Serangan terhadap empat Gereja dan tiga hotel berbintang mengguncang Sri Lanka beberapa waktu lau. Bagi rakyat Sri Lanka, tragedi tersebut merupakan preseden terburuk karena menewaskan 253 orang. Bagaimana teroris melancarkan aksinya, jelas jauh di luar nalar normal, dan tanpa simpati kemanusiaan.
Pengeboman tersebut bahkan mengejutkan dunia karena, sebagaimana laporan kepolisian Sri Lanka, dikomando Hashim dari National Thowheeth Jama’ath, yang berafiliasi dengan ISIS. Dunia seolah disadarkan bawa sel gerakan terorisme ISIS ternyata belum sepenuh tumpas. Walaupun, basis gerakan mereka di Suriah diberitakan telah hancur.
Ini juga menunjukkan, bahwa gerakan terorisme sudah menjangkau berbagai belahan dunia. Salah satunya disebabkan kesuksesan mereka merekrut anggota baru lewat internet dan media sosial. Bukti konkretnya sudah jelas. Eks WNI ISIS yang terjebak di Suriah adalah satu di antaranya. Mereka ditipu, tetapi saat awal direkrut, menganggapnya dibantu.
Indoktrinasi Teroris
Buku berjudul “Jihad Selfie: Dying for Significance” yang ditulis Noor Huda Ismail dan Bambang Wahyudi ini menjelaskan bahwa pola rekrutmen anggota baru adalah dengan mengajak mereka bergabung dengan organisasi teroris. Anggota baru ini diajak dengan pelan, didoktrin, dicuci otak dan akhirnya menjadi teroris pula.
Pola baru yang sekarang berkembang adalah cukup dengan menyebarkan informasi agitatif lewat media sosial berupa framing keadaan dunia Islam. Ini ternyata efektif. Banyak kaum milenial tertarik, bersimpati, memberikan sumbangan harta, bahkan jadi relawan. “Media sosial mengubah pendukung pasif menjadi pendukung aktif,” tulis buku ini, di halaman 20.
Buku ini merupakan catatan dokumenter tentang beberapa remaja dari Indonesia yang terlibat aksi terorisme internasional. Pelacakan pertama dimulai dari Turki dan Mesir, negara tempat banyak remaja Indonesia melanjutkan studi. Lalu dilanjutkan ke Indonesia, tempat asal atau daerah kelahiran mereka.
Di Turki, buku ini melacak Teuku Akbar Maulana, remaja asal Aceh, usia 17 tahun yang menjadi tentara ISIS prospektif. Benih ketertarikannya pada ISIS berawal sejak dia banyak berkomunikasi lewat media sosial dengan temannya, Yazid, asal Aceh pula yang duluan bergabung dengan ISIS.
Dari Yazid, Akbar mendapatkan informasi pelatihan militer ISIS. Iming-iming makanan dan minuman gratis, pengalaman menjelajah dunia Timur Tengah, serta jaminan surga lewat jihad. Lambat laun dia tertarik, maka tidak lama kemudian juga terjerumus ke sarang teroris.
“Setelah melihat-lihat foto dan video mereka, aku juga ingin sekali seperti mereka. Sepertinya berjihad itu keren. Apalagi kan pasti banyak rekrutan. Aku lihat orang ini aja bisa kok. Aku pasti lebih bisa,” kata Akbar, di halaman 76.
Selain Yazid, Akbar juga terpengaruh oleh aksi jihad Wildan yang terkenal karena melakukan bom bunuh diri. Buku ini lantas melacak tentang Wildan di Mesir. Menurut teman-temannya sesama Indonesia, Wildan adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar yang cerdas. Nilainya terbaik. Pendiam. Jarang bergaul dan berbicara. Menghilang setahun tanpa kabar lalu tersiar berita tewas melakukan aksi bom bunuh diri.
Melacak Benih
Buku ini lantas melacak latar belakang kehidupan Wildan di Indonesia. Sebelum berangkat ke Mesir, Wildan pernah belajar di pesantren Al-Islam di Lamongan. Pesantren ini didirikan keluarga Ali Gufron, salah satu pengebom di Bali dan veteran perang di Afghanistan.
Pesantren ini termasuk anomali dibandingkan pesantren umumnya di Indonesia. Pesantren ini tidak hanya mengajarkan ilmu agama. Namun, sejak tahun 2000, juga mengajarkan keterampilan membuat senjata dan merakit bom. Santrinya yang berjumlah 150-an rata-rata berasal dari daerah konflik seperti Poso dan Ambon.
Guru pengajarnya merupakan alumni terbaik dari pesantren tersebut. Ajaran jihad merupakan prioritas di pesantren ini. “Barangkali ajaran jihad melawan musuh Islam itu tumbuh dan mendapatkan penyaluran saat Wildan pindah ke Kairo,” tulis buku ini, halaman 144.
Menurut buku ini, virus terorisme bisa dicegah terutama oleh keluarga. Komunikasi yang harmonis dalam keluarga akan membuat para remaja akan berpikir jauh sebelum bergabung dangan gerakan teroris. Para remaja yang bergabung dengan gerakan teroris awalnya mengalami kegalauan pikiran akibat beragam doktrin dan informasi yang mereka terima.
Komunikasi mereka dengan keluarga kurang. Ikatan emosional juga lemah. Akibatnya mereka mencari tempat konsultasi. Biasanya kepada teman. Nahasnya teman yang mereka jadikan konsultas justru mengarahkan mereka ke gerakan teror tersebut.
Bagaimana teroris merekrut anggota, secara melacak mereka yang sudah tergabung, menjadi faktor mengapa buku ini sangat istimewa, terutama ketika hari ini ISIS sedang gencar dibicarakan.
Judul buku : Jihad Selfie: Dying for Significance
Penulis : Noor Huda Ismail dan Bambang Wahyudi
Penerbit : Noura
Cetakan : Juli 2018
Tebal : 223 halaman
ISBN : 978–602-385-534-6
Redy Ismanto, Alumni Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya.