26.2 C
Jakarta

Taliban dan Al-Qaeda (II): Akankah Teroris JI Ikut Bangun dari Lokasi Tiarapnya?

Artikel Trending

Milenial IslamTaliban dan Al-Qaeda (II): Akankah Teroris JI Ikut Bangun dari Lokasi Tiarapnya?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jika Taliban menguasai pemerintahan Afghanistan, sebagaimana pernah terjadi dua dekade lalu, satu hal yang tidak dapat dihindarkan adalah, mereka butuh pengakuan internasional. Untuk itu, peluang memusuhi Al-Qaeda boleh jadi besar, sebagai konsekuensi geopolitiknya. Tetapi bagaimana dengan kemungkinan bahwa Afghanistan akan kembali menjadi sarang i’dad teror, sebagaimana yang para teroris JI lakukan tahun 2000-an? Indonesia, mungkin, sedang dalam bahaya.

Membahas Al-Qaeda, Jemaah Islamiyah (JI) tidak bisa diabsenkan. Membahas terorisme di Indonesia, Afghanistan juga tidak bisa dilepaskan. Para teroris yakin terhadap nubuat bahwa di akhir zaman, pemegang bendera hitam-putih yang dikabarkan akan keluar melalui Khurasan adalah mereka. Siapa pun yang memerintah, Afghanistan sudah tercap sebagai teritori yang dinubuatkan untuk mereka. Ini penting dicatat karena, kebangkitan mereka, para teroris, tidak lepas dari itu.

Yang dibutuhkan oleh Al-Qaeda maupun militan teroris lainnya untuk berkembang adalah situasi yang kacau dan tidak stabil. Semua tanda menunjukkan bahwa di Afghanistan, mereka akan mendapatkannya (Frank Gardner, 2021). Apakah di sini hendak ditegaskan bahwa semua kekacauan terjadi karena AS lepas tangan dari Afghanistan? Inferiority complex semacam ini harus disingkirkan. Dengan atau tanpa AS, Afghanistan adalah teritori yang mesti selalu dikhawatirkan. Ini di satu sisi.

Di sisi yang lain, teroris JI di Indonesia sedang menunggu momen yang pas untuk berontak dari tempat tiarapnya. Menurut Stanislaus Riyanta, analis intelijen dari Universitas Indonesia, JI memang menjadi sel tidur ketika kelompok yang berafiliasi dengan ISIS seperti JAD, JAT, JAK, Daulah Nusantara, dan MIT tengah eksis. Ketika ISIS dan afiliasinya surut, JI bangkit. Maksud “sel tidur” bukan berarti benar-benar tidak beraktivitas. Konsolidasi teroris JI terus berlanjut: kaderisasi sembari tiarap menunggu siap.

Konflik Afghanistan adalah agin segar terorisme, terutama bagi teroris JI. Meskipun tewasnya Noordin M. Top seolah membungkam JI, anak didik Al-Qaeda di Indonesia tidak berkurang militansi sedikitpun. Mereka, dalam waktu dekat, mungkin punya akses besar ikut pelatihan militer ke Afghanistan. Penerus Amrozi cs mungkin tengah siap-siap. Maka jika teroris JI ingin bangkit dari tempat tiarap, menebar teror, bukankah momentumnya sudah lengkap? Dan bukankah itu patut dikhawatirkan?

Teroris JI, Anak Didik Al-Qaeda

Perbedaan teror hari-hari ini, utamanya yang diaktori JAD, adalah motifnya yang sporadis dan dampaknya yang relatif kecil. Rata-rata pakai bom bunuh diri, dan sering kali gagal karena tidak memakan korban kecuali pelaku sendiri. Beda kelas dengan teroris JI yang sekali beraksi, ratusan orang akan jadi korban. Bom Bali dan sejumlah teror dari 2001 hingga 2008 adalah bukti betapa mengerikannya mereka.

Satu-satunya alasan dari kebrutalan teroris JI ialah karena milisinya dilatih di kelas internasional. Ali Imron, eks-teroris Bom Bali, mengaku bisa merakit bom dengan daya ledak besar, dan bagi jihadis JI itu merupakan sesuatu yang lumrah. Mereka anak didik teroris internasional. Para alumni Afghanistan, di bawah kendali Al-Qaeda, tidak diragukan lagi kemampuannya. Barat tengah mengkhawatirkan Al-Qaeda bangkit, sementara Indonesia harus waspada teroris JI beraksi kembali.

Sementara Taliban akan menguasai Afghanistan, Barak Mendelsohn, pakar terorisme di Haverford College (2021) mengatakan bahwa Al-Qaeda sedang mengalami desentralisasi. Ayman al-Zawahiri, pengganti Osama bin Laden, tidak sekarismatik pendahulunya. Zawahiri telah menyaksikan Al-Qaeda membentangkan jejaring operasionalnya dari Afrika Utara ke Somalia, ke Afghanistan, serta di Suriah dan Irak. Kekuatan Al-Qaeda ada di masing-masing afiliasinya.

BACA JUGA  War Takjil: Potret Kerukunan Antarumat yang Harus Dilestarikan

Di Indonesia, sebagai anak didik Al-Qaeda, teroris JI lebih militan dan memiliki jaringan paling rapi. Tidak semua orang bisa masuk JI, seleksi ketat, dan rekrutmen mengambil terutama dari kalangan pesantren yang terafiliasi dengan JI. Di Indonesia, pesantren JI banyak sekali. Beberapa waktu lalu, teroris JI mengirim lebih dari 50 orang ke Suriah untuk berlatih ke Jabhah an-Nusrah, afiliasi Al-Qaeda. Kengerian bertambah dari sisi finansial: mereka sangat kaya dan sumber pendanaannya bermacam-macam.

Adi Briantika (2021) mengatakan, mengutip Stanislaus Riyanta, jika pun teroris JI ditangkap, susunan struktural mereka akan segera berubah dan rapi kembali. Mereka juga akan mempercepat aksi sebagai bentuk balas dendam dan eksistensi. Al-Qaeda dan JI bukan teroris abal-abal yang bisa diremehkan. Dalam suatu forum, Benny Jozua Mamoto, Ketua Harian Kompolnas bahkan mengaku terkagum-kagum melihat bagaimana rapi dan jauhnya langkah teroris JI.

Yang mesti digarisbawahi, Al-Qaeda tidak mati. Colin Clarke, Direktur Penelitian Lembaga Pemikir Soufan Center di AS mengatakan, “Masih terlalu dini untuk menulis obituari kelompok ini.” Dengan melihat kedekatan guru-murid antara Al-Qaeda dengan JI di satu sisi, dan melihat peluang besar bangunnya Al-Qaeda di Afghanistan di sisi lainnya, apa yang sudah Indonesia persiapkan untuk menanggulangi bangkitnya teroris JI dari tempat tiarapnya?

Bagaimana Strategi Pemerintah?

Harap-harap cemas akan bangunnya teroris JI harus disikapi dengan langkah terukur. Jika terjadi, itu akan menjadi periode kedua JI beraksi, setelah masifnya mereka dalam rentang 2001 hingga 2008; Amrozi cs hingga Noordin M. Top. Meski BNPT concern di bagian strategis mencegat pergerakan mereka, bagi teroris bukanlah sesuatu yang sulit. Apakah dengan demikian, pemerintah akan kecolongan dengan kebangkitan JI tersebut?

Diakui atau tidak, keadaan demokrasi negara ini sedang tidak baik-baik saja. Sebagian kalangan menganggap, koalisi yang gemuk tidak saja melahirkan oposisi tangguh, melainkan menjadikan antipati dan kebencian terhadap demokrasi itu sendiri. Pemerintah mungkin akan merasa aman karena civil society mayoritas: NU-Muhammadiyah, berada di pihak mereka. Tetapi sejauh mana keduanya bisa mengonter terorisme atau memoderasi “orang yang berpotensi” jadi teroris?

Karenanya, pemerintah tidak bisa menyepelekan masalah ini. Afghanistan sudah siap mengakomodasi teroris, setelah Jabhah an-Nusrah di Suriah misalnya tidak lagi memungkinkan. Perihal militansi, mereka tidak perlu diragukan. Yang mesti dipertanyakan terus-menerus adalah kekompakan seluruh elemen di Indonesia untuk menghadang bangunnya teroris JI. Faktanya, di kalangan masyarakat, perdebatan seputar terorisme ada atau tidak, fakta atau konspirasi, tidak pernah selesai.

Cukuplah Bom Bali, Bom Natal, Bom JW Marriott dan sejumlah teror lainnya menjadi preseden betapa buruk dan brutalnya teroris JI dan betapa mengerikannya jika itu kembali terjadi hari ini, setelah pintu Afghanistan terbuka lagi untuk para milisi terorisme. Jika seseorang hendak meremehkan kengerian tersebut, dan menyangsikan bangunnya JI dari persembunyiannya, dia harus bertanya pada dirinya sendiri: “Sudah siapkah saya mati berkeping-keping?”

Bersambung…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru