. Sebagai contoh, lahirlah program Aliyah sampai Ma’had Aly.

Itu adalah salah satu jawaban dimana lulusan pesantren dapat setara dengan formalisasi Lulusan Sarjana Agama Perguruan Tinggi Islam. Ini patut kita sambut dengan berpikir positif . Karena itu jauh lebih baik daripada hanya sekedar mencari ijazah program takhasus atau ujian sertifikasi untuk penyetaraan program pendidikan.

Bahkan di kota-kota besar di Indonesia beberapa Mahad Aly sudah membuka program S-2 dengan menampilkan Perguruan Tinggi Islam dalam dan luar negeri. Tentu saja jika program pendidikan semacam itu dibuka yang disesuaikan dengan standarisasi dengan standar perguruan tinggi negeri dan pengawasan oleh BAN-PT yang baik dan ketat serta tidak jor-joran.

Kita khusnuzan, program ini akan banyak membuka celah bagi lulusan pesantren atau lembaga swasta untuk masuk jenjang pendidikan tinggi ini. Namun tentu saja hal itu masih belum mencukupi kebutuhan. Kita masih menanti uluran tangan dan partisipasi penuh dari umat sekalian.

Aji Setiawan
Aji Setiawan
Mantan aktivis PMII UII Yogyakarta dan wartawan Majalah Islam Al-Kisah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru