25.4 C
Jakarta

Tahun 2023; Resolusi Pemberantasan Terorisme

Artikel Trending

Milenial IslamTahun 2023; Resolusi Pemberantasan Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ada yang menarik dari pernyataan Sri Yunanto, akademisi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), dalam sebuah helatan seminar, beberapa waktu lalu. Ia mempertanyakan apakah deradikalisasi itu berhasil? Kalau sudah berhasil, mengapa masih ada teror yang dilakukan oleh residivis seperti di Polsek Astanaanyar? Dan, apakah terorisme itu fluktuatif sesuai situasi politik? Ketiga pertanyaan ini menarik untuk dikaji, terutama sebagai resolusi tahun 2023.

Sorotan Yunanto terhadap deradikalisasi dilatarbelakangi beberapa hal. Pertama, deradikalisasi kerap digadang-gadang sebagai program andalan pemerintah dalam pendekatan humanis mereka memberantas terorisme. Kedua, mantan narapidana terorisme yang ikut andil dalam deradikalisasi, yang dibahasakan sebagai mitra pemerintah, berada di posisi remang-remang yang bisa menjelma sebagai gunung es terorisme itu sendiri di masa depan.

Menuju 2024, telaah atas pemberantasan terorisme memang krusial dilakukan. Faktor tunggalnya adalah pergantian presiden dan perubahan kabinet, yang memungkinkan terjadi perubahan terhadap fokus nasional ke depan. Adalah buruk jika setelah Kabinet Kerja Jokowi-Ma’ruf berhenti, pemberantasan terorisme tidak lagi program prioritas. Para teroris akan segera memanfaatkan keadaan di saat para politisi dan masyarakat gaduh oleh situasi politik nasional.

Maka, peran 2023 dalam pemberantasan terorisme sangat urgen dan strategis. Urgen untuk menghalangi kemungkinan buruk di masa yang akan datang dan strategis karena tahun ini adalah titik menjelang transisi kepemimpinan. Para stakeholder mesti segera merumuskan regulasi super-efektif, yang menjadi konstitusi tetap, dan harus dijalankan setiap rezim. Tentu saja regulasi tersebut harus lebih dari program formalitas yang hanya menyerap anggaran negara.

Ancaman terorisme di masa depan akan diulas pada tulisan mendatang. Tulisan ini hanya akan fokus pada aspek-aspek umum, mencakup apa yang mesti dilakukan pemerintah dan apa yang mesti dilakukan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat, terlepas dari komitmen mereka dalam program pemberantasan terorisme di tahun-tahun sebelumnya, memerlukan penyegaran kembali, juga evaluasi terhadap kerja-kerja belum selesai yang krusial untuk dilakukan.

Langkah Pemerintah

Belum ada kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal pemberantasan terorisme. Kalau pun ada program pelibatan banyak pihak, organisasi masyarakat sipil tidak pernah benar-benar mewakili masyarakat itu sendiri. Koordinasi masyarakat kepada aparat masih terbatas, sangat terbatas, dan civil society yang konon wakil masyarakat hanya sibuk di tataran birokratis belaka. Maka, langkah pemerintah dalam pemberantasan terorisme memerlukan banyak evaluasi.

Pemerintah dalam hal ini mencakup sejumlah stakeholder. BNPT, Densus 88, dan Polri adalah garda terdepan. Kementerian Agama dan Kementerian BUMN adalah garda sekunder. Ke depan, program kerja setiap kementerian/lembaga harus lebih terintegrasi dan membuang jauh-jauh kepentingan individual. BNPT dan Densus misalnya, harus kompak di tataran anggota dan tidak hanya formalitas pejabat tinggi. Ini harus disadari dan segera dievaluasi.

Seorang mantan napiter yang tidak perlu disebutkan namanya pernah bercerita, bahwa dirinya dan para eks-napiter lainnya membenci BNPT. Alasannya, karena terlalu elitis dan berbasis kepentingan, bukan untuk radikalisasi dalam tujuan idealnya. Pada saat yang sama, ia mengaku lebih suka Densus 88 karena banyak membantu. Menurutnya, Densus 88 lebih mengerti aspek psikologis eks-teroris daripada BNPT. Statemennya memantik keheranan: bukankah keduanya sama-sama dari aparat?

BACA JUGA  Jalan Licik HTI Harus Segera Dilenyapkan di Bumi Indonesia

Kemenag juga demikian. Banyak ucapan Menteri Agama Yaqut yang kontra-produktif dan justru memantik konfrontasi jiwa-jiwa radikalis-teroris. Yaqut memiliki komunikasi yang super buruk di ruang publik. Dampaknya, moderasi beragama yang mereka galakkan tidak laku. Banyak orang mengkritik moderasi beragama sebagai wujud lain penggembosan idealisme Islam. Maka, Kemenag perlu berbenah, terutama memperbaiki citra mereka di ruang publik.

Moderasi beragama adalah langkah strategis pemberantasan terorisme. Sayangnya, ia kandas karena komunikasi yang buruk terutama oleh Menag sendiri. Kemenag di mata masyarakat, terutama mereka yang memang punya benaih-benih radikal, ambruk reputasinya. Sama dengan BUMN yang sering kali keteteran oleh radikalis-teroris di internal kelembagaannya. Semua itu harus dibenahi. Langkah pemerintah harus mengarah pada tiga misi: sinergisitas, integrasi, dan idealisme.

Langkah Masyarakat

Masyarakat seperti apa yang diperlukan andilnya dalam pemberantasan terorisme? Masyarakat mencakup ormas, NGO, hingga sipil biasa. Yang terakhir ini memang tidak semuanya peduli dengan terorisme dan lebih memosisikan diri sebagai penonton. Namun, sebagai masyarakat, mereka harus dilibatkan sebagai personal dengan membangun kesadaran individual. Jika tidak, teror Astanaanyar bisa menjadi preseden buruk bahwa masyarakat juga berpotensi jadi korban terorisme.

Integrasi dan sinergisitas juga dibutuhkan dalam langkah tersebut. NGO tidak selaiknya hanya bermain proyek, dan lebih mengorientasikan pergerakan mereka untuk menciptakan masyarakat yang melek bahaya terorisme. Faktanya, saat ini, masyarakat banyak yang lebih terdorong untuk antipati pada terorisme. Di media sosial, banyak masyarakat yang nyinyir dengan kontra-terorisme dan ketika ada aksi teror, mereka malah menuduhnya sebagai konspirasi pemerintah belaka.

Jadi, ada yang tidak beres dengan masyarakat. Antipati semacam itu bukanlah sesuatu yang lahir begitu saja, pasti dipengaruhi oleh provokasi di media sosial ihwal eksistensi terorisme. Ada upaya meradikalisasi masyarakat dan di saat yang sama, menjadikan mereka krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan tersebut disebabkan “Faktor X”, yakni kesenjangan informasi, defisit kooperasi, dan menjamurnya kepentingan dalam pemberantasan terorisme.

Pada akhirnya, di tahun 2023 dan seterusnya, pemberantasan terorisme harus membuat sejumlah resolusi. Pertama, regulasi yang lebih ketat untuk menghadapi teroris dan mantan teroris. Kedua, kekompakan formal-substansial antarkementerian dan lembaga. Ketiga, idealisme untuk menjaga NKRI tanpa embel-embel money-oriented. Keempat, penyadaran masyarakat secara merata. Kelima, reintegrasi pemerintah dan masyarakat secara serius, bukan proyek belaka.

Dua langkah tersebut, pemerintah dan masyarakat mesti berjalan beriringan dengan satu cita: menjaga negara dan bangsa dari ancaman terorisme. Masyarakat tidak boleh disepelekan dan pemerintah tidak boleh elitis. Bahkan dengan ancaman sebesar apa pun, jika langkah-langkah tersebut dilakukan, negara ini akan aman. Faktanya, terorisme lestari bukan karena ia sebagai ideologi tidak bisa dimusnahkan, melainkan karena inkonsistensi dan tiadanya sinergisitas militan seluruh pihak. Evaluasi!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru