Harakatuna.com – Akhirnya, kita berada di hari pertama tahun 2025. Hampir satu dekade, di negara ini, radikal-terorisme ditangani secara masif-represif oleh pemerintah. Tetapi, jika kita menoleh ke belakang, dinamika sepanjang 2024 menegaskan, bahaya radikal-terorisme bukan saja belum usai, justru menemukan cara baru untuk menyusup ke ruang-ruang sosial-masyarakat. Narasi, propaganda, kamuflase, dan sejenisnya belum juga reda.
Sebagai contoh, awal tahun lalu, kelompok radikal memanfaatkan Pemilu untuk propaganda. Narasi delegitimasi pemerintah melalui kasus-kasus politik aktual, misalnya, dibuat untuk merusak kepercayaan terhadap institusi negara. Transisi Jokowi ke Prabowo, contoh lainnya, dijadikan peluang kaum radikal-teroris untuk mengonsolidasi akar ideologis mereka, terutama ihwal membangun simpati di kalangan generasi muda.
Pertengahan tahun, ancamannya berbeda. Propaganda ideologi radikal meningkat tajam, lewat dakwah yang menyusup ke masjid-masjid. Penguatan jaringan digital kelompok radikal sangat jelas, menyasar Gen Z dengan konten-konten yang tampak religius tapi sejatinya mengandung pesan ekstremisme. Terbaru, keberhasilan HTS di Suriah, telah jadi inspirasi baru simpatisan teror di tanah air dan memantik renaissance of radical-terrorism.
Menjelang akhir tahun, keamanan nasional jadi taruhan. Operasi Densus 88 berhasil mengungkap rencana serangan saat Nataru, yang artinya sel-sel radikal-teror bawah tanah masih aktif. Pada saat yang sama, kita menyadari, operasi tersebut juga mengungkap betapa luasnya jaringan radikal-terorisme, mulai dari perkotaan dan menyusup hingga ke daerah-daerah terpencil. Kendati, memang, sejumlah program strategis nasional sudah dijalankan.
Secara kaleidoskop, ada dua ancaman utama yang patut jadi atensi serius di tahun 2025 ini. Pertama, kamuflase ideologi HTI dan Wahabi. Kedua kelompok radikal itu terus cari celah di tengah masyarakat, baik lewat lembaga pendidikan, masjid, maupun medsos. Kedua, eksistensi sel-sel bawah tanah teroris yang sangat terorganisir. Itu ditandai dengan ditangkapnya terduga teroris oleh Densus 88 hari-hari ini. Mengerikan sekali.
Lawan Kamuflase HTI dan Wahabi!
Kamuflase HTI dan Wahabi bukan omon-omon belaka. Meski keduanya berbeda secara doktrin ideologis, strategi mereka serupa: membungkus ideologi radikalnya dengan narasi Islam yang terlihat netral, bahkan memikat. Secara umum, sejujurnya, narasinya mudah ditebak. HTI terus menarasikan anti-NKRI dan anti-demokrasi, sementara Wahabi mengajarkan eksklusivisme hingga takfirisme. Keduanya, targetnya adalah anak muda.
HTI bermetamorfosis jadi gerakan kecil di bawah radar, memanfaatkan lembaga pendidikan, kelompok keislaman, dan medsos. Pesan yang mereka bawa tampak sederhana: Islam kafah. Namun, di balik seruan itu, tersimpan agenda besar ‘khilafah’ yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan inkonstitusional. HTI menyusup ke diskusi akademik, halakah islami, hingga podcast-podcast yang populer di kalangan generasi muda. Meresahkan.
Wahabi, di sisi yang lain, dengan pendekatan doktriner dan pseudo-intelektual, menyusup ke institusi keagamaan, masjid-masjid, hingga lembaga pendidikan formal islami. Mereka selalu menyerang lokalitas Islam, seperti tahlil, maulid, dan ziarah kubur, dan memantik ketidakrukunan sesama—mencederai kebhinekaan. Doktrin Wahabi menciptakan sekat antar-Muslim Indonesia, mempolarisasi umat, hingga menyemarakkan takfirisme.
Ironisnya, kemampuan HTI dan Wahabi beradaptasi membuat kedua kelompok radikal itu semakin sulit dilawan. HTI, umpamanya, di tengah kebijakan naiknya PPN, bermain dalam narasi tentang ‘keadilan ekonomi syariah’ untuk mengkritik dan mencemooh sistem moneter Indonesia sebagai sistem kapitalisme Barat. Wahabi, di samping itu, meracuni anak-anak muda Muslim lewat jargon palsunya, “mulia dengan manhaj salaf.”
Dalam konteks itulah, konter terhadap kamuflase HTI dan Wahabi lewat penegakan hukum an sich tidaklah cukup. Harus ada mainstreaming narasi Islam moderat, juga kontra-transnasionalisme secara kafah. Kita semua, dari elemen apa pun, perlu bersinergi dalam menciptakan kontra-narasi yang mujarab, dengan penekanan pada penguatan pilar-pilar kebangsaan. Tujuannya, membuat HTI dan Wahabi tak lagi laku di masyarakat.
Musnahkan Sel-sel Bawah Tanah Kelompok Teror!
Beberapa waktu lalu, Densus 88 menangkap tiga terduga teroris di Jawa Tengah yang berafiliasi dengan kelompok JAD. Mereka diduga merencanakan aksi teror dan menyebarkan propaganda di medsos. Penangkapan serupa terjadi di Palu dan Ampana, Sulawesi Tengah, di mana tiga terduga teroris ditangkap dalam operasi yang melibatkan Densus 88 dan Korps Brimob Polda Sulteng. Itu saja? Tentu saja tidak.
Empat terduga teroris juga diamankan di Majalengka, Jawa Barat. Dirangkaum dari berbagai sumber, sepanjang tahun 2024, Densus 88 berhasil menangkap 196 tersangka teroris, menghasilkan zero attack atau nihil serangan teror di Indonesia. Nataru hari-hari ini, umpamanya, steril dari ancaman radikal-terorisme. Tetapi, ternyata, sel-sel bawah tanah kelompok teror terus beroperasi secara diam-diam; hanya tiarap saja.
Kelompok teror di tanah air memanfaatkan medsos untuk menyebarkan ideologi dan merekrut simpatisan—atau, hari ini, bahasanya menjadi ‘jemaah’. Propaganda yang disebarkan menyasar generasi muda yang baru belajar Islam. Selain itu, mereka juga memanfaatkan situasi sosial-politik nasional untuk menjustifikasi narasi mereka—menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Penangkapan Wawan alias Mut, teroris dari kelompok MIT di Sulteng, yang buron selama 11 tahun, umpamanya, memberi sinyal jelas kepada kita bahwa sel-sel teror punya kemampuan bersembunyi dalam jangka waktu lama—menunggu momen yang tepat untuk beraksi. Sel bawah tanah teror membuat deteksi dan mitigasi jadi sulit. Beberapa di antara mereka, para teroris, bahkan ada yang jadi ustaz: mengisi pengajian dan punya ribuan jemaah.
Lalu apa yang perlu kita lakukan di tahun baru ini, juga tahun-tahun ke depan? Tentu, pendekatan komprehensif ihwal kontra-radikalisasi dan kesiapsiagaan nasional. Edukasi kolektif tentang bahaya laten radikal-terorisme perlu ekspansif, terutama pada anak-anak muda. Sel-sel bawah tanah kelompok teror adalah ancaman laten—terus mengintai kita sepanjang tahun. Kesadaran dan kewaspadaan kita bersama adalah azimat terbaik.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…