27.3 C
Jakarta

Tangkal Radikalisme di Kampus, Cipayung Plus Memang Wajib Come Back!

Artikel Trending

KhazanahOpiniTangkal Radikalisme di Kampus, Cipayung Plus Memang Wajib Come Back!
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tahun 1978 sampai kira-kira tahun 1979 merupakan tahun kelam dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Berbekal pengalaman dari peristiwa Malari yang dianggap mengancam pembangunan ekonomi nasional, Soeharto lewat Mendikbudnya kala itu, Daoed Joesof, membuat sebuah aturan yang bernama NKK/BKK.

Aturan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Keorganisasian disusun oleh Mendikbud di tahun yang berbeda, yaitu tahun 1978 dan tahun 1979. Secara langsung, aturan ini membungkam daya kritis mahasiswa dan melakukan kontrol penuh atas kegiatan mahasiswa. Selain itu, organisasi eksternal dilarang masuk kampus karena aturan ini. Prihatin!

Peraturan ini terus berlangsung setidaknya sampai tahun 1987 hingga paguyuban mahasiswa Yogyakarta yang tergabung dalam organisasi FKMY tumpah ruah menghadang Fuad Hasan yang kala itu menjabat sebagai Mendikbud dengan tuntutan pencabutan peraturan menyiksa ini. Sebagai hasil, maka pada tahun 1990, dicabutlah NKK/BKK tersebut.

Nasi sudah menjadi bubur, sebagai akibat dari tidak diizinkannya organisasi pergerakan ekstra mahasiswa memasuki kampus, maka paham-paham keislaman yang jumud, ekstrimisme, eksklusivisme dan radikalisme menyebar luas tak terkendali. Kampus menyikapinya seakan baik-baik saja, tidak ada apa-apa.

Selama lebih kurang 31 tahun, kaum jumudin ‘komisariat’ kampus berhasil menanamkan pahamnya dan menuai hasil yang cukup membanggakan. Wajar, 31 tahun merupakan waktu yang lama untuk melakukan doktinisasi secara turun temurun terhadap mahasiswa, baik yang baru maupun yang bau. Sungguh efektif!

Tahun 2018 merupakan angin segar bagi seluruh organisatoris kampus. Pada saat Mohammad Nasir menjabat Menristekdikti, ia meneken Permen 55 tahun 2018. Dengan Permen ini, organisasi kemahasiswa eksternal termasuk Cipayung Plus dapat kembali ke kampus. Nampaknya tidak perlu disebutkan untuk apa dan apa untungnya jika mereka back to campus.

BACA JUGA  Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Namun bagian yang saya soroti adalah dengan kembalinya mereka ke ‘tempat asalnya’, dinasti radikalisme di kampus dapat secara berangsur tertandingi dan kemudian hancur. Sebenarnya ini yang harus dilakukan dari awal, sebab marwah mahasiswa dan kampus adalah kebebasannya, mental kritisnya dan daya kreatifnya.

Dengan begitu, organisasi kemahasiswaan kampus yang lebih condong ke kanan, di antaranya Gema Pembebasan dan Front Mahasiswa Indonesia (sayap HTI dan FPI yang nampak masih bergerilya) dapat ditangkis dengan kontra-wacana dan kontra-ideologi oleh kawan-kawan Cipayung Plus dan organisasi kemahasiswaan lainnya. Jika boleh menggerutu, penangkal ampuh radikalisme di kampus itu, ya mereka itu, aktivis organisasi Cipayung Plus.

Kaderisasi yang dilaksanakan setiap organisasi member of Cipayung Plus dalam setiap tahunnya, hari ini masih tetap berjalan, seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Himpunan Mahasiswa Buddhis Indonesia (HIKMAHBUDDHI) dan Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (KMHDI).

Selain daya kritisnya terhadap kebijakan ororitas daerah, wilayah dan pusat sebagai agent of social control, atau garda terdepan dalam setiap perubahan sebagai agent of change, atau juga sebagai generasi penerus yang tangguh iron stock, aktivis Cipayung Plus diharapkan memaksimalkan tugasnya sebagai moral force yang menjadi suri tauladan yang baik bagi seluruh lapisan masyarakat.

Moral force membebankan aktivis Cipayung Plus untuk tanggap terhadap fenomena radikalisme dan eksterimisme khususnya di internal kampus. Tugas ini kembali diemban bersamaan dengan ‘diharuskannya’ mereka kembali ke ‘rumah’ dan mengakarnya paham radikal dengan begitu dalam di kalangan mahasiswa, bahkan juga dosen. Wallahu a’lam.

Azis Arifin, M.A
Azis Arifin, M.A
Alumni SPs UIN Jakarta. Alumni Ponpes Asy-Syafe'iyah Purwakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru