Semua umat Muslim tahu jika haji merupakan salah satu rukun Islam yang kelima. Memandang statusnya sebagai rukun (tiang pondasi) dalam agama, maka setiap insan Muslim ingin melaksanakannya sebagai pemenuhan suatu kewajiban. Namun sejatinya haji merupakan suatu ibadah yang kewajibannya tergantung pada beberapa aspek. Ketika beberapa aspek belum terpenuhi bagi seseorang maka dia masih belum tertuntut untuk melaksanakannya.
Dalam teori fikih, pelaksanaan haji itu ada syarat dan ketentuannya. Pertama syarat yang menjadikan seseorang harus melaksanakan haji saat itu. Dan juga ada syarat yang menjadikan pelaksanaan haji menjadi sah. Berikut ini akan sedikit dikupas mengenai syarat-syarat yang membuat haji menjadi wajib dilaksanakan.
Secara garis besar syarat wajib haji itu ada empat (4); a. beragama Islam; b. mukalaf; c. merdeka; d. mampu. Namun ketika diperinci syarat-syarat tersebut menjadi tujuh (7) syarat. Berikut penjelasannya;
Pertama, beragama Islam. Tentu siapapun non-Muslim tidak dituntut untuk berhaji. Kalaupun ada non-Muslim yang melaksanakan ibadah haji, hajinya dinilai tidak sah. Sebab ibadah kepada Allah itu diharuskan bagi yang meyakininya. Adapun non-Muslim tidak tertuntut melaksanakannya ketika di dunia, namun tertuntut kelak ketika di akhirat.
Kedua, baligh. Anak yang belum mencapai baligh maka wajib melaksanakan ibadah haji. Karena mereka belum tertuntut hukum-hukum syariat semisal shalat, puasa dll. Sehingga anak yang sudah melaksanakan haji sebelum baligh, kewajiban hajinya belum gugur dan haji yang ia lakukan sebelumnya jatuh hukum haji sunah. Syarat wajib ini didasarkan pada hadis hasan yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Ali bin Abi Thalib, Pena (pencatatan amal) tidak berrgerak bagi tiga orang; orang tidur hingga terbangun, bocah kecil hingga baligh, orang hilang akal hingga sadar.
Ketiga, berakal. Orang yang akalnya tidak berfungsi baik dia gila, pingsan, dan lain sebagainya tidak wajib berhaji. Bagaimana bisa dia melangsungkan ibadah haji yang menuntut fisik, akal, dan hati bersatu untuk beramal secara fokus. Landasan dalilnya pun sama dengan syarat baligh di atas. Tidak heran jika ulama menyingkatnya dengan istilah mukalaf (orang yang sudah dituntut melaksanakan perintah dan larangan agama). Terkadang juga ada yang menggabungkan keduanya dengan istilah akil baligh.
Keempat, merdeka atau bebas. Yang dimaksud dengan merdeka di sini adalah bukan seorang budak. Mengingat budak di zaman modern sudah tidak ditemukan, maka syarat ini bisa gugur dengan sendirinya. Namun syarat ini tetap bisa dipertahankan bagi orang-orang yang waktunya terikat dengan hak-hak orang lain semisal pekerja atau karyawan. Sehingga ia harus terbebas dari kewajiban bekerja dengan cara memohon cuti izin selama melaksanakan ibadah haji.
Kelima; Keenam dan Ketujuh, mampu. Syarat ini berangkat dari ayat yang mewajibkan haji yakni QS Ali Imran [3]: 97. Di sana tertera redaksi man istathâʻa ilaih sabîla. Para sahabat menanyakan kepada Rasulullah saw apa yang dimaksud dengan redaksi sabîla. Nabi saw menerangkan bahwa yang dimaksud adalah adanya bekal dan kendaraan (HR. al-Hakim dari Anas bin Malik). Pada syarat terakhir ini sengaja menyingkat tiga syarat menjadi satu poin yakni mampu. Kemampuan di sini meliputi tiga aspek yakni secara fisik, secara finansial, dan secara keamanan. Siapapun yang tidak memenuhi ketiga aspek tersebut maka haji belum wajib ia laksanakan. []