25.4 C
Jakarta

Surat Yunus Ayat 39, Tamparan Keras bagi Penceramah yang Mudah Berkata ‘Tidak Ada Hadisnya’

Artikel Trending

Asas-asas IslamAl-Qur’anSurat Yunus Ayat 39, Tamparan Keras bagi Penceramah yang Mudah Berkata 'Tidak...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Beberapa hari ini, media sosial masih cukup ramai membicarakan tentang sosok Adi Hidayat perihal pernyataannya yang mengatakan tidak adanya hadis sekali pun yang palsu yang menyebutkan sighat doa iftitah dengan diawali lafadz Inni (إِنِّيْ). Ia mengklaim, berdasarkan pengecekannya pada 1.235 kitab hadis, doa iftitah yang ada adalah langsung pada lafadz wajjahtu (وَجَّهْتُ), jadi bukan inni wajjahtu (إِنِّيْ وَجَّهْتُ). Adi Hidayat mengaku, memang ada yang menggunakan إِنِّيْ وَجَّهْتُ tapi, menurutnya itu diucapkan Nabi dalam proses penyembelihan hewan kurban, bukan doa iftitah ketika shalat.

Merespons ini, kemudian kyai-kyai NU, seperti KH. Marzuki Mustamar dan KH. Ma’ruf Khozin, memberikan sanggahan. Karena memang, riwayat doa iftitah yang diawali dengan lafadz Inni (إِنِّيْ), sebenarnya ada. Misalnya di dalam riwayat Imam At-Thabrani, Al-Baihaqi dan yang lainnya.

Namun, tulisan ini tidak akan membahas tentang hal tersebut. Cukuplah KH. Marzuki Mustamar dan KH. Ma’ruf Khozin yang memberikan tanggapan atas ‘kegegabahan” pernyataan Adi Hidayat. Karena selain beliau berdua sebagai tokoh utama NU, faktanya mereka memang merupakan ahli di bidang pemahaman hadis.

Saya sebagai santri biasa hanya ingin mengajak untuk merenungkan kandungan potongan Surat Yunus ayat 39 berikut:

بَلْ كَذَّبُوْا بِمَا لَمْ يُحِيْطُوْا بِعِلْمِهٖ وَلَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْوِيْلُه

Bahkan, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna dan belum datang kepada mereka penjelasannya. (QS. Yūnus [10]:39)

Oleh para ahli Ushul, ayat ini dijadikan sebagai dalil/kecaman bagi mereka yang mudah dan gemar mengatakan tidak adanya dalil tentang suatu perkara bukan karena memang dalilnya benar-benar tidak ada, tetapi lebih disebabkan pengetahuan yang belum komprehensif.

Sebelum lanjut, perlu saya sampaikan bahwa tulisan ini jangan dianggap sebagai manifestasi kebencian pada satu sosok. Niat saya dalam hal ini, anggaplah sebagai suatu koreksi sebagaimana dalam ilmu jarh wa al-ta’dil, walau ini sungguh berbeda.

Dengan bahasa vulgar, janganlah seorang penceramah, siapa pun itu mudah mengatakan dalam kajiannya bahwa suatu amaliah tidak ada dalilnya, tidak ada sumbernya. Kecuali jika memang ia sudah benar-benar mengetahui, bahwa memang tidak ada dalilnya. Bukan karena sebatas pengetahuannya yang masih belum mumpuni atau bahkan karena ketidaksukaan.

BACA JUGA  Saat Ramadhan, Ini Waktu Utama untuk Membaca Al-Qur'an

Ibnu Qudamah pernah berkata:

عدم العلم بالليل ليس بحجة. إنما الحجة العلم بعدم الدليل

Tidak adanya pengetahuan tentang adanya dalil tidak bisa dijadikan argumen. Akan tetapi argumentasi itu adalah tahu dengan yakin tentang tidak adanya dalil.

Seharusnya Adi Hidayat tidak dengan PD-nya mengatakan tidak ada lafadz iftitah yang menggunakan lafadz inni jika hanya berdasarkan beberapa hadits yang ia baca. Apalagi sampai dengan hiperbola, “Saya punya koleksi 1.235 kitab hadis. Saya cek satu persatu, jangankan yang shahih, yang palsu pun tidak ada”. Kenapa? Karena faktanya ada riwayat yang menggunakan lafadz Inni (إِنِّيْ), sebagaimana pernah dibedah oleh KH. Marzuki Mustamar dan diteruskan oleh KH. Ma’ruf Khozin.

Jika merujuk Surat Yunus ayat 39 di atas, orang dengan karakter seperti ini dikategorikan sebagai pembohong atau pendusta disebabkan pengetahuanya yang belum sempurna.

Ada kaidah Ushul sebagai berikut:

عدم العلم بالدليل ليس علماً بالعدم

Tidak adanya pengetahuan tentang dalil tidak berarti menjadi pengetahuan akan ketiadaannya.

Penjelasan dan pengembangan dari kaidah ini, jangan sampai karena masih belum menemukan dalil dijadikan untuk menegasikan keberadaan suatu dalil. Karena suatu dalil jika tidak ditemukan dengan satu metode, barangkali bisa ditelusuri dengan banyak metode lainnya.

Makanya, dalam hal tayammum misalnya, Madzhab Syafi’i menggunakan redaksi طلب الماء (mencari air) sebagai salah satu syarat dibolehkannya bertayammum. Harus mencari terlebih dahulu dengan naik-turun bukit, melihat dan menoleh ke empat arah mata angin. Semua itu dalam rangka memastikan bahwa memang tidak ada air. Karena jika hanya diam tidak mencari, itu tidak bisa dijadikan sebagai pengetahuan bahwa memang tidak ada air.

Kembali ke persoalan doa iftitah. Ada atau tidaknya riwayat yang menggunakan lafadz Inni (إِنِّيْ) dalam doa iftitah harus benar-benar dipastikan dulu sebelum dengan PD mengatakan tidak ada hadisnya. Begitulah seharusnya seorang penceramah. Jangan sampai pernyataannya menyesatkan dan menjadi fitnah di tengah ummat.

Faisol Abdurrahman, Ketua Rijalul Ansor Sungai Ambawang, Kubu Raya

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru