31 C
Jakarta
Array

Tak Ada Khilafah Islamiyah dalam NKRI

Artikel Trending

Tak Ada Khilafah Islamiyah dalam NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak Ada Khilafah Islamiyah dalam NKRI

Oleh: Imam Muhlis*

Munculnya “kerinduan” terhadap sistem Khilafah Islamiyah di negeri ini semakin berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan, terutama bagi kalangan generasi bangsa. Berberapa waktu yang lalu, beredar tayangan di media sosial dan YouTube tentang “ikrar sumpah khilafah yang dilakukan mahasiswa”, yang digelar di IPB Dramaga Bogor diikuti ribuan mahasiswa (www.www.harakatuna.com/harakatuna). Apalagi hasil survey SETARA Institute mengungkapkan bahwa gagasan Khilafah yang semula asing itu sudah didukung oleh 34,6 % responden.

Ini jelas menjadi tantangan tersediri bagi umat Islam Indonesia terutama NU dan Muhamadiyah bersama Ormas Islam lainnya. Al-Faqir A. Baedlowi An-Nawy di http://www.eramuslim.com, misalnya, memelintir peran internasional NU, yang mengungkapkan bahwa peran internasional NU tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah, maka sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah (salah satu pendiri NU). Tujuannya menurut Al-Faqir adalah untuk membahas undangan Kongres Khilafah di Kairo, Mesir.

Pernyataan saudara Al-Faqir A. Baedlowi hemat saya justru membelokkan sejarah tujuan berdirinya NU. Sikap NU cukup tegas dan telah ditunjukkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Bagi NU syarat pendirian NKRI yang direbut melalui berbagai perjuangan; pemberontakan, peperangan grilya, peperangan terbuka dan diplomasi, tidak dimaksudkan untuk mendirikan Khilafah Islamiyah atau Negara Islam, melainkan mereka berjuang hanya untuk satu tujuan, yaitu Kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada dasawarsa terakhir abad ke-19 sejumlah pemuda dari berbagai kawasan Nusantara yang sedang mendalami ilmu agama di Mekkah, antara lain KH. HasyimAsy’ari dan KH. Ahmad Dahlan, berikrar di depan Ka’bah untuk berjuang bersama mengusir penjajah. (Salahuddin Wahid, 2003).

Kita semua tahu, bahwa sejarah berdirinya NU adalah bertujuan sebagai penjaga gawang tradisi lokal dan kekhawatiran para pemuka agama Islam melihat perkembangan masyarakat di Indonesia, khususnya di tanah Jawa dalam menghadapi kolonialisme Belanda serta perkembangan dunia Islam di Saudi Arabia terutama dikaitkan dengan menguatnya gerakan Wahabi, runtuhnya kekhalifahan di Turki, timbul tenggelamnya gagasan Pan Islamisme dan pertentangan tajam diantara para pengikut aliran atau pemikiran Islam di Indonesia merupakan latar belakang berdirinya NU. (Choirul Anam, 1999, h. 41.) Sejarah itu dimulai sejak kepulangan KH. Wahab Hasbullah dan Kiai Mas Mansur dari Mekkah setelah pecah Perang Dunia I. Perintisan itu dimulai dari pendirian Nahdhatul Watan (kebangkitan tanah air) pada 1914 dan Taswirul Afkar (representasi gagasan-gagasan) pada 1918 dan kemudian disusul berdirinya Nahdhatut Tujjar (kebangkitan usahawan).

NU: Tidak Ada Khilafah Islamiyah

NU berdiri tidak dalam rangka mendirikan Khilafah Islamiyah atau Negara Islam, melainkan berjuang hanya untuk satu tujuan, melawan penjajah demi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Khilafah Islamiyah sudah berakhir dengan berakhirnya Al-Khulafaur Rasyidin. Sejak Muawiyah bin Abu Sofyan, kekuasaan menjadi warisan. Muawiyah mewariskan kekuasaan kepada anaknya, Yazid bin Muawiyah bin Abi Sofyan menjadi penguasa di Bani Umayah. Yang ada sesudahnya bukan lagi khilafah tapi mamlakah (kerajaan) yang dikuasai oleh keluarga-keluarga atau bani-bani. (Azyumardi Azra, 19/12/2008). Menurut Buya A. Syafii Maarif, di dalam al-Qur’an juga tidak ditemukan tata politik, pemerintahan yang khas Islami apalagi Khilafah Islamiyah. (Ahmad Syafii Maarif, 1985, h. 15).

Karena itu, KH Mutawakkil Alallah—Ketua PW NU Jawa Timur menegaskan, bahwa siapapun dan apapun ormasnya yang mengganggu asas Pancasila dan keutuhan NKRI, maka akan berhadapan dengan NU. Sikap tegas NU itu sebenarnya telah ditunjukkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Demi menjaga keutuhan NKRI yang baru diproklamirkan, pendiri NU, sebagai diungkapkan Solihin Salam dalam bukunya, K.H. Hasyim Asy’ari: Ulama Besar Indonesia, merekam perlawanan politik yang dilancarkan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari terhadap kebijakan pemerintah Jepang. (Faisal Islmail, 1999, h. 22). Politik kebangsaan kyai NU ini semakin jelas kalau memahami pernyataan K.H.M. Dachlan bahwa perjuangan anti penjajah merupakan asal-usul berdirinya NU. (Andree Feillard, 1999, h. 15).

Momentum historis pertama yang dilakukan NU dalam gerakan-gerakan politiknya adalah dicetuskannya Resolusi Jihad, oleh organisasi ini pada tanggal 22 Oktober 1945 (tiga minggu sebelum pertempuran 10 November di Surabaya yang kemudian hari tanggal tersebut ditetapkan sebagai Hari Pahlawan) yang mengajak umat Islam menentang aksi pendudukan Tentara Sekutu. (Faisal Islmail, 1999, h. 12-14).

Dalam perspektif keindonesian, Resolusi Jihad ini dapat dipandang sebagai bentuk kontribusi dan manifestasi partisipasi politik dan keterlibatan perjuangan NU dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Keterlibatan NU dalam percaturan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tampaknya tidak dapat dihindari. Karena dalam tubuh NU sendiri termaktub keanekaragamanan. Organisasi yang lahir di Surabaya, Jawa Timur ini memiliki semua elemen dari berbagai daerah dan suku. Ulama-ulama yang ada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan Nusa Tenggara, telah bersama-sama sepakat dalam satu kesatuan paham organisasi yang bernama NU. Uniknya perbedaan latar belakang budaya, bahkan tatacara ibadah hingga saat ini masih terus dilestarikan.

Kita mengenal NU Banten, NU Jawa Timur, NU Jawa Tengah, NU Madura, NU Kalimantan, NU Sulawesi, NU Lombok dan banyak lagi lainnya. Semuanya memiliki cara yang berbeda, budaya dan bahkan bahasa yang tidak sama. Tapi proses dialog dan komunikasi tetap bisa dijalankan tanpa banyak hambatan. Dari sinilah pluralitas NU telah lahir dengan sendirinya. Sehingga ketika konsep negara bangsa NKRI yang berideologi Pancasila diperkenalkan, bagi NU sendiri sudah tidak asing lagi, karena NU adalah bentuk miniatur Indonesia yang sudah berdiri jauh sebelum negara bangsa NKRI ini lahir.

Dengan demikian, langkah kolompok pengusung Khilafah Islamiyah ini bukannya malah berterima kasih kepada para ulama dan fouding fathers Indoensia yang dengan susah payah telah menyatukan kemajemukan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak semua negara di dunia mampu melakukannya, tetapi justru merongrong NKRI dengan membawa slogan al-Islam huwa al-din wa al-daulah (Islam adalah agama dan sekaligus negara). Hemat saya, kolompok ini tidak ada bedanya dengan kaum kolonialisme dan imperialisme masa lalu. Wallahu a’lam bis-sawab.

*Penulis adalah alumnus Magister Ilmu Hukum UGM

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru