30.9 C
Jakarta
Array

Tafsir Abu Bakar As-Siddiq;  Alquran Sebagai Terapi Sosial

Artikel Trending

Tafsir Abu Bakar As-Siddiq;  Alquran Sebagai Terapi Sosial
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Jika kita bertanya siapa yang paling paham tentang Nabi, maka jawabannya adalah orang-orang  terdekat Nabi, yakni istri dan para sahabat yang keseharian bersamanya. Kedekatan ini menjadi jalan yang sangat berpengaruh dalam proses transformasi ilmu. Salah satunya dalam proses penafsiran Alquran yang terealisasi dalam tindakan seperti praktek tafsir Abu Bakar. Selain itu, Alquran yang diturukan secara berangsur-angsur memiliki hikmah tersendiri, yaitu lebih mudah diamal dalam kehidupan sehari-hari oleh para sahabat.

Dari segi periodik, para sahabat yang memiliki kedekatan dengan Rasulullah, serta menjadi objek dari turunnya wahyu menjadikan pemahaman mereka menjadi kuat dan sangatlah akurat. Maka tak khayal jika dalam surat At-Taubah [9]:  100, Allah menyinggung bahwa  orang terdahulu, yang pertama masuk Islam termasuk dalam urutan pertama yang masanya menjadi masa terbaik.  Mereka seakan mendapat legalitas dari Alquran atas Ridho Allah. Bahkan, dalam hadist Riwayat Imam Muslim mengatakan,” Khair al-ummatii al-qarn al-ladhiina yaluunii wa thumma al-ladhiina  yaluunahum thumma al-ladhina yaluunahum” (Sebaik-baiknya ummatku adalah pada masa setelahku kemudian generasi setelahnya dan generasi setelahnya. HR. Muslim)

Begitupun, dalam menafsirkan ayat Alquran, kalangan syafiiyah  menjadikan ucapan para sahabat sebagai istimbat hukum. Setidaknya ada dua hal yang dijadikan landasan , yaitu:

Pertama, sahabat merupakan orang terdekat Nabi, sehingga dalam ada proses mendengar secara langsung (sima’) dari Nabi. Ini berada pada status marfu’.

Kedua,  apabila seorang sahabat melakukan ijtihad, maka pendapat yang dikeluarkannya lebih kuat daripada pendapat lain. Hal ini karena para sahabat nabi melihat langsung proses turunnya wahyu, dimana dan kepada siapa wahyu itu diturunkan.

Maka dari itu, sahabat memiliki andil besar dalam proses penafsiran Alquran. Salah satunya, penafsiran Alquran yang dilakukan sahabat Abu Bakar As-Siddiq melalui interaksi sosialnya.

Abu Bakar, Sahabat Nabi yang dapat Dipercaya (As-Siddiq)

Abdul Ka’bah, begitu nama asli Abu Bakar As-Siddiq. Seorang sahabat yang dikemudian (pasca wafat Nabi) menjadi khalifah yang disegani. Sahabat yang sepatah kata dari ucapan Nabi pun ia percaya. Cerita masyhur yang banyak diketahui, pasca Nabi selesai melaksanakan Isra’ dan Mi’raj, Abu Bakar adalah orang pertama yang mempercayai peristiwa bersejarah di tengah kehebohan masyarakat Makkah kala itu. “Rasulullah, saya percaya”. Dengan ungkapan itulah akhirnya julukan As-Siddiq menjadi perisai nan agung yang terpasang hingga kini di akhir namanya.  Abu Bakar adalah ujung tombak dalam peristiwa Isra’ Mi’raj,  ucapan yang dilontakan Abu Bakar memberikan ketenangan di hati Rasul akan kebenaran risalahnya.

Kepercayaam Abu Bakar pada hari bersejarah itu, membuat prilakunya termaktub dalam surat Az-Zumar [39]: 33.

Sahabat Nabi yang lahir 51 sebelum Hijriah ini, adalah seseorang yang tidak menyukai adat Jahiliyah yang ada pada saat itu. Bahkan, ia tak mau mengikuti tatacara beribadah orang Arab-Pagan. Kemudian, ketika Rasulullah datang membawa risalah, beliau dengan cepat menerimanya dengan sebuah keimanan yang kuat.

Terapi Sosial, Penafsiran Abu Bakar As-Shiddiq

Ketika Rasulullah meninggal dunia (wafat), kabar tersiar dengan cepat, berjajar dengan kekuatan cahaya. Duka tergambar dimana-mana. Bahkan sahabat Umar bin Khattab sangat bersedih hati, sampai ia berkata, “Jaga mulutmu, sekali lagi kamu berkata begitu, aku potong lehermu!”

Mendengar sahabatnya umar berkata demikian, Abu Bakar membacakan sebuah ayat dalam surat Ali Imran. [3]: 144.  “.. wa maa muhammadun illa al-Rasuul qad khallat min qablihi al-Rusul.”

Umar langsung tersungkur, ia menyadari bahwa tindakannya sudah melebihi batas. Ia kembali sadar, bahwa Nabi Muhammad tidak lain adalah seorang Rasul atau Hamba Allah, Utusan Allah, yang sewaktu-waktu mampu Allah cabut nyawanya sebagaimana manusia pada umumnya.

Pembacaan Abu Bakar terhadap ayat itu untuk memperingatkan Umar merupakan bentuk penafsiran Abu Bakar sebagai terapi sosial yang mampu menenangkan jiwa. Mengembalikan kesadaran dan ketenangan bagi seseorang.

Selain itu, dalam masa pemerintahannya (pasca wafat Rasul) banyak para pembangkang yang tidak ingin membayar zakat. Padahal mereka mampu untuk berzakat. Orang-orang pembangkang yang tidak mau membayar zakat diperangi karena beberapa hal; 1) terbentuk dalam sekutu, yang mampu merusak tatanan negara. 2) Mereka merupakan golongan orang-orang munafik.

Penafsiran Abu Bakar yang bersifat tafsir Alquran bi Alquran ini, mampu memberikan terapi dan memobilisasi pada masayarakat kala itu. Usaha dalam menanamkan Alquran dalam kesehariannya. Bagi Abu Bakar, selain memiliki dimensi ruhani, Alquran juga memiliki dimesi sosial yang sangat kuat. Tidak cukup baginya orang salat, sementara tetangganya kelaparan.

*Referensi : Abdur Rohman, Tafsir Sahabat: Fakta Sejarah Penafairan Al-Quran Ala Sahabat Nabi, (Kediri: Parafrasa, tt.).*

_wawwahu’alam bissowab_

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru