Harakatuna.com. Jakarta- Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial UI Solahudin menekankan bahwa program kontra radikalisme harus dikedepankan saat ini untuk mencegah masyarakat terpapar oleh paham-paham radikal. Ini tantangan bagi pemerintah karena program tersebut berbeda dengan program deradikalisasi yang hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang sudah terpapar oleh paham radikal.
“Kalau bicara orang yang sudah terpapar, kita bicara napiter dan eks napiter sekitar 1600 orang. Bobot terberat itu adalah melakukan kontra radikalisme, bagaimana orang-orang yang belum terpapar paham radikal, jangan sampai terpapar,” kata Solahudin dalam diskusi yang bertema pemberantasan terorisme: legislasi, tindakan polisi dan deradikalisasi, di Jakarta, Sabtu (26/5).
Program kontra radikalisme dengan sasaran yang lebih luas itu menjadi tantangan bagi pemerintah. Program itu tidak bisa hanya dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), melainkan harus melibatkan stakeholder lain yang terkait. Karena itu, ia meminta kepada BNPT agar mengoordinasikan stakeholder terkait untuk terlibat aktif dalam program kontra radikalisme tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Mantan Kepala BNPT Ansyaad Mbai. Ia mengakui bahwa tantangan pemerintah saat ini adalah melakukan kontra radikalisme. Yaitu, melindungi masyarakat agar tidak terpapar oleh paham-paham radikal.
Untuk melakukan kontra radikalisme, Ansaad mengatakan bahwa pemerintah perlu meng-counter narasi atas paham-paham radikal yang berkembang di masyarakat.
“BNPT bisa membentuk satgas yang terdiri dari unsur stakeholder terkait dan masyarakat. Sasaran kita adalah orang-orang yang berselubung di kegiatan agama, tapi kegiatannya justru hate speech. Itu yang memupuk bibit-bibit terorisme,” pungkasnya. (OL-5)
sumber: mediaindonesia