26.2 C
Jakarta

Taliban di Afghanistan; Seperti Itukah yang Diinginkan Pejuang Khilafah di Indonesia?

Artikel Trending

Milenial IslamTaliban di Afghanistan; Seperti Itukah yang Diinginkan Pejuang Khilafah di Indonesia?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Tidak seperti nyawa manusia, ideologi tidak akan pernah mati. Perang melawan ideologi adalah perang adu nyali, adu argumen. Siapa yang menyerah duluan, ia yang kalah, tidak peduli seberapa besar biaya dihabiskan. Menurut perhitungan proyek biaya perang di Brown University, seperti dilansir CNBC Amerika Serikat (AS) telah menghabiskan sekitar US$ 2,26 triliun sejak tahun 2001 untuk melawan Taliban. Tetapi pejuang khilafah tersebut akhirnya tetap jadi pemenang.

Afghanistan sedang mencekam. Trauma kolektif kekejaman Taliban dua dasawarsa silam belum sembuh. Malala Yousafzai, bocah cilik yang ditembak di leher dan kepala saat perjalanan pulang dari sekolah pada 9 Oktober 2012 oleh Taliban mencuit di Twitter ihwal kekhawatiran terampasnya kembali hak-hak perempuan untuk sekolah dan berkarir di ruang publik. Maka tidak heran, penduduk Afghanistan banyak yang ingin kabur ke mana saja yang penting tak menetap di Afghanistan.

Lepas dari ketakutan itu BBC melaporkan, keadaan di Kabul, ibukota Afghanistan, lengang dan sunyi. Ketika Taliban ambil alih pemerintahan, merek berjanji akan menghormati hak perempuan. Rumor beredar, mereka yang kabur adalah orang-orang korup yang takut dibunuh, tapi itu tidak benar karena di bandara, kemarin, yang hendak kabur bukan hanya politisi atau pejabat. Jadi tidak bisa disangkal bahwa terhadap pejuang khilafah, banyak orang belum menaruh percaya.

Islamic Emirate of Afghanistan, alias Negara Islam Afghanistan, sedang diharap-harap cemas oleh semua pihak. Jika Taliban menepati janji untuk berubah dan tidak brutal seperti di masa lalu, maka itu akan menjadi kabar baik. Artinya, setelah AS lepas tangan, selamatnya Afghanistan dari perang adalah cita-cita, apalagi jika pemerintahannya memiliki visi untuk menjadi negara berdaulat. Tetapi, pertanyaannya, apakah pejuang khilafah di Indonesia bisa dapat justifikasi?

Di media sosial, netizen Indonesia sudah banyak yang berkomentar tanpa dasar dan wawasan keilmuan, yang seluruhnya menyeret Taliban sebagai “pejuang khilafah” seperti para dedengkot HTI. kesimpulannya, para netizen ingin mengkhilafahkan Indonesia, dengan acuan bahwa dari sanalah, hanya dengan cara itu, Islam akan berjaya. Kontra-narasi propaganda khilafah seakan terpojok. Tetapi apakah benar Taliban bisa jadi hujah pejuang khilafah di Indonesia?

Taliban, Relevan dengan Indonesia?

Delegasi Taliban pernah ke Indonesia untuk belajar bagaimana mengelola negara dan agama. Karenanya, banyak yang optimis bahwa Afghanistan di bawah kekuasaannya benar-benar akan mengakhiri perang yang bergulir puluhan tahun. Taliban di Afghanistan boleh jadi punya cita-cita mendirikan negara Islam seperti Brunei, misalnya. Sah-sah saja. Lagi pula, AS sudah mengajari demokrasi dua puluh tahun di sana dan tidak ada hasilnya.

Namun, apakah Taliban relevan dengan Indonesia itu adalah persoalan lain. Hari ini ada upaya menyamakan perjuangan Taliban dengan pejuang khilafah di Indonesia. Yang demikian jelas tidak tepat karena dua alasan. Pertama, milisi Taliban berbeda dengan Hizbut Tahrir seperti yang marak di Indonesia. Kedua, Indonesia berbeda dengan Afghanstan. Dua alasan tersebut menjadikan Indonesia tidak bisa menerapkan kekhilafahan, lebih-lebih kekhilafahan yang dimaksud palsu dan manipulatif.

BACA JUGA  Overdosis Ajaran Radikal Manipulatif di Media Sosial

Dengan demikian, dalam konteks memilih sistem pemerintahan, paling sedikitnya dua hal bisa menjadi pertimbangan. Pertama, daerah dengan basis Islam. Afghanistan masuk dalam kategori ini, dengan populasi Islam mencapai 99,7 persen. Islam adalah identitas dan status quo, ia tidak akan mati secara ideologis meskipun negara adidaya seperti AS mencekoki demokrasi. Tidak sebagai sistem, meskipun ke depan, kedamaian di sana mengharusnya meniscayakan iklim demokratis.

Kedua, mayoritas Islam yang menjunjung tinggi kebinekaan. Brunei, misalnya. Sistem pemerintahannya bukan khilafah tahririyah sebagaimana yang HTI perjuangkan. Namun, Brunei menjadikan Islam sebagai asas kenegaraan, dengan tetap menjunjung pluralisme dan menentang ekstremisme. Hubungan bilateral dengan AS, misalnya, mencakup perjanjian damai, persahabatan, perdagangan, dan navigasi. Tetapi, bagi pejuang khilafah di Indonesia, AS adalah musuh; kafir.

Di sini perlu digarisbawahi bahwa upaya membandingkan Indonesia dengan Afghanistan sangat tidak pas, tidak relevan, dan terlalu memaksa. Konsep khilafah ala HTI ditolak banyak negara, bahkan oleh negara yang menjadikan Islam sebagai asas pemerintahannya. Apalagi di Indonesia yang sangat pluralistis. Konsensus mengenai agama dan negara, di negeri ini, sudah final. Para pejuang khilafah adalah tamu perusak yang harus ditumpas.

Menumpas Pejuang Khilafah

Pejuang khilafah di Indonesia, paling santrer, berasal dari kalangan HTI. Ikhwanul Muslimin melalui afiliasinya menempuh jalur non-konfrontatif, sementara para Salafi kontemporer yang menganut ideologi takfiri memfokuskan diri pada upaya pengingkaran yang apolitis dan berorientasi kesalehan individual. Kesamaan dari mereka adalah menganut taqiyah, sikap hipokrit yang menentang satu konsep sembari menikmatinya secara diam-diam.

Ke depan, pejuang khilafah akan semakin bergerilya, apalagi jika Taliban benar-benar berubah dan insaf dari kekejaman masa lalu. Meski tidak relevan untuk Indonesia, para dedengkot khilafah di negara ini akan mencari pembenaran Afghanistan sebagai contoh dari propaganda mereka. Artinya, narasi khilafah akan semakin mereka rindukan dan semakin menarik simpatisan. Secara tidak langsung, medan untuk menumpas mereka akan semakin menemukan tantangan.

Maka di sini, sebelum segala keburukan dan propaganda terjadi, perlu diwanti-wanti. Afghanistan berbeda dengan Indonesia secara geografis dan sosial-politik. Islamic Emirate of Afghanistan juga tidak sama dengan khilafah tahririyah yang dimotori HTI. Jika ada yang berusaha menyeret Afghanistan ke Indonesia, dengan kata lain Talibanisasi Indonesia, maka ia bukan hanya buta melihat negeri sendiri, melainkan juga tidak paham konsep khilafah palsu yang HTI mainkan.

Terakhir, jika pejuang khilafah ngebet ingin meniru Taliban, yakni menjadikan Indonesia menjadi negara Islam dan mengabaikan segala ketidakmungkinan, langkah terbaik jika tidak bisa ditumpas adalah membuangnya ke Afghanistan. Di sana, mereka akan banyak kawan, dan sampah di negeri ini akan berkurang.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru