28 C
Jakarta

Syiah, Stigmatisasi, dan Kebencian yang Memecah-Belah

Artikel Trending

KhazanahTelaahSyiah, Stigmatisasi, dan Kebencian yang Memecah-Belah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Ujaran kebencian yang menstigmatisasi Syiah terus terjadi. Dalam sebuah diskusi kecil di live Instagram yang dilakukan santri Gus Dur selama Ramadhan dengan tajuk Ziarah Digital, menghadirkan berbagai tokoh, ulama panutan masyarakat Indonesia. Ziarah Digital sesi terakhir tersebut dilaksanakan pada Senin, 10 Mei 2021 yang menghadirkan Habib Husein Ja’far Al-Hadar dengan tema “Toleransi dan Islam Kekinian”.

Pengalaman menjadi host dalam acara ziarah digital sejak sesi pertama hingga akhir, menemani Habib Husein adalah pengalaman mainstream bagi saya. Sebab hampir seribu penonton yang menyimak dalam obrolan kami.

Seandainya netizen yang hadir pada acara tersebut menyimak dengan baik, saya justru merasa senang. Akan tetapi, tidak pada kesempatan itu. Di antara komentar yang membuat saya gusar adalah komentar kepada Habib Husein atas tuduhan Syiah, kafir, dan perusak agama.

Seperti kita ketahui bahwa selama ini Habib Husein dikenal dengan penampilannya yang kekinian, tanpa sorban dan pakaian top seperti pada umumnya seorang habib. Namanyapun di kalangan milenial semakin dikenal dengan kolaborasinya dalam majelis lucu Indonesia dalam tajuk Pemuda Tersesat. Meski demikian, Habib Husein memiliki konten sendiri yang berajuk “Jeda Nulis”. Ia pun berdakwah begitu ramah kepada milenial dengan isu-isu kekinian yang dialami oleh anak muda.

Tidak hanya itu,salah satu bukunya yang berjudul “Tuhan Ada di Hatimu” yang diterbitkan oleh Noura Books, berisi tentang fenomena kekinian yang menjadi salah satu kegusaran milenial selama ini. Sepak terjang Habib Husein dalam menyebarkan ajaran Islam cinta yang selama ini didakwahkan, memberikan warna baru bagi kita tentang pemahaman Islam yang mengajarkan kasih dan sayang.

Meski demikian, sepak terjang tersebut seperti hilang begitu saja jika melihat banyaknya komentar yang hadir dalam live Instagram yang saya pandu. Barangkali saya memaklumi ketika terdapat komentar yang masih mencari afirmasi tuduhan Syiah kepada Habib Husein. Namun, menjadi terlihat tidak etis ketika membaca beberapa komentar yang saling menyerang, mengkafirkan, bahkan komentar-komentar negatif lainnya.

Milenial Defisit Agama

Instagram memang dihuni oleh anak muda. Dilansir dari We are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna media sosial Instagram berjumlah 85 juta. Total pengguna media sosial secara umum pada Januari 2021, hampir 170 juta penduduk. Dari segi usia pengguna medsos, laporan tersebut memperlihatkan bahwa usia pengguna media sosial yakni warga dengan rentang usia 25-34 tahun mendominasi. Setelah itu kelompok usia 18-24 tahun.

BACA JUGA  Kawal Pasca Pemilu: Hidupkan Persatuan, Hentikan Perpecahan!

Ini bisa dipastikan, komentar-komentar negatif yang digencarkan dalam diskusi tersebut adalah kaum milenial, anak muda yang sedang haus akan ilmu agama, sedang mencari afirmasi dalam setiap sedikit ilmu pengetahuan yang dimiliki. Parahnya, sikap bijak bermedia sosial dalam menanggapi fenomena yang sangat sensitif tersebut tidak diimbangi dengan literasi agama yang mumpuni.

Sehingga jika kedua kemampuan di atas tidak imbang, maka dalam kasus ini seseorang secara prematur menerima informasi, komentar negatif atas tuduhan Habib Husein Syiah dengan kalimat-kalimat yang tidak sopan dan menyakiti perasaan.

Krisis Akhlak

Dalam buku yang ditulis oleh Prof Quraish Shihab, “Yang Hilang Dari Kita, Akhlak” diterbitkan oleh lentera hati, 2016. Kiranya menjadi penting sebagai refleksi kita pada hari ini dalam menanggapi fenomena keberagamaan. Kita kadangkala mengaku orang yang beragama, khususnya sebagai Muslim. Namun, dalam keseharian justru tidak tampil sebagai orang yang beragama, krisis akhlak dan hanya menghamba pada pengetahuan semata.

Dalam kasus ini, barangkali bisa kita tarik pada kehidupan di dunia media sosial yang fana. Banyak sekali hal yang terjadi pada sekitar kita hari ini. Akan tetapi, justru cara menanggapinya sangat jauh dari nilai-nilai keislaman. Padahal, kita tahu bahwa tidak ada yang bisa dikedepankan dalam kehidupan selain adab, sopan santun dalam melakukan relasi antarmanusia.

Akhlak kita pada hari ini tidak hanya mengacu dalam kehidupan nyata dengan wujud menghargai ulama secara nyata. Melainkan kehidupan media sosial harus juga menjadi salah satu ladang berinteraksi yang baik dan sopan kepada orang memberi pengetahuan agama dengan cinta kasih. Berislam tentu tidak hanya pada dimensi saleh ritual, akan tetapi saleh secara sosial dan spiritual menjadi satu kesatuan yang utuh menunjukkan kita seorang Muslim. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru