29.1 C
Jakarta

Tafsir Surat An-Nahl [125]: Prinsip Bijak dan Kontekstual dalam Dakwah

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirTafsir Surat An-Nahl : Prinsip Bijak dan Kontekstual dalam Dakwah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Dakwah merupakan salah satu kewajiban bagi setiap muslim. Kewajiban dalam hal ini maksudnya ialah, setidaknya sesama umat muslim berpotensi untuk saling mengingatkan antara satu sama lain dengan tidak memaksakan kehendak orang yang didakwahi.

Saya rasa sudah cukup banyak literatur yang mengulik lebih dalam mengenai hal tersebut. Faktanya, di era teknologi saat ini dakwah-dakwah sudah sangat mudah diakses di berbagai platform dan media terbaru. Hal ini merupakan salah satu wujud spirit kesadaran dakwah yang ada di masyarakat pada saat ini.

Lalu yang menarik ialah bahwa tidak semua konten-konten dakwah yang ada di media sosial dan beberapa platform menyajikan dakwah yang ramah dan rahmah untuk semua kalangan. Ada beberapa konten-konten dakwah yang malah berisi kemarahan-kemarahan, dan bahkan memancing perpecahan di antara umat. Fenomena seperti ini tentu saja menjadi pertanyaan, “Apakah seperti itu model dakwah yang diajarkan oleh Al-Qur’an?”

Menjawab hal tersebut, mari kita lihat bagaimana pesan Al-Qur’an pada surah An-Nahl: 125 terkait dengan perintah dakwah, sebagai berikut.

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (Terjemah Kemenag 2002)

Menurut Al-Baidhawi, dalam Tafsirnya Anwar at-Tanzil fi Asrar at-Ta’wil kata

اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ bermakna ila al-islam. Kata اسلام dalam bahasa Arab memiliki salah satu makna yaitu السلام yang bermakna kedamaian. Hal ini setidaknya mengindikasikan bahwa pesan-pesan yang seharusnya disampaikan ketika berdakwah adalah pesan-pesan yang dapat mendamaikan di antara umat, yang bisa mentolerir perbedaan dan mencegah perpecahan. (Anwar at-Tanzil fi Asrar at-Ta’wil, 3: 281).

Quraish Shihab dalam salah satu ceramahnya, menafsirkan kata سَبِيْلِ dalam ayat tersebut dengan makna “jalan-jalan kecil yang tertuju pada satu muara”. Hal ini menjadi menarik ketika kita hadapkan dengan fenomena yang seringkali terjadi di dalam masyarakat di mana perpecahan terjadi karena perbedaan tontonan dan keyakinan dalam memahami konten-konten dakwah. Menurut Quraish Shihab, perbedaan merupakan hal yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan keberagamaan. Namun, hal tersebut tidak jadi masalah asalkan masih mengarah kepada satu tujuan, yaitu Islam yang ramah dan rahmah.

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Kemudian, kata بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ dalam ayat tersebut oleh Al-Baidhawi dimaknai dengan kata-kata yang penuh hikmah, meyakinkan, dan penuh dengan manfaat. (Anwar at-Tanzil fi Asrar at-Ta’wil, 3: 281).

Berbeda dengan Al-Baidhawi, Quraish Shihab menafsirkan kata بِالْحِكْمَةِ menjadi beberapa kategori makna. Pertama, kata hikmah dimaknai sebagai “ilmu amaliyah” dan “amal ilmiah”. Maksudnya, seorang pendakwah sepatutnya menyampaikan ilmu yang bisa diamalkan dan amal yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Kedua, makna hikmah dalam ayat tersebut ialah seorang pendakwah harus mengetahui sasaran yang akan didakwahi. Hal ini penting agar pendakwah bisa menyampaikan secara bijak materi-materi dakwah sehingga dakwah bersifat kontekstual.

Ketiga, makna hikmah dalam ayat tersebut ialah seorang pendakwah harus mengetahui kebutuhan individu, masyarakat, dan kelompok yang akan menjadi sasaran dakwah. Hal ini penting diketahui agar pendakwah bisa menyikapi dengan bijak permasalahan-permasalahan yang muncul di kalangan masyarakat.

Potongan selanjutnya dari ayat ini juga memberikan himbauan agar menggunakan bahasa-bahasa yang baik dan tidak menimbulkan kebencian ketika menyampaikan pesan-pesan dakwah. Menurut Al-Baidhawi وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ mengandung makna yaitu dengan sebaik-baik cara, di antaranya santun, lembut, dan menampilkan wajah yang ramah. Selain itu juga, pendakwah harus menggunakan bahasa-bahasa yang dapat menenangkan huru-hara di antara umat dan memberikan penjelasan-penjelasan yang dapat menentramakan kekacauan di antara mereka. (Anwar at-Tanzil fi Asrar at-Ta’wil, 3: 281).

Quraish shihab juga mengomentari penggunaan kata ahsan merupakan bentuk isim tafdhil dari kata hasana. Isim tafdhil dalam bahasa Arab berfaedah untuk menampilkan suatu hal yang paling. Oleh karena itu, kata ahsan dalam ayat tersebut mengindikasikan bahwa ketika seorang berdakwah sepatutnya menggunakan cara yang terbaik baik dari segi bahasa, penampilan, dan isi-isi yang disampaikan.

Penggunaan bahasa yang baik menurut Imam al-Ghazali sangat berpengaruh pada aspek psikologis pendengarnya. Hal ini sebagaimana perkataan beliau berikut ini.

الكلام اللين يلين القلوب التى هي اقسى من الصخر, والكلام يخشن القلوب التى انعم من الحرير

Kata-kata lembut melembutkan hati yang lebih keras dari batu, dan kata-kata kasar mengeraskan hati yang lebih lembut dari sutra.

Dari penafsiran di atas, dapat kita kategorikan setidaknya harus ada beberapa komponen yang harus dimiliki oleh seorang da’i yang apabila disatukan menuju kepada dua hal yang disebut dengan bijak dan kontekstual.

Nuzul Fitriansyah

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru