Harakatuna.com. Depok. Survei yang dilakukan Wahid Foundation kepada kalangan aktivis Rohani Islam (Rohis) menunjukkan bahwa 86 persen aktivis Rohis di SMA ingin berjihad ke Suriah.
Dalam kuesioner yang disebar Wahid Foundation menunjukkan, tujuh dari 10 aktivis Rohis ingin berjihad ke Suriah. Para pengurus Rohis ini kebanyakan adalah siswa yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
“Surveinya kami gelar tahun 2016. Sebanyak 86 persen setuju untuk jihad ke Suriah dan 37 persen menolak. Di sini tantangan kebinekaan kita diuji,” ujar Direktur Wahid Institute Yenny Zannuba Wahid dalam Talkshow “Bhinneka Indonesia: Modal Sosial Bernegara” di Auditorium Juwono Sudarsono FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Kamis (16/2) sore.
Diungkap Yenny, dalam survei itu juga terpetakan karakteristik kelompok radikal di Indonesia yakni berusia muda dan laki-laki, cenderung memahami ajaran agama secara literalis. Mereka banyak terpapar informasi keagamaan yang berisi kecurigaan dan kebencian, cenderung mengingkari atau menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan terhadap kelompok lain yang tidak disukai, cenderung membenarkan dan mendukung tindakan dan gerakan radikal.
Para anak muda ini, lanjut Yenny, juga rentan merasa memiliki perasaan teralienasi atau deprivasi. Mereka merasa terasing dari lingkungannya. Alhasil mereka mudah dimasuki oleh paham-paham radikal dan intoleran.
“Semakin responden mendukung nilai demokrasi maka potensi intoleransi sosial keagamaannya akan semakin rendah. Mayoritas Muslim Indonesia sebanyak 72 persen menolak tindakan radikal. Hanya 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan hanya 0,4 persen yang pernah melakukan tindakan radikal,” tutur Yenny.
Indonesia, kata Yenny, memiliki modal besar untuk mengatasi masalah intoleransi. Modal besar ini adalah Pancasila dan Demokrasi.
Berdasarkan survei Wahid Foundation, 82,3 persen rakyat Indonesia masih mendukung Pancasila dan UUD 1945. Responden memandang Pancasila dan UUD 1945 amat sesuai bagi Indonesia. Selanjutnya, 2,5 persen mengatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 bertentangan dengan Islam dan Indonesia harus menggunakan syariat Islam seutuhnya.
Lalu, apa yang dapat dilakukan pemerintah pusat? Yenny mengatakan, untuk mengatasi masalah intoleransi dan radikalisme, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama dapat mengembangkan modul-modul pembelajaran penguatan hak-hak kewarganegaraan, toleransi dan perdamaian di lingkungan sekolah atau kampus. Sedangkan pemerintah daerah wajib tegas untuk tidak memfasilitasi atau memberi dukungan terhadap kelompok-kelompok yang melakukan aksi-aksi intoleran dan radikal.
“Kita sebagai warga negara ya harus menguatkan kesadaran diri untuk melaksakan nilai-nilai Pancasila yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Yenny.
Sumber: Suara Pembaruan