27.3 C
Jakarta

Sunnah Rasul dan Bendera Indonesia: Refleksi 17 Agustusan

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSunnah Rasul dan Bendera Indonesia: Refleksi 17 Agustusan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sunnah Rasul dan Bendera Indonesia: Refleksi 17 Agustusan

Oleh: Muhammad al-Fayyadl*

Sudah benar pilihan para pejuang bangsa generasi awal untuk memilih bendera Merah-Putih sebagai lambang kemerdekaan Indonesia.

Secara simbolis (dalam tafsiran semiotik yang arbitrer), Merah menandakan keberanian, kegigihan, semangat, Putih menandakan kesucian, keluhuran, ketulusan, pengabdian.

Bisa juga diartikan lain, diambil dari metafora tubuh. Merah itu darah, perjuangan, Putih itu tulang, keteguhan, kekuatan.

Tapi dipandang dari Sunnah Rasulullah (shallahu ‘alaihi wasallam, mari panjatkan shalawat untuk beliau tercinta), pesan simbolis dari warna-warna ini juga bisa diperoleh.

Rasulullah (shallahu ‘alaihi wasallam), Sang Nabi Pembebasan, Nabi kaum proletar, mengajarkan melalui sabda-sabda dan ketetapannya tentang “ilmu warna” ini. Beliau memiliki preferensi pribadi atas warna-warna tertentu. Kita sebagai umatnya tentu sangat layak mengikuti preferensi ini karena merupakan bagian dari sunnahnya.

Preferensi itu bisa dipilah kira-kira begini. Warna pertama yang paling beliau – shallahu ‘alaihi wasallam – sukai adalah Putih. Ini karena warna Putih adalah warna yang paling disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Imam al-Hafidz al-Maqarri dalam kitab “Fathul Muta’al” menulis:

احب الألوان الى الله البياض

(warna yang paling disukai oleh Allah adalah putih)

Apa yang disukai Allah tentu juga disukai Nabi-Nya. Nabi berpesan, dalam riwayat Ibn ‘Abbas:

البسوا من ثيابكم البياض فانها خير ثيابكم وكفنوا فيها موتاكم

(Pakailah baju putih sebagai pakaianmu karena pakaian putih itu sebaik-baiknya pakaianmu dan kafanilah orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan kain putih)

 

Pakaian putih ini dianjurkan bagi siapapun, terlepas dari jenis kelaminnya. Sekarang, kita mengerti kenapa Putih memiliki arti dalam corak bendera kita.

Warna kedua adalah Hijau. Nabi juga senang dengan warna ini; kedua terompahnya berwarna ini. Nabi pernah memakai dua lapis pakaian yang bergaris-garis hijau (“burdan khadliran”), dalam riwayat sahabat Abi Rumtsah. Warna hijau merupakan warna pengharapan, melambangkan kehidupan (daun-daun yang hijau), warna “ekologis” yang ramah lingkungan. Namun, kenapa Nabi tidak selalu memakai pakaian berwarna ini? Mungkin, wallahu a’lam, karena warna ini telah menjadi ciri khas seorang Nabi yang lain, yaitu Khidhir ‘alaihissalam. Nabi yang disebut dengan nama demikian, karena memiliki mukjizat setiap kali ada tanah yang diinjaknya, tanah itu seketika menjadi hijau (subur).

NU (Nahdlatul Ulama) dan Muhammadiyah yang warna benderanya bercorak hijau, mungkin punya maksud “ngalap berkah” kepada Nabi Khidhr. Hijau juga netral dipakai bagi semua jenis kelamin.

Warna ketiga adalah Hitam. Ummul Mu’minin A’isyah (r.a.) pernah menjahitkan pakaian berwarna hitam untuk Nabi, dan beliau memakainya. Sahabat Jabir bin Abdillah (r.a.) pernah melihat Nabi memakai serban berwarna hitam pada hari Pembebasan Makkah. Pakaian dengan warna ini baik digunakan oleh semua jenis kelamin, terlebih dianjurkan bagi kaum perempuan. Namun makruh memakainya untuk keperluan berkabung, agar sedikit membedai tradisi sejumlah umat Nasrani dalam berkabung.

Warna keempat adalah Merah. Warna ini tidak disukai Nabi untuk dikenakan oleh kaum laki-laki, namun boleh dikenakan oleh kaum perempuan. Sahabat Abdullah bin Umar (r.a.) suatu saat melihat seorang laki-laki berpakaian merah totok datang mengucapkan salam kepada Nabi, namun Nabi tidak membalas ucapan salam itu karena kekurangsenangan beliau dengan penampilan si laki-laki.

Oleh para ulama ditafsir, warna Merah makruh dipakai oleh laki-laki, namun boleh dipakai perempuan. Pemakaian warna merah oleh laki-laki, mungkin karena pada zaman Jahiliyah, melambangkan kebanggaan, arogansi, dan prestise. Selain itu, ini adalah pakaian raja-raja dan para tiran. Nabi membenci kebanggaan dengan pakaian, lebih-lebih arogansi. Ulama memberikan pengecualian, warna merah boleh dikenakan laki-laki asalkan dibordir atau dicampur dengan warna lain. Suatu saat sahabat Albara’ (r.a.) melihat Nabi memakai pakaian yang mengandung motif merah, konon motif pakaian ini berkembang di daerah Yaman. Namun Nabi tak pernah memakai pakaian yang seluruhnya merah, dan melarangnya dari para sahabat laki-lakinya.

BACA JUGA  Mengulik Model Lebaran Ketupat di Madura

Apa artinya ini bagi bendera kemerdekaan kita? Perpaduan Merah dan Putih sudah pas, karena Merah tidak sendirian di situ. Jika warna bendera Indonesia seluruhnya Putih, mungkin terkesan lembek; dalam perang, bendera putih berarti menyerah. Jika warna bendera Indonesia seluruhnya Merah, mungkin terkesan garang, tapi juga bisa menandakan bangsa ini arogan dan bisa tak kalah imperialisnya dengan China hari ini dengan kapitalisme mendunianya. Tapi bukankah warna Merah ini, sejak abad modern (minimal bisa ditelusuri sejak Komune Paris dan revolusi-revolusi abad ke-17), menjadi warna perjuangan kaum tertindas?

Jika mengingat bahwa abad modern merupakan penjungkirbalikan atas kesewenang-wenangan Dunia Lama, maka Merah-nya kaum revolusioner sebenarnya merupakan ekspresi sejati dari kaum “mustadl’afin” yang di zaman Nabi melambangkan diri dengan warna Putih, melawan Merah-nya kaum aristokrat-kafir Quraisy. Maka, Merah-nya kaum revolusioner, idealnya, memang tak pernah boleh menjadi perlambang untuk menindas atau menakuti-nakuti sesama rakyat. Singkatnya, secara substansi, Merah-nya kaum revolusioner sejalan dengan Putih-nya kaum “mustadl’afin” di masa Nabi.

Bendera Indonesia sudah tepat menangkap kombinasi ini. Merah diletakkan di atas, sebagai ujung tombak pergerakan. Agar ketika bergerak melawan sistem yang menindas (kolonialisme), gelorakan Merah. Tapi Merah harus didasarkan kepada warna dibawahnya, ibarat landasan sebuah bangunan. Putih. Merah harus berlandaskan Putih, artinya, ketulusan, kesungguhan, perdamaian. Artinya, kemerdekaan Indonesia adalah perjuangan (Merah) untuk perdamaian (Putih).

Andaikan mau ditambahkan satu warna lagi, pas ditambahkan lagi di bawah Putih warna Hijau. (Tapi ya nanti sama dengan bendera Italia.) Untuk saat ini, kombinasi antara Merah-Hijau-Putih sebenarnya pas untuk bangsa Indonesia. Hijau bisa memberi corak bagi politik kaum santri, yang sebagian masih kurang “sreg” dengan warna Merah. Lihat bendera merah saja (yang dulunya identik dengan bendera komunis), pikirannya sudah bermacam-macam. (Lha, apa tak sadar, itu salah satu warna benderamu juga.) Kesalahpahaman ini harus diluruskan.

Tapi jangan coba-coba tambahkan warna hitam, atau menghitamkan bendera Indonesia. Kalau tak mau Indonesia mirip ISIS.

Warna-warna ini adalah soal pilihan. Dan pejuang bangsa generasi awal sudah memilih warnanya, atas pertimbangan yang tentu tak sekadar mencomot warna biru dari bendera Belanda dulu.

Warna-warna ini juga politis. Jokowi dan para pejabatnya kerap memakai warna putih, tapi dalam praktiknya, kebijakan-kebijakannya bukan melahirkan perdamaian, malah konflik, kekerasan, dan bahkan kebrutalan (Papua hari ini). Lebih baik para pejabat itu meneladani Sunan Kalijogo, yang dari saking tawadlu’-nya kepada para gurunya, sunan-sunan yang lain, enggan memakai baju putih dan lebih senang memakai baju hitam. Mungkin untuk melambangkan kekotoran diri, masih berlumurnya diri dengan dosa-dosa. Itu akan lebih jujur, tak menipu atau membohongi diri.

Selamat Memerah-Putih-kan Indonesia kembali.

*Penulis adalah aktivis dan pekerja sosial

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru