29.8 C
Jakarta
Array

Tak Ada Satu Pun Dalil Al-Quran yang Menjustifikasi Gerakan Khilafah ala HTI

Artikel Trending

Tak Ada Satu Pun Dalil Al-Quran yang Menjustifikasi Gerakan Khilafah ala HTI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak Ada Satu Pun Dalil Al-Quran yang Menjustifikasi Gerakan Khilafah ala HTI

Harakatuna.com. Jakarta. Sejak bergulir era reformasi 1998, kran kebebasan berpendapat dibuka seluas-luasnya, dan hal ini menjadi celah tersendiri bagi tumbuhnya gerakan yang menamakan diri mereka sebagai Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), di mana pada dasarnya mereka meyakini kalau sistem khilafah (Islam) adalah sistem yang paripurna untuk dipraktekkan di dalam suatu negara, tak terkecuali di Indonesia. Dan, mereka mengklaim ada teks-teks yang bisa dijadikan sebagai landasan konsepsional bagi gerakan mereka. Benarkah?

Menurut penulis buku “HTI, Gagal Paham Khilafah”, Makmun Rasyid, sebetulnya gerakan pembumian khilafah yang dilakukan HTI itu, tidak ada justifikasinya di dalam al-Quran. Hal ini terungkap setelah dia meneliti secara mendalam terhadap sumber-suber otoritatif terkait dengan hal itu.

“Di dalam buku itu, saya membuktikan memang tidak ada satupun dalil al-Quran yang bisa dijadikan agitasi atau dijadikan justifikasi terhadap gerakan yang sedang mereka lakukan,” terang Makmun kepada saat diwawancarai Triknews.com sore hari ini, Rabu (8/3).

Lebih lajut, terkait dengan pemikiran HTI yang mengklaim bahwa ada landasan tekstual di dalam al-Quran yang bisa menunjang gerakan mereka, Makmun menyatakan bahwa pemahaman kelompok ini bisa dimasukkan dalam kategori tekstualis terkait dengan konsep khilafah.

Tidak hanya itu saja, Makmun juga menyebut kalau kelompok ini memang sengaja memakai teks tertentu agar gerakan mereka tampak terafirmasi oleh al-Quran.

“Di dalam al-Quran itu memang ada kata yang berakarnya dari kata ‘khalafa’. Nah itu mereka buat bagaimana caranya agar pemikiran mereka itu bisa diafirmasi oleh dalil itu. Oleh karenanya, di dalam buku saya, saya membuktikan tidak ada satupun yang bisa dijadikan afirmasi terhadap gerakan-gerakan mereka itu,” sambung Makmun.

Lebih lanjut, Makmun mencontohkan satu kata dalam ayat al-Qur’an yakni kata “khalifah” sebagaimana terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 30,  yang menurutnya memiliki kesamaran (pelafalan – red) yang seolah-olah bisa dijadikan justifikasi terhadap gerakan pembumian gerakankhilafah ala HTI, tetapi sebetulnya bukan.

“Memang di dalam ayat itu terdapat kesamaran kata-kata antara khalifah dengan khilafah. Nah saya membongkarnya dari sisi normatif ayat al-Quran,” terangnya.

“Penekanan dari buku itu adalah, saya membuktikan bahwa tidak ada sesuatu yang bisa kita jadikan argumentasi untuk mendukung negara khilafah,” tegas Makmun.

Konsep Pemerintahah dalam Islam Debatable

Ketika ditanya apakah di dalam Islam sendiri ada satu konsep dasar pemerintahan yang bisa dipraktekkan di dalam sebuah negara, Makmun menyatakan bahwa sekalipun ada banyak pembicaraan di kalangan ulama, baik klasik maupun kontemporer, terkait dengan konsep negara (imamah atau khilafah), tetapi hal itu tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang wajib untuk dipraktekkan, bahkan dia mengungkap bahwa Imam al-Ghazali sendiri di dalam kitabnya al-Iqtishad fi al-I’tiqad meminta umat agar tidak menyentuhnya, karena hal itu masih debatable.

“Oleh karena itu, Imam al-Ghazali menyuruhnya untuk mengabaikannya saja. Sifatnya tidak wajib. Ia multitafsir,” ungkap Makmun.

Lebih jauh lagi, wartawan triknews.com mencoba mempertanyakan kepada Makmun terkait dengan teks semacam laa hukma illa lillah (tidak ada hukum, kecuali hukum Allah) sebagaimana selama ini sering digunakan oleh HTI untuk menjustifikasi gerakan mereka.

Baginya, memang ada ayat-ayat yang berkenaaan dengan anjura untuk mempraktekkan ajaran Islam secara totalitas. Tetapi terkait dengan hal itu, masih diperlukan referensi-referensi tafsir otoritatif untuk mengungkap apa yang sebetulnya dikehendaki oleh ayat itu.

“Menurut saya, dari berbagai referensi yang saya temukan. Tidak ada yang sifatnya wajib. Jadi kita harus bisa membedakan, mana syariat yang sifatnya itu fundamental, mana yang sifatnya primer atau skunder. Nah persoalan khilafah itu adalah persoalan yang sifatnya ‘fiqhiyaat’. Ia bukan kajian yang sifatnya rasionalitas (ma’qulaat). Jadi sesuatu yang tidak bisa diwajibkan,” tuturnya.

Seimbang dalam Beragama dan Bernegara

Walaupun begitu, Makmun mengatakan bahwa umat Islam di Indonesia dibolehkan untuk menjalan syariat sedalam-dalamnya dan itu dilindungi oleh konstitusi.

“Kita boleh memakai jilbab semau kita. Kita boleh salat sehari berapa kali. Yang perlu diingat, tidak semua orang yang beragama itu bernegaranya baik. Tetapi tidak pula orang yang memiliki jabatan tertentu agamanya baik. Maka Islam menuntut keduanya untuk menyeimbangkan, bagaimana kita beragama yang baik dan bernegara pun dengan cara yan baik,” kata makmun.

Makmun juga menyebut bahwa ulama-ulama Nahdlatul Uama selalu menekankan agar jangan selalu mempertentangkan agama dan negara.

“Karena agama dilindungi oleh agama, dan agama melindungi negara,” pungkasnya. (AF)

 

TRIKNEWS.COM

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru