28.9 C
Jakarta
spot_img

Takfirisme dan Rasisme: Ancaman bagi Persatuan Umat

Artikel Trending

Milenial IslamTakfirisme dan Rasisme: Ancaman bagi Persatuan Umat
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ketika saya menonton beberapa video di YouTube, membaca unggahan di media sosial seperti X dan Facebook, ternyata masih banyak pemuka agama yang menggemakan dalil tentang jihad. Tak jarang, mereka juga melontarkan tudingan kafir kepada orang lain. Penyematan kata “kafir” ini adalah penyakit lama yang melekat pada sebagian penceramah dan tokoh agama.

Ucapan kafir tersebut sebanding bahayanya dengan stigmatisasi negatif terhadap suku, etnis, dan warna kulit. Tanpa berpijak pada ilmu yang bersumber dari rasa keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan, hal itu sering meracuni jiwa serta pikiran sebagian umat Islam. Lebih dari itu, kebiasaan semacam itu mencerminkan egoisme religius maupun kesukuan yang lahir dari kedangkalan pemahaman atau bahkan sifat asli si penutur.

Penyematan “kafir” secara serampangan dan stigma negatif terhadap etnis biasanya bermula dari dua sumber: egoisme keagamaan di satu sisi, dan kepongahan kesukuan di sisi lain. Keduanya, jika ditelaah lebih jauh, setara dengan tindakan tidak beradab, atau bahkan lebih buruk lagi, menunjukkan kebodohan.

Padahal, Nabi Muhammad Saw. yang dipuja sebagai cahaya Ilahi oleh umatnya telah dengan tegas melarang perilaku semacam itu. Egoisme keagamaan dan kesukuan adalah penyakit yang merusak tatanan umat. Nabi pernah bersabda:

“Barang siapa mendakwah sesama mukmin sebagai kafir, maka sama saja ia telah membunuhnya,” (HR. Tirmidzi No. 2636 dari Tsabit bin Ad-Dhahhak).

Ucapan “kafir” yang dilontarkan sembarangan, dalam hadis tadi, disetarakan dengan tindakan membunuh manusia. Sama halnya dengan stigma negatif terhadap suku, yang sebenarnya mencoba membunuh karakter, kehormatan, dan martabat sebuah komunitas secara kolektif.

Logikanya sederhana: jika seseorang dituduh kafir meski seagama, maka sesuai logika agama, hak hidupnya seolah dianggap halal untuk dirampas, bahkan sampai pada kekerasan fisik. Sebaliknya, jika seseorang melontarkan rasisme terhadap suku tertentu, dia telah merampas hak kebahagiaan, ilmu, pendidikan, peradaban, dan martabat orang-orang dalam komunitas tersebut.

Perilaku semacam itu, secara sadar atau tidak, melanggengkan rasisme dan permusuhan yang telah susah-payah dihapus oleh Nabi Muhammad Saw. serta tokoh-tokoh kemanusiaan sejak zaman jahiliyah. Lebih dari itu, tindakan tersebut memperkuat lingkaran setan yang melemahkan persatuan, menghancurkan kerukunan, dan merusak potensi manusia sebagai khalifah di bumi.

BACA JUGA  Industri Game Online: Ladang Subur Radikalisasi Anak Muda dan Solusi Mengatasinya

Rasulullah Saw. bersabda, “Barang siapa mengatakan kepada saudaranya, ‘Hai, kafir,’ maka salah satu dari keduanya akan menanggung dosa atas ucapan itu, jika yang dituduh tidak benar-benar kafir,” (H.R. Bukhari 5753).

Sebagai seorang Muslim yang mengaku mencintai Nabi, saya merasa malu atas peringatan keras tersebut. Ketika ada Muslim yang dengan mudah menuduh kafir atau melontarkan stigma suku secara sembrono, rasanya perilaku itu seperti tamparan langsung kepada ajaran Nabi, keluarga, dan sahabat-sahabatnya.

Padahal, Al-Qur’an, mukjizat agung yang diwariskan Nabi, telah memberikan pedoman yang sangat jelas. Allah berfirman, “Dan janganlah sekali-kali kebencian kamu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena keadilan itu lebih dekat dengan takwa,” (QS. Al-Maidah [5]: 8).

Ayat ini mengingatkan kita untuk menahan diri dari perilaku zalim, baik terhadap individu maupun kelompok, bahkan ketika kita merasa tersakiti atau tidak sepakat. Nabi Muhammad selalu menutup celah kebencian yang bisa memecah belah umat, membangun toleransi, dan menjaga persatuan.

Namun, kenyataan menunjukkan bahwa sebagian dari kita sering melupakan ajaran ini. Umat Muslim hari ini, alih-alih mendalami esensi Islam yang rahmatan lil alamin, lebih sibuk memperlihatkan siapa yang paling benar, paling pintar, dan paling berhak atas agama. Sikap ini, sejatinya, adalah bentuk penyakit jiwa yang lahir dari kedangkalan pemahaman agama dan dominasi hawa nafsu.

Nabi Muhammad Saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara bangsaku ada orang-orang yang membaca Al-Qur’an, tetapi tidak melampaui tenggorokan mereka.”

Sabda tersebut menggambarkan bahwa sebagian umat hanya memahami agama secara dangkal—hanya sebatas formalitas, tanpa menyentuh hati dan mengubah perilaku.

Semoga Allah Swt. mengampuni dosa-dosa kita, menjauhkan kita dari keburukan dan kejumudan, serta memberikan kekuatan untuk terus menjaga persatuan, keadilan, dan keharmonisan di antara sesama manusia. Sebagaimana doa Nabi Ibrahim yang diabadikan dalam Al-Qur’an:

“Ya Tuhan kami, terimalah dari kami (amal kami). Sesungguhnya Engkaulah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui,” (QS. Al-Baqarah [2]: 127).

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru