Harakatuna.com – Indonesia, negara yang terdiri dari ribuan pulau dan seharusnya mampu memupuk keharmonisan dalam keberagaman, saat ini sedang menghadapi permasalahan besar pada inti keberagamannya. Ada perbedaan halus yang tidak dapat kita pahami, namun tersebar luas dan mengakar dalam beberapa komunitas: radikalisme yang menyamar sebagai agama. Fenomena tersebut sudah berkembang sejak lama, namun nampaknya semakin kuat ketika agama tidak lagi sekadar ruang spiritual, namun berubah menjadi alat politik pemecah-belah.
Sepanjang sejarah, identitas agama kerap menjadi jangkar bagi kelompok-kelompok yang berupaya memposisikan diri di tengah derasnya arus perubahan zaman. Namun permasalahan muncul ketika agama, yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan cinta universal dan persaudaraan, berubah menjadi penghalang kaku yang tidak dapat dilewati oleh perbedaan. Selain itu, agama dijadikan sebagai alat untuk menyebarkan gagasan kebencian dan sikap eksklusif yang menimbulkan ketegangan sosial di masyarakat.
Dalam politik pluralistis di Indonesia, agama, khususnya Islam, kerap menjadi alat utama politik identitas. Radikalisme seolah menjadi “tangan kedua” yang mengaku memperjuangkan kesucian agama, namun kenyataannya hanya bayangan semu dari hasrat politik yang lebih besar. Keinginan untuk menguasai, mengendalikan, dan mendominasi narasi kehidupan berbangsa. Inilah wajah radikalisme yang sebenarnya. Ini bukan tentang kesetiaan pada Tuhan, tapi kesetiaan pada kekuasaan.
Politisasi Keberagamaan Modern
Politik agama bukanlah hal baru, namun perkembangannya di abad modern menunjukkan perubahan yang signifikan. Di masa lalu, agama sering menjadi landasan legitimasi moral untuk menentang kekuasaan tirani. Kita bisa mengingat bagaimana para ulama di masa lalu, seperti KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan menjadikan agama sebagai landasan gerakan moral yang bertujuan untuk membebaskan negeri ini dari penjajahan. Namun saat ini, dalam suasana politik kontemporer, agama justru digunakan untuk mengamankan agenda kekuasaan tertentu dan mengabaikan agenda lain.
Beberapa orang mencampuradukkan kebutuhan politik dengan bahasa agama, sehingga batasannya tidak lagi jelas. Bahkan, bagi sebagian orang, bersikap radikal atas nama agama dianggap sebagai jalan yang mulia, seolah-olah jalan lain sudah tidak penting lagi. Dalam konteks Indonesia, politisasi mengarah pada upaya pembentukan identitas keagamaan yang eksklusif dan tidak memberikan ruang bagi perbedaan. Kisah tersebut bukanlah hal baru, namun sedang mengalami eskalasi yang mengkhawatirkan.
Radikalisme mengambil bentuk baru dalam proses politik. Hal itu menembus gerbang sempit di mana kecemasan akan identitas bertemu dengan ketidakpuasan terhadap kondisi sosial dan politik yang ada. Agama, dalam banyak kasus, bukan lagi sekadar acuan moral pribadi, namun menjadi alat kristalisasi identitas kelompok, yang kemudian dipolitisasi. Apa yang kita lihat saat ini adalah upaya untuk mengkondisikan masyarakat untuk menerima gagasan bahwa “religius” berarti mengikuti narasi unik dari kelompok yang mengklaim otoritas atas kebenaran agama.
Pada titik itulah kita bisa melihat bagaimana agama digunakan sebagai alat untuk membangun tembok antara “kita” dan “mereka”. Di situlah letak permasalahan radikalisme yang berakar pada identitas agama. Hal tersebut menciptakan kesenjangan yang sulit dijembatani, menjadikan perbedaan sebagai ancaman dan bukan aset yang dapat dieksploitasi.
Agama Terjebak dalam Kuasa Simbol
Simbol keagamaan sangat kental dalam budaya Indonesia. Dari penanda pakaian hingga ungkapan keagamaan yang beredar di ruang publik, agama telah merasuki setiap aspek kehidupan kita. Namun, ada ironi yang tak terelakkan: ketika agama semakin banyak muncul di ruang publik, agama justru kehilangan jiwa spiritualnya. Di situlah letak masalahnya. Agama-agama yang terjebak dalam kekuatan simbol pada akhirnya lebih mengutamakan penampilan daripada substansi yang mendalam.
Radikalisme menggunakan simbol-simbol tersebut sebagai sarana untuk menegaskan identitas eksklusif. Tidak mengherankan jika sebagian kelompok meyakini bahwa perwujudan agama yang paling autentik adalah penerapan hukum syariat secara harfiah, tanpa memahami konteks sosial budaya yang lebih luas. Dalam kondisi tersebut, agama tidak lagi berbicara tentang ketuhanan yang inklusif dan mengasuh, namun tentang formalisasi identitas yang sempit dan mengendalikan.
Kelompok radikal kerap memanfaatkan kehausan masyarakat akan pemahaman spiritual yang lebih dalam. Di tengah kegelisahan dan ketidakpastian sosial, agama dijadikan saebagai peramal sekaligus alat untuk mempengaruhi pemikiran dan tindakan. Simbol-simbol agama yang dulunya merupakan cara untuk mengingat Tuhan telah menjadi alat politik, alat untuk menegaskan bahwa bidangnya paling akurat dan sesuai dengan ajaran agama.
Politik Identitas, Menghancurkan Kebhinekaan
Radikalisme selalu berjalan beriringan dengan politik identitas. Dalam konteks Indonesia, politik identitas berbasis agama tidak hanya memecah-belah, namun juga memperparah perbedaan sehingga harus ditangani dengan lebih hati-hati. Pada Pemilu 2019 misalnya, kita melihat agama dijadikan alat untuk memenangkan suara. Narasi keagamaan yang tertanam dalam politik identitas tidak hanya menurunkan kualitas demokrasi, tetapi juga menimbulkan ketegangan yang dapat merusak keutuhan bangsa.
Politik identitas berbasis agama semakin memperdalam kesenjangan sosial antar anggota bangsa. Dalam konteks itu, radikalisme menjadi jalan pintas bagi pihak-pihak yang ingin meraih kekuasaan dengan memanipulasi sentimen agama. Kelompok radikal mengaku memperjuangkan kebenaran, namun mereka mengeksploitasi perasaan tidak puas masyarakat untuk memperkuat posisi politiknya.
Politik identitas berbahaya karena membangun narasi bahwa ada satu kelompok yang lebih suci atau lebih benar dari kelompok lainnya. Dalam dunia politik, tuturan seperti itu akan selalu digunakan oleh mereka yang mempunyai ambisi untuk mengambil alih kekuasaan. Radikalisme agama merupakan alat yang efektif karena dapat menciptakan kohesi kelompok yang kuat di bawah bendera agama, meski pada hakikatnya narasi tersebut hanya sarana untuk mencapai agenda politik yang lebih luas.
Agama: Antara Kekuatan Moral dan Alat Politik
Permasalahan utama radikalisme agama adalah mereduksi makna agama itu sendiri. Di satu sisi, agama harus menjadi kekuatan moral yang mempersatukan, memberikan pencerahan spiritual, dan menciptakan keadilan sosial. Namun, ketika agama ditarik ke dalam ranah politik praktis, agama kehilangan fungsi sebenarnya dan menjadi alat yang melayani kepentingan saat ini.
Agama yang seharusnya mengajarkan cinta-kasih, kebijaksanaan dan toleransi, malah dijadikan alat untuk membenarkan tindakan yang merendahkan nilai-nilai kemanusiaan. Kita harus memahami bahwa radikalisme bukanlah tentang ketaatan terhadap ajaran agama, tetapi tentang penggunaan agama sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik yang sempit.
Ketika agama dipolitisasi, ruang dialog menyempit. Tidak ada lagi ruang untuk perbedaan pendapat, karena yang mendominasi adalah narasi yang unik dan dipaksakan. Hal itulah yang menjadi tantangan terbesar masyarakat Indonesia saat ini. Radikalisme yang berbalut agama merusak semangat gotong-royong, menghancurkan persatuan dan pada akhirnya melemahkan bangsa.
Jalan Keluar dari Politisasi Agama
Indonesia harus kembali ke akarnya sebagai bangsa yang menganut keberagaman dan toleransi. Radikalisme yang berbasis agama hanya akan merusak tatanan sosial yang telah dibangun dengan susah payah. Dalam hal ini, pendidikan menjadi kunci untuk mencegah radikalisasi. Masyarakat harus memahami agama secara mendalam, bukan sekadar simbol kosong, melainkan hakikat agama sebagai kekuatan moral dan spiritual yang utuh.
Kita juga perlu menciptakan ruang dialog terbuka dan saling menghormati perbedaan. Hanya dengan cara itulah kita dapat melawan narasi radikal yang merusak dan kembali pada hakikat agama yang sebenarnya: menjadi jembatan antara manusia dengan Tuhan dan antar manusia.
Bagaimanapun, radikalisme dan politik agama hanyalah hambatan sementara. Dengan hati nurani yang baik dan upaya bersama, kita dapat mengembalikan agama ke tempatnya yang semestinya: sebagai kekuatan yang mempersatukan, bukan memecah-belah.