Harakatuna.com – Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti menginginkan hidup bahagia dan sejahtera. Mencermati khasanah nilai kehidupan sejak zaman dulu sampai sekarang, cara bahagia itu bermacam-macam dan beragam. Namun demikian, dari sekian banyak cara menjadi bahagia bahwa cara inti untuk menjadi manusia bahagia adalah memahami Sunatullah.
Secara mudahnya, sunatullah adalah hukum alam yang ditetapkan Allah SWT untuk mengatur mekanisme alam semesta agar terjadi keserasian dan keseimbangan. Sunatullah ini juga bisa diartikan pola-pola kehidupan yang terjadi di dunia misalnya perputaraan rasa, kadang sedih kadang bahagia. Perputaran kekuasaan ada kalanya berkuasa ada kalanya menjadi rakyat biasa. Sunatullah bisa juga ketetapan Allah untuk setiap makhluknya sejak zaman azali.
Orang yang memahami sunatullah ini niscaya hidupnya akan menjadi bahagia, hal ini seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Hadid ayat 22-23,
مَآ اَصَابَ مِنْ مُّصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِيْٓ اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِيْ كِتٰبٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَّبْرَاَهَا ۗاِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللّٰهِ يَسِيْرٌۖ لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰىكُمْ ۗوَاللّٰهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۙ
Artinya: “Tidak ada bencana (apapun) yang menimpa di bumi dan tidak (juga yang menimpa) dirimu. Kecuali telah tertulis dalam Kitab (Lauhul Mahfudz) sebelum Kami mewujudkannya. Sesungguhnya hal itu mudah bagi Allah. (Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Dari ayat ini, kita bisa mengambil hikmahnya bahwa segala kejadian di bumi ini baik itu musibah, kesusahan maupun nikmat dan kesenangan sudah dituliskan Allah sejak zaman azali. Ketika kita sudah mengetahui bahwa rasa nikmat maupun rasa susah itu sudah ditentukan oleh Allah. Maka tiada lagi kita bersedih hati yang mendalam ketika ditimpa musibah. Dan tidak pula bergembira yang berlebih ketika diberikan nikmat.
Imam Arrazi mengomentari ayat diatas juga menganjurkan manusia untuk tidak bersedih atau berbahagia secara berlebih
لا تَحْزَنُوا حُزْنًا يُخْرِجُكم إلى أنْ تُهْلِكُوا أنْفُسَكم ولا تَعْتَدُّوا بِثَوابٍ عَلى فَواتِ ما سُلِبَ مِنكم، ولا تَفْرَحُوا فَرَحًا شَدِيدًا يُطْغِيكم حَتّى تَأْشَرُوا فِيهِ وتَبْطُرُوا
Artinya, “Jangan terlampau sedih hingga membuat kalian binasakan diri sendiri dan berlebihan atas hilangnya sesuatu dari kalian. Jangan pula terlalu bergembira hingga membuat kalian menjadi angkuh dan sombong.” (Ar-Razi, XXIV/468).
Perputaraan rasa antara kesedihan dan kesenangan, perputaraan nikmat dan musibah dalam menjalani kehidupan adalah sunnatullah yang sudah ditulis sejak zaman azali. Oleh karenanya orang yang bisa memahami ini niscaya akan menjadi manusia yang bahagia.
Manusia yang memahami sunatullah ini tidak perlu membuktikan kepada siapapun. Dan tidak perlu iri kepada siapapun karena ada perputaran rasa dan perputaran nikmat dalam kehidupan yang disebut sunatullah. Walhasil jadilah orang bahagia dengan memahami sunatullah ini, Wallahu A’lam Bishowab.