31.8 C
Jakarta

Tafsir Persuasif Sebagai Langkah Kontra-Radikalisasi

Artikel Trending

KhazanahPerspektifTafsir Persuasif Sebagai Langkah Kontra-Radikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Satu diantara media regenerasi kesalehan Agama adalah dakwah, sebuah upaya penguatan nilai moral-teologis Islam yang tentu merujuk pada al-Qur’an sebagai pedoman. Termasuk melalui tafsir sebagai teks dan metode memakna-fahamkan isi kandungannya.

Upaya itu telah berlangsung sejak lama, dan telah berjibun-pula dai yang telah melakukanya, termasuk Ulama terpopuler Indonesia tahun 2020 M, KH Ahmad Bahauddin Nursalim yang akrab dipanggil ‘Gus Baha’.

Adapun istilah tafsir persuasif sendiri, penulis adopsi dari kesimpulan Muhsin Mahfudz dalam tulisan yang berjudul “Fī Ẓilāl al-Qur’ān: Tafsir Gerakan Sayyīd Quṭb”. Ia menggolongkan kitab tafsir karya tokoh radikal Mesir abad 19 M  itu dengan nuansa sosial pergerakan berdasarkan persuasivitas bahasa sastra yang digunakan. Penjelasan ayat-ayat al-Qur’an yang cenderung menjadi rujukan kaum radikal dan ekstrimis.

Di sisi lain, kebudayaan Indonesia yang multikultural tentu akan cocok jika menjadi lahan proliferasi ideologi radikalisme atau semacamnya, yang pada faktanya juga dilakukan dengan memanfaatkan digitalisasi informasi di berbagai media. Perilaku konsumtif masyarakat indonesia dalam hal ini tentu perlu dikhawatirkan, terutama di media sosial. Anonimitas, jejaring yang luas dan minimnya penghambat di dalamnya, menjadikan media sosial sebagai media yang paling berpotensi efektif untuk radikalisasi.

Deradikalisasi Tafsir Persuasif

Barangkali sudah maklum, bahwa lantunan ayat-ayat al-Qur’an saja sudah mampu menyentuh relung hati pendengarnya, apalagi kandungannya? Dalam artian tidak mustahil jika tafsir sebagai penjelasan juga memiliki sifat persuasif. Dalam rentang tahun 2016-2002 M, cukup banyak penelitian yang telah membuktikan efektivitas kotra-narasi melawan radikalisme, baik dengan bentuk argumentatif maupun persuasif.  Satu di antaranya laporan Faizin dan anggota dengan judul “Narasi Positif-Persuasif: Tafsir Ayat-Ayat Kebajikan Untuk Deradikalisasi Dunia Maya”.

Persuasivitas narasi keagamaan memang sangat dibutuhkan di tengah kebutuhan manusia yang semakin konsumtif, terutama soal teknologi dan gadget dengan segala negatifitas-nya. Sebagai bangsa yang multikultural, tidak heran jika  di Indonesia moderasi beragama terus digaungkan. Tentu harus dengan narasi yang tidak hanya sejuk bagi Agama sendiri, melainkan juga tidak menyakiti Agama yang lain.

Sebab sebuah narasi dapat memiliki dampak negatif, misalnya legitimasi kaum radikal dan ekstrimis atas Tafsī fī Ẓilāl al-Qur’ān karya Sayyīd Quṭb. Posisi al-Qur’an sebagai teks inti dalam ajaran Islam pada posisi tertentu memang berpotensi untuk dieksploitasi, bahkan atas tujuan yang sama, yakni mengungkap pesan dan petunjuk yang dikandungnya sebagai respon Agama pada kebutuhan dan dinamika sosial keagamaan umatnya.

Jika radikalisme terus berbiak, maka citra Islam yang humanis dan adaptif akan sirna begitu saja. Terutama di Indonesia yang telah diwarnai ragam akulturasi tradisi dan budaya warisan walisongo sebagaimana terekam dalam sejarah islamisasi Nusantara.

Sebagai negara yang bersemboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, maka Indonesia harus membasmi ragam bentuk radikalisasi. Misalnya menciptakan kontra-narasi atau narasi tandingan atas wacana intoleransi dan ekstremisme, baik bententuk penolakan, kritik, atau regenerasi kesalehan.

Misalnya dengan dakwah, baik lewat tulisan maupun lisan, atau bahkan audiovisual dengan memanfaatkan media sosial sebagaimana juga dilakukan oleh kaum radikal. Jika tidak setidaknya berpartisipasi dengan ikut menyebarluaskan konten-konten yang menolak radikalisme. Seperti cuplikan-cuplikan ceramah dan pengajian tafsir Gus Baha yang terkadang ikut menolak radikalisme.

BACA JUGA  Mengubur Egoisme Politik, Mewujudkan Indonesia Harmoni

Tafsir Persuasif Gus Baha 

Jika kaum radikal memiliki Sayyīd Quṭb dengan Tafsī fī Ẓilāl al-Qur’ān, maka penulis punya pengajian Tafsīr Jalālayn Gus Baha sebagai tandingan yang telah bertebaran di kanal Youtube.  Misalnya penjelasan Gus Baha pada QS. an-Nūr : 55,  yakni ayat yang cenderung dieksploitasi oleh kaum khilafah unggahan channel youtube Tafsir Nu pada 15 Mar 2020 M.

Di dalamnya Gus Baha memberi makna kalimat ‘لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ’ dengan janji pergantian kekuasaan yang temporal, tidak terburu-buru.  Faktanya, kota Syam (romawi) saja baru bisa ditaklukkan khalifah Umar bin Khattab, 16 tahun setelah wafatnya Nabi. Sedang konstantinopel, 600 tahun setelah Nabi tiada pada pada masa Sultan Muhammad al-Fātīh.

Sedang walisongo dan kebanyakan ulama Indonesia umumnya menegakkan nahyī munkar adalah dengan kesabaran. Dari sekian argumen dan analogi yang dipaparkan, penulis berpemahaman bahwa terburu-buru akan janji Allah dan Nabi bahkan dapat juga berarti mengingkari posisi Allah sebagai Dzat yang Lā Yuḥlifu al-Mī’ād (tidak mungkin ingkar janji), serta Nabi sebagai Aṣḍiqāl Qalāil (paling jujur perkataannya).

Dari pengajian tafsir dan ceramahnya, beberapa penulis juga telah membukukan buah pikirnya. Misalnya karya Khairul umam berjudul “Bahagia Beragama Bersama Gus Baha” terbitan PT Gramedia tahun lalu.  Buku ini berisi  9 bagan yang masing-masing berisi pandangan beliau tentang hal-hal yang berkaitan dengan keberagamaan Islam dengan hanya 163 halaman saja, jendela Ilmu yang ringkas dan reflektif menjawab fenomena sosial-Agama.

Misalnya dalam hal 7 tertulis “tak usah terlalu khawatir dengan hidup, tak usah pula terlalu takut bahwa ibadah dan amal kebaikan yang kita lakukan tidak akan diterima Tuhan. Ibadah saja, Tuhan pasti terima”. Tentu sebab Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang, bahkan terlalu takut merupakan sikap kurang sopan menurut beliau.

Benar saja, misalnya kita selalu menerima kebaikan dari seseorang, tapi kita selalu merasa takut atau bahkan suuzan padanya. Tentu dia akan tersinggung dan itu jelas kurang sopan, apalagi kepada Tuhan? Yang mulai sejak lahir kebaikan-Nya sudah kita nikmati.

Ungkapan itu sangat menyejukkan di tengah mobilitas kehidupan yang terus meningkat dan memberi konsekuensi tidak sempat untuk menambah ibadah. Kekhawatiran akan diterima atau tidaknya ibadah yang minimalis tentu hal yang maklum. Gus Baha juga menegaskan bahwa sebaik-baiknya Ibadah adalah bekerja, yang dari itu manusia terjauh dari meminta-minta, mencuri, dan memenuhi kewajiban menafkahi keluarga.

Dari sini persuasivitas Gus Baha tentu berbeda dampak dengan Sayyid Quṭb, beliau cenderung menciptakan agama yang rileks dan adaptif, diselingi cerita dan lelucon yang membahagiakan, serta contoh yang aktual. Sesuai dengan 4 metode komunikasi persuasif Jamaluddin Kafie dalam ‘Psikologi dakwah’ yang meliputi memberi perumpamaan yang sedang diminati (asosiasi), penyesuaian diri dengan komunikan, menyajikan imbalan, ancaman, atau sugesti (pay-off), dan memperindah pesan-pesan.

Muqsid Mahfudz
Muqsid Mahfudz
Santri PP Al-Anwar Sarang Rembang/Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir STAI Al-Anwar Sarang Rembang. Tulisannya telah termuat di beberapa media cetak dan online.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru