27.9 C
Jakarta

Tahun Toleransi, Seberapa Besar Pesantren Jadi Agen Islam Moderat?

Artikel Trending

KhazanahOpiniTahun Toleransi, Seberapa Besar Pesantren Jadi Agen Islam Moderat?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pesantren adalah termasuk salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, yang kontribusinya begitu besar terhadap bangsa ini. Dalam perjalanannya, pesantren tercatat berhasil menanamkan nilai-nilai moderat dan toleran pada generasi bangsa. Mulai dari religiusitas (keislaman) hingga nilai-nilai kebangsaan.

Nilai religiusitas, bisa dibuktikan dengan tegaknya Islam Ahlusunah Waljamaah hingga saat ini. Sejarah mencatat bahwa pesantren telah memainkan peranan penting dalam penyebaran dakwah Islam di bumi Nusantara. Keterlibatan pesantren menyebarkan Islam tidak terlepas dari tujuan berdirinya. Di mana sejak kali pertama berdiri, pesantren mendeklarasikan diri sebagai lembaga yang memfokuskan pada kajian ilmu-ilmu keislaman (tafaqquh fi al-din), terutama khazanah Islam tradisional (kitab kuning karya ulama klasik).

Sementara nilai kebangsaan, dibuktikan dengan kiprah dan keterlibatannya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Eksistensi kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran aktif pesantren. Seperti diketahui bersama, di tengah geliat bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan, pesantren turut andil bahkan berada di garda terdepan mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Dengan diserukannya “Resolusi Jihad” oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945, memantik ghirah kaum sarungan untuk membela dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Pergerakannya kian progresif dan masif, tepatnya pada 10 November 1945 yang kemudian disahkan sebagai “Hari Pahlawan Nasional”.

Dengan demikian, pesantren tidak sekadar berfungsi sebagai lembaga pendidikan yang memfokuskan diri pada kajian ilmu-ilmu keislaman, melainkan juga sebagai tempat produksi bibit generasi unggul di masa yang akan datang dengan menanamkan nilai-nilai nasionalisme. Hal ini menjadi bukti konkret pesantren dalam mengejawantahkan ajaran Islam rahmatan lil ‘alamin yang diusung sejak kali pertama berdirinya.

Walau begitu, belakangan ini citra pesantren mulai tercoreng di mata masyarakat bahkan diklaim dan dituding telah memproduksi serta menjadi lumbung atau dapur lahirnya kelompok-kelompok ekstremis-terorisme. Pandangan ini didasarkan terhadap maraknya beberapa (sebagian) pesantren berafiliasi dengan organisasi teroris yang mengancam dan meresahkan masyarakat. Dan, gerakan-gerakan radikal yang membawa bendera Islam.

Menurut Ahmad Nurwakhid, Direktur Pencegahan BNPT menyatakan, berdasarkan data intelijen yang diperoleh dari hasil pemetaan kegiatan intelijen dan pelacakan di dunia maya, terdapat 198 pondok pesantren terafiliasi dengan kelompok-kelompok radikal. Misalnya, Jamaah Ansharut Khilafah (JAK), Jamaah Islamiyah (JI), dan Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Bahkan melalui pemonitoran rutin, BNPT mendeteksi adanya hubungan ideologis, dukungan logistik, dan sebagainya. Data tersebut diharapkan mendorong masyarakat untuk lebih waspada, tegas Nurwakhid.

Padahal jika diselisik lebih dalam pada kitab-kitab klasik yang mu’tabarah tidak ada satu pun yang membolehkan melakukan tindak kekerasan. Secara umum, pesantren yang ada di Indonesia tidak pernah mengajarkan paham bercorak ekstremisme-radikalisme-terorisme, apalagi dengan mengatasnamakan agama.

Kondisi ini, tentu saja, menjadi tantangan tersendiri bagi pesantren yang telah berabad-abad keberadaannya di Indonesia, selain juga sebagai pengusung ajaran Islam ramah, santun, toleran, dan lain-lain.

Pesantren dan Sikap Toleran

Dalam proses pembelajarannya, pesantren bukan hanya mengajarkan nilai-nilai keislaman semata, tetapi juga mengajarkan bagaimana anak-anak didiknya bisa saling menghargai atau bergaul dan bersatu di antara sesama orang-orang bangsa seluruh Indonesia, apapun suku, agama, dan latar belakangnya. Juga pesantren mengajarkan untuk saling berinteraksi secara ramah, santun, dan harmonis di antara komunitas bangsa tersebut. (Ahmad Farok, dkk. Islam Ala Nusantara, Hasyiah Jurnal Pemikiran Filsafat dan Keislaman, hal. 113)

Jika diselisik lebih jauh lagi, sikap toleransi yang dikembangkan pesantren tampak dari tujuan berdirinya. Sebagai lembaga pendidikan Islam, pesantren tidak membedakan antara status sosial dan kelas masyarakat. Artinya, siapa saja yang berkeinginan untuk mempelajari atau memperdalam pengetahuan keagamaan Islam, diperbolehkan memasuki lembaga ini.

Seperti diketahui bersama, sejarah mencatat bahwa pesantren dengan model dan sikapnya yang demokratis-egaliter, menjadikannya sebagai lembaga yang banyak diminati masyarakat; dari dulu hingga sekarang. Di awal berdirinya, masyarakat secara berbondong-bondong mendatangi pesantren guna untuk belajar agama Islam. Wajar, kala itu pesantren menjadi salah satu sarana dakwah Islam di Nusantara, selain perdagangan, kesenian, perkawinan, dan lain-lain.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

Pesantren juga dikenal dengan sikapnya yang plural dan multikultural, yang ditandai dengan beragamnya suku, bahasa, budaya, dan sebagainya berada di dalam pesantren. Kondisi ini, tentu saja, meniscayakan kepada para santri untuk memiliki serta mempraktikkan sikap toleran antar-satu sama lain di dalam pesantren tanpa memandang perbedaan primordial.

Lebih dari itu, para santri juga dituntut untuk memiliki sikap kesalingan (mubadalah): saling menghargai, saling mendukung, saling peduli, saling memberi, saling mengasihi, dan lain sebagainya. Dengan tertanamnya sikap demikian, maka tidak mudah menuding atau mengklaim orang lain salah bahkan sampai mengafirkannya. Juga sikap ini bisa melahirkan keharmonisan, kerukunan, kesejahteraan, dan lain-lain di tengah-tengah masyarakat; dengan menerima segala perbedaan yang ada.

Pesantren dan Moderasi Beragama

Terminologi moderasi beragama akhir-akhir ini menjadi buah bibir yang cukup seksi. Bukan hanya di kalangan akademisi, akademisi, dan cendekiawan, melainkan juga para ulama di lingkungan pesantren dan masyarakat umum. Pasalnya, moderasi beragama dianggap mampu “meminimalisir” serta “penengah” dalam segala hal; seperti konflik agama, suku, dan gerakan kelompok radikal-ekstremis-terorisme dan lainnya yang masih ekses hingga kiwari.

Dalam KBBI, moderasi diartikan sebagai pengurangan kekerasan dan penghindaran keekstreman. Dari sini bisa dipahami bahwa moderasi beragama, adalah sebuah sikap menghindari kekerasan dan keekstreman dalam beragama dengan tetap mengamalkan ajaran agama sesuai keyakinan tiap-tiap pemeluk agama tertentu.

Atau cara pandang seseorang dalam memahami dan menjalankan ajaran agama dengan tidak ekstrem; baik ekstrem kanan (ultra-konservatif) maupun ekstrem kiri (liberal) terhadap suatu kebenaran tafsir teks kitab suci agama, sembari tidak menganggap sesat penafsir selainnya.

Ini artinya, moderasi beragama meniscayakan kepada setiap umat beragama untuk tidak berpikir secara eksklusif, melainkan inklusif dengan melebur, beradaptasi, dan bergaul dengan pelbagai komunitas antarumat manusia, tanpa mempertimbangkan suku, agama, etnis, budaya, pilihan politik dan sebagainya.

Di pesantren, moderasi beragama dan sikap toleran bukanlah sesuatu yang baru, melainkan telah mengakar kuat sejak lama dan bahkan menjadi ciri khas dari pesantren. Sebagai lembaga kajian keislaman, tentu saja, pesantren mengajari kepada para santrinya tentang arti kesatuan dan kekompakan dalam membangun suatu kemaslahatan tanpa memandang bulu dari mana asal ras, suku, dan bangsa.

Para santri dididik oleh pesantren untuk tidak pilih kasih kepada siapa pun. Kesemuanya ini supaya menjadi bekal bagi santri dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pola pengajaran yang demikian ini, tentu saja, didasarkan atas pemahaman pesantren bahwa Islam pada hakikatnya adalah sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam semesta.

Karena itu, tidak berlebihan jika pesantren layak dan pantas mengisi ideologi kebangsaan keindonesiaan. Mengutip pernyataan Dr. Soetomo, pendiri organisasi Boedi Oetomo dalam buku Pesantren Studies karya Ahmad Baso, bahwa ada lima alasan, mengapa pesantren layak mengisi ideologi kebangsaan keindonesiaan.

Pertama, pengetahoean pada moerid-moeridnja, kedua, memberi alat-alat untuk berdjoeang di doenia ini, choesoesnja di Nusantara, ketiga, pendidikan jang bersemangat kebangsa’an, tjinta kasih pada Noesa dan Bangsa choesoesnja dan pada doenia dan sesama oematnja oemoemnja, keempat, moerid-moerid akan menjediakan diri oentoek menoendjang keperloean oemoem, dan kelima, kekoeatan batin dididik; ketjerdasan roh diperhatikan dengan sesoenggoehnja, sehingga pengetahoean jang diterima olehnja itoe akan dapat dipergoenakan dan disediakan oentoek menjalani keperloean oemoem teroetamanja. (Ahmad Baso, Pesantren Studies, buku II kosmopolitanisme peradaban kaum santri di masa kolonial, hal. 51)

Dari sini, jelas bahwa pesantren termasuk salah satu agen pembentukan sikap toleransi dan moderasi beragama melalui kiprah dan sepak terjangnya dalam kehidupan bangsa ini. Selain juga pesantren sebagai fondasi atau benteng tradisi yang dimiliki bangsa Indonesia. Mengingat corak keberislaman yang dikembangkan dan dijalankan, disesuaikan dengan sosial-kultur masyarakat Indonesia yang plural dan multikultural. Wallahu A’lam.

Saidun Fiddaraini
Saidun Fiddaraini
Penulis Lepas

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru