31.8 C
Jakarta

Taliban dan Titik Terang “Islam Kulit” di Indonesia  

Artikel Trending

KhazanahOpiniTaliban dan Titik Terang “Islam Kulit” di Indonesia  
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam sebuah kanal YouTube Indonesia diunggah video dengan judul “Pesan Berani Jubir Taliban untuk Pendiri Facebook”. Judul ini nampaknya cukup memprovokasi umat Islam. Meskipun begitu, tentu bukan judul ini yang akan penulis soroti. Karena wajar saja pembuat konten membuat judul yang nyentrik guna menarik penonton.

Dalam video yang berdurasi kurang lebih tiga menit tersebut, muncul sebuah komentar, “Aku melihat keteduhan dan ketenangan di raut wajah orang-orang Taliban, raut dan suasana seperti yang Allah berikan kepada orang-orang beriman”.

Komentar ini nampaknya diamini oleh banyak pengunjung kanal tersebut dibuktikan dengan 1900 like tanpa ada dislike. Lalu muncul sebuah komentar dengan nada mengkritik komentar tersebut, “wkwkw muka teduh? Emang tuh muka pake payung? Wkwkwk muka-muka yang suka bawa rudal lu bilang muka-muka teduh?”.

Komentar ini nampaknya menyinggung cukup banyak pengunjung kanal YouTube tersebut hingga bermunculan ratusan komentar dengan narasi bahwa si pemilik akun adalah orang munafik, pembela orang-orang kafir dan seorang kafir karena telah menghina Taliban.

Lalu si pemilik akun kedua ini membalas lagi, “saya pengennya Islam itu maju, berteknologi dan berpengetahuan”. Namun komentarnya ini ditimpali lagi, “percuma berteknologi, jika tidak diberkahi Allah”.

Sebelumnya, penulis ingin tegaskan bahwa tulisan ini bukanlah untuk mendudukkan benar atau salahnya Taliban. Karena untuk menjawab pertanyaan ini dibutuhkan kajian mendalam dengan data yang valid.

Tulisan ini juga bukan untuk menghakimi pendirian dan kepercayaan seseorang. Karena bagaimanapun itu merupakan kemerdekaan mereka. Namun sebagai pribadi yang memiliki kemerdekaan pula, penulis juga mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan pemikiran penulis.

Lalu apakah yang menjadi sorotan dalam tulisan ini? Yang akan jadi pokok pembicaraan penulis adalah dialog-dialog yang terjadi di kolom komentar di video yang sudah penulis ilustrasikan sebelumnya.

Mungkin terlalu naif, jika penulis katakan bahwa komentar tersebut menjadi tanda bahwa setiap orang yang berkomentar positif adalah Taliban. Dan tentu penulis tidak akan mengatakan hal itu. Namun harus kita akui bahwa komentar tersebut adalah refleksi dari sebagian masyarakat muslim Indonesia dalam merespons tindakan Taliban. Dan refleksi ini menurut penulis memperlihatkan bagaimana mereka mendefinisikan Islam.

Dalam komentar tersebut dapat kita lihat bahwa ada dua kubu yang sedang merespons Taliban. Kubu pertama setuju dan mendukung aksi Taliban, sedangkan kubu kedua sebaliknya. Nah akan penulis kritisi dan soroti adalah kubu pertama tadi, mereka yang mendukung Taliban.

Dari komentar tersebut dapat kita lihat bahwa ada beberapa indikasi yang dijadikan dasar oleh para pemilik komentar positif untuk mendukung Taliban. Indikasi-indikasi tersebut adalah jenggot, jubah, sorban, anti-Barat dan “kata-kata mujahidin di jalan Allah”. Tiga bagian utama dari indikasi tersebutlah yang akan penulis berikan sebuah perspektif pembanding.

Sebagian muslim cenderung susah membedakan mana yang Arab dan mana yang Islam. Mereka cenderung menyamakan bahwa Arab adalah Islam. Apa saja yang berbau Arab adalah Islam. Jenggot adalah Islam, jubah adalah Islam, sorban adalah Islam, tidak menggunakan atribut tersebut berarti tidak Islami.

Begitu juga makan onta lebih berpahala dibandingkan memakan sapi, makan kambing lebih utama dari memakan ayam, makan kurma yang tumbuh di Arab lebih utama dari apel yang tumbuh di Eropa. Cara berislam seperti ini tentu keliru. Memang tidak ada salahnya jika seseorang ingin mengenakan sorban, jubah ataupun berjenggot.

BACA JUGA  Ini Kriteria Profetik Calon Pemimpin yang Wajib Diketahui

Namun menjadikan atribut-atribut tersebut sebagai satu-satunya representasi dari Islam itulah yang salah. Sebagaimana yang dibicarakan sendiri oleh Al-Qur’an dalam Q.S Al-Hujurat [49]: 13 bahwa ukuran manusia terbaik adalah takwa, yaitu manusia yang rasa takutnya tinggi kepada Allah, sehingga menjalankan seluruh kewajiban dan menjauhi larangan-Nya.

Lalu siapakah yang tau mana orang yang lebih bertakwa di antara manusia, sedangkan taqwa itu adalah sesuatu yang abstrak? Tentu saja Tuhanlah yang berhak mengklaim bahwa manusia ini adalah yang paling baik dan bertakwa. Karena takwa itu terletak di hati, bukan di jubah, jenggot, sarung, kopiah atau bahkan di kurma.

Pada saat kita renungi ayat di atas, maka kita akan sadar bahwa tidak sepantasnya aspek-aspek luar dijadikan ukuran akan dalam atau dangkalnya Islam seseorang. Namun faktanya, masih banyak juga masyarakat Islam yang lebih mementingkan kulit dibandingkan isi. Ini adalah hal pertama yang ingin penulis soroti.

Sorotan kedua dari dialog di atas adalah kurang peduli terhadap kemajuan pengetahuan dan teknologi. Dialog di atas memberi gambaran kepada kita bahwa masih ada anggapan bahwa Islam dan teknologi adalah dua hal yang berbeda. Islam adalah satu dengan teknologi adalah satu hal yang lain pula.

Ilmu tafsir, ilmu fikih, ilmu hadis dan ilmu tasawuf adalah Islam sedangkan ilmu kedokteran, ilmu fisika, ilmu komputer, ilmu ekonomi, ilmu matematika, ilmu insinyur adalah ilmu kafir, sehingga biarlah orang-orang “kafir” saja yang menguasainya. Cara pandang seperti ini menurut penulis sangat kuno dan kolot sekali.

Untuk orang yang masih berpikir seperti itu. Ke mana saja anda selama ini?, padahal jika kita telusuri lembar sejarah Islam secara umum dan Islam Indonesia secara khusus, Soekarno jauh-jauh hari sudah tunggang-tanggik menumpas kekolotan itu.

Dalam sebuah tulisan dari buah pikiran Soekarno pada 22 April 1936 ia menuliskan,

“Demi Allah ‘Islamic science’ bukan hanya pengetahuan Al-Qur’an dan hadis saja; ‘Islamic science’ adalah pengetahuan Al-Qur’an dan Hadis dan pengetahuan umum! Orang tak dapat memahami betul Al-Qur’an dan Hadis, kalau tak berpengetahuan. Walau tafsir-tafsir Al-Qur’an yang masyhur pun dari zaman dahulu, yang orang sudah kasih titel tafsir yang ‘keramat’, seperti misalnya tafsir al-Baghawi, tafsir al-Baidhawi, tafsir al-Mazhari dan lain-lain, masih bercacat sekali; cacat yang saya maksud ialah misalnya: bagaimanakah orang bisa mengerti betul-betul firman Tuhan bahwa segala sesuatu itu dibikin oleh-Nya ‘berjodoh-jodohan’, kalau tak mengerti biologi, tak mengetahui elektron, tak mengetahui posistif negatif, tak mengetahui aksi reaksi? Bagaimanakah orang bisa mengerti firman-Nya, bahwa ‘kamu melihat dan menyangka gunung-gunung itu barang keras, padahal semua itu berjalan selaku awan’ kalau tak mengetahui astronomi?”.

Nampak di sini bahwa usaha untuk memajukan daya pikir umat Islam sudah dilakukan jauh-jauh hari. Bahkan sebelum Soekarno kita telah mendengan nama-nama tokoh sohor untuk menumpas kekolotan dunia Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain-lain.

Maka tidak masuk akal rasanya, ketika Soekarno yang belum mengenal teknologi secanggih abad-21 ini bisa berpikir semaju itu, dan orang yang hidup di abad-21 itu sendiri tidak menyadarinya.

Robby Hidayatul Ilmi
Robby Hidayatul Ilmi
Alumni Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru