26.1 C
Jakarta

Tafsir Surah Al-Hujurat Ayat 6-13: Etika Pergaulan Sosial Masa Kini

Artikel Trending

Asas-asas IslamTafsirTafsir Surah Al-Hujurat Ayat 6-13: Etika Pergaulan Sosial Masa Kini
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Agama Islam sudah sempurna. Pedomannya ialah Al-Quran dan segala ajaran Rasulullah ﷺ baik berupa perkataan maupun perbuatannya. Dua sumber utama ajaran Islam ini tidak akan pernah lekang oleh zaman. Zaman, dengan segala yang menyertainya—kebudayaan, gaya hidup, pola interaksi manusia, dan sebagainya, boleh saja berubah, tetapi Islam akan selalu kontekstual dan mampu memberikan jawaban atas segala persoalan yang bermunculan. Dengan begitu, umat Muslim tidak akan mungkin kehilangan arah dalam menjalani kehidupannya jika Al-Quran dan Sunnah benar-benar menjadi pedoman hidup. Namun, pertanyaannya, apakah saat ini Al-Quran dan Sunnah sudah benar-benar menjadi pedoman hidup bagi setiap umat Muslim? Berikut penjelasan tafsir surah Al-Hujurat ayat 6-13 tentang etika pergaulan sosial masa kini

Permasalahan di masa kini semakin kompleks. Kejahatan mewujud dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari kejahatan yang paling ekstrem dan terang benderang seperti terorisme, korupsi, seks bebas serta LGBT, dan segala tindakan lainnya yang dapat merugikan banyak orang sampai kejahatan yang samar-samar dan menjangkiti batin manusia seperti iri dan dengki. Semua problem ini terjadi barangkali sebab banyak umat Muslim yang tidak sungguh-sungguh menjalankan hidup sesuai dengan pedoman yang ada. Sunnah Rasulullah ﷺ tidak dipelajari dan dijalankan. Al-Quran, yang seluruh kandungannya mestinya diamalkan, dibaca saja tidak. Seandainya pun Al-Quran itu dibaca belum tentu paham maknanya, seandainya paham belum tentu diamalkan, seandainya diamalkan belum tentu ikhlas, seandainya ikhlas belum tentu istikamah. Sungguh banyak dan bertingkat persoalan umat Muslim saat ini.

Kalau umat Muslim mau menelaah, menghayati, dan mengamalkan isi Al-Quran, seluruh persoalan yang ada saat ini akan dapat ditemukan jawaban dan penyelesaiannya. Apalagi hal-hal yang berkaitan dengan hubungan terhadap sesama—yang mana saat ini permasalahannya ruwet sekali. Sebagai contoh permasalahan, tengoklah berapa banyak orang atau kelompok yang dengan mudah melemparkan kesalahan kepada orang atau kelompok lain sebab merasa dirinya atau kelompoknya adalah yang paling benar. Permasalahan-permasalahan semisal itu akan teratasi dengan mengamalkan perintah dan petunjuk Allah yang ada di dalam Al-Quran.

Al-Quran sudah memberikan panduan tentang tata cara dan etika pergaulan sosial. Al-Quran sudah memberikan petunjuk bagaimana harus bersikap kepada semua ciptaan Allah, terutama kepada sesama manusia. Lihatlah pada Surah Al-Hujurat yang mengandung pedoman pergaulan sosial, yang rasanya urgen sekali untuk diamalkan pada hari-hari ini.

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” Q.S. Al-Hujurat (49): 6

Ayat 6 dalam Surah Al-Hujurat mengajarkan agar umat Muslim yang beriman untuk senantiasa cermat dalam menerima setiap berita, kabar, maupun informasi yang belum jelas sumbernya dan terlebih bila itu datang dari orang fasik. Maraknya berita hoaks dan fitnah menunjukkan lemahnya kesadaran umat Muslim untuk mengecek terlebih dahulu kebenaran suatu berita sebelum menyebarluaskan, mengeluarkan pendapat, dan bertindak. Mengonfirmasi kebenaran harus menjadi budaya umat Muslim sehingga tidak mudah terprovokasi dan tersulut emosi yang pada akhirnya hanya menimbulkan perpecahan dalam tubuh umat Muslim itu sendiri.

Selanjutnya pada ayat 9 dan 10 Surah Al-Hujurat, Allah memberikan perintah untuk berlaku adil dan menjadi pendamai apabila ada golongan yang sedang berseteru sebab sesama orang beriman adalah saudara.

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” Q.S. Al-Hujurat (49): 9

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaiki hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” Q.S. Al-Hujurat (49): 10

Berlaku adil jelas suatu hal yang berat karena seringkali manusia dibutakan oleh nafsu dan arogansi sehingga memihak pada kepentingan duniawi, baik yang berasal dari dirinya maupun kelompoknya. Jika keadilan tidak ditegakkan, sulit kiranya membayangkan perdamaian akan terjadi. Sebagian golongan akan terus merasa dirugikan dan sebagian yang lain akan berlaku sesukanya. Maka dari itu, penting bagi umat Muslim untuk berlaku adil sesuai syariat dan perjanjian-perjanjian yang telah ditetapkan sehingga tidak ada perselisihan antar manusia.

Kemudian pada ayat 11 Surah Al-Hujurat, Allah memerintahkan umat Muslim untuk tidak saling merendahkan, mencela, dan mengejek.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” Q.S. Al-Hujurat (49): 11

BACA JUGA  Tafsir Ayat Perang: Melihat Konteks Qs. al-Taubah [9]: 29 dalam Tafsir Buya Hamka

Persoalan ini kerap terjadi di sekitar umat Muslim. Sebagian orang merasa lebih baik daripada sebagian yang lain. Sebagian orang yang merasa lebih baik tersebut lantas menertawakan dan mengejek, merendahkan, sampai mencela sebagian lain yang dianggap lebih buruk. Sesungguhnya sikap merasa lebih baik itu tidaklah muncul kecuali dari keangkuhan hati, yang mana keangkuhan hati itu disebabkan oleh penilaian yang salah terhadap tinggi rendahnya derajat seseorang. Seseorang yang kaya merasa lebih tinggi martabatnya daripada yang miskin, seseorang dengan pangkat yang lebih tinggi merasa lebih terhormat daripada yang berpangkat rendah, seseorang yang memiliki fisik bagus merasa berhak untuk menghina orang lain yang berfisik kurang sempurna. Padahal di hadapan Allah derajat manusia ditentukan oleh ketakwaan (Q.S. Al-Hujurat (49): 13), baik atau buruknya seseorang dinilai dari ketaatannya dalam melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, bukan oleh kelebihan harta benda, pangkat, maupun fisik. Lagipula, bukankah semua itu adalah pemberian Allah dan hanya bersifat titipan? Maka tidak semestinya seseorang yang hanya dititipi merasa memiliki apalagi sampai menyombongkannya.

Lalu, di ayat selanjutnya—Al-Hujurat ayat 12, mengandung ajaran untuk menjauhi sifat curiga dan perilaku gemar mencari-cari keburukan orang lain serta menggunjingkannya.

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purbasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seseorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” Q.S. Al-Hujurat (49): 12

Pada zaman kiwari ini, teknologi menghadirkan kemudahan akses informasi dan penyebarluasannya. Andai tidak bijak dalam menggunakan fitur teknologi tersebut, umat Muslim bisa terbawa pada perilaku buruk: bergosip atau bergunjing—tidak lagi hanya dari mulut ke mulut, tapi merambat pada media sosial ke media sosial. Sekarang bisa dengan mudah mencari data atau informasi pribadi seseorang di internet, yang bisa digunakan untuk tujuan yang baik atau tujuan yang buruk seperti mencari aib dan keburukan orang. Perilaku senang mencari-cari keburukan orang apalagi sampai menggunjingkannya tentu saja merupakan suatu perilaku yang buruk. Dalam ayat 12 pada Surah Al-Hujurat tadi diumpamakan seseorang yang menggunjingkan keburukan orang lain bagaikan memakan daging saudaranya sendiri yang sudah mati. Sebuah perumpamaan yang jelek sekali. Tidaklah akan ada yang tidak merasa jijik terhadap hal itu. Dengan demikian, sewajibnya umat Muslim menjauhi perbuatan tersebut. Langkah awal yang mesti dilakukan ialah dengan menjauhi dulu purbasangka atau kecurigaan. Sebab kecurigaan itulah yang menjadi sumber dari keinginan untuk mencari-cari keburukan orang lain lalu menggunjingkannya. Memang semestinya umat Muslim memerbanyak husnuzan.

Berikutnya, Surah Al-Hujurat ayat 13 mengabarkan kepada manusia—tidak hanya kepada umat Muslim atau yang beriman seperti perintah pada ayat-ayat sebelumnya, untuk saling mengenal.

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal.” Q.S. Al-Hujurat (49): 13

Allah menciptakan manusia dengan segenap perbedaannya—jenis kelamin, rupa, bahasa, sampai suku dan bangsa, dengan tujuan agar kenal-mengenal. Hal ini mengindikasikan perintah untuk bersatu dan berbuat baik terhadap semua manusia tanpa melihat perbedaan-perbedaan di antara mereka. Persatuan dapat terjadi apabila sudah saling mengenal. Sebab mengenal orang lain adalah kunci untuk memunculkan sikap peduli dan cinta. Jika sudah tumbuh kepedulian dan rasa cinta, manusia bisa berbuat baik kepada semua tanpa membeda-bedakan lagi.

Tentu masih banyak kandungan dalam Surah Al-Hujurat untuk pedoman menjalani kehidupan dan lebih banyak lagi jika seluruh Al-Quran dikaji lebih jauh lagi. Oleh sebab itu, mengungkap isi Al-Quran haruslah dilakukan.

Al-Quran harus menjadi cerminan kepribadian umat Muslim, sebab jika tidak, lantas apa bedanya dengan mereka yang bukan umat Muslim? Orang-orang yang bukan Islam tentu tidak membaca Al-Quran, tetapi yang mereka baca adalah kepribadian umat Muslim. Jika umat Muslim menampilkan diri dengan baik, mereka akan menilai baik Islam. Apabila sebaliknya, umat Muslim menampilkan citra buruk, maka mereka akan menilai buruk pula agama Islam. Oleh sebab itu perlu kiranya umat Muslim untuk merefleksikan diri, sudah sedalam apa memahami kandungan Al-Quran dan sejauh mana menjalankan ajaran-ajarannya.

Al-Quran jangan sampai hanya dibaca untuk formalitas saja, dibaca hanya ketika ada kegiatan tadarus bersama atau tahlilan—itu pun barangkali dengan perasaan terpaksa, atau dibaca hanya untuk dibangga-banggakan saja sebab bisa khatam berkali-kali. Apa gunanya khatam Al-Quran seribu kali sekalipun bila tidak dipahami dan diamalkan? Maka, mari telaah Al-Quran, hayati kandungannya, dan amalkan ajarannya.

Febrian Eka Ramadhan. Mahasiswa prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta. Suka menulis sastra dan pelajaran hidup.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru