27.8 C
Jakarta

Sunat Perempuan: Antara Tradisi Keagamaan dan Bahaya bagi Kesehatan

Artikel Trending

KhazanahTelaahSunat Perempuan: Antara Tradisi Keagamaan dan Bahaya bagi Kesehatan
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com “Anaknya tidak mau disunat, Cong?” tanya ibu kepada suami setelah acara tasyakuran 40 hari dan akikah anak perempuan kami. Pertanyaan yang sama sebenarnya pernah ditanyakan seminggu setelah kelahiran anak kami. Namun, sejak awal ketika mengetahui anak saya adalah perempuan, saya tegas mengatakan bahwa anak perempuan kami tidak perlu disunat.

Ibu dan bapak adalah sosok yang mempersoalkan keputusan tidak biasa itu. Sebab selain praktik sunat perempuan (Pemotongan dan Pelukaan Genitalia Perempuan/P2GP) menjadi tradisi keagamaan yang sampai hari ini masih dilestarikan, tokoh agama seperti kiai di kampung, turut melanggengkan praktik sunat perempuan, yang sudah jelas dilarang oleh pemerintah karena alasan kesehatan.

Perlu diketahui pula bahwa, di kampung saya, praktik sunat perempuan sudah tidak tersedia di bidan atau puskesmas. Namun, masyarakat sekitar melakukan praktik sunat perempuan kepada dukun/tukang pijat yang biasa menangani perempuan hamil. Artinya, sekalipun tenaga kesehatan tidak memberikan layanan tentang sunat perempuan, praktik tersebut masih langgeng dikarenakan ada tukang pijat hamil/dukun yang bersedia untuk melakukan sunat perempuan. Saya meyakini juga bahwa di daerah-daerah lain, praktik serupa masih terus dilakukan.

Argumen tersebut berdasarkan data UNICEF bahwa, 200 juta anak perempuan di 30 negara melakukan praktik P2GP. Indonesia masuk dalam 3 besar sebagai negara yang mempraktikannya. Secara internasional, praktik ini dinyatakan sebagai pelanggaran HAM atas kesehatan dan integritas perempuan karena berdampak negatif.

Di Indonesia, larangan sunat perempuan sudah tercantum dalam Pasal 102 huruf a PP Nomor 28 Tahun 2024. Larangan ini dilakukan dengan alasan untuk menjaga kesehatan reproduksi anak-anak dan mendukung ketahanan sistem reproduksi mereka. Dalam praktiknya, sunat perempuan dilakukan dengan cara memotong jaringan atau bagian organ vagina.

Hal tersebut dapat menimbulkan infeksi, kerusakan organ reproduksi dan permasalahan kesehatan jangka panjang bagi anak perempuan, bahkan kematian karena pendarahan. Tidak hanya di Indonesia, beberapa negara lain seperti Afrika, New Zealand, Prancis, Mesir, dan Australia.

Sunat Perempuan: Tradisi Keagamaan

Praktik sunat perempuan, tidak lepas dari kepercayaan atau tradisi agama yang sudah lama diyakini oleh masyarakat. Temuan Komnas Perempuan menunjukkan bahwa 92% alasan keputusan orang tua untuk melakukan sunat perempuan adalah pemahaman agama bahwa sunat perempuan adalah perintah agama. Pemahaman tersebut berbanding terbalik dengan hasil Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang mengeluarkan fatwa bahwa P2GP tanpa alasan medis adalah haram.

BACA JUGA  Gen Z, Kegalauan dan Potensi Sasaran Radikalisme

Tujuan lain sunat perempuan dilakukan adalah agar perempuan memiliki kontrol apabila melakukan hubungan seksual. Artinya, terdapat tujuan untuk mengontrol hasrat perempuan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perempuan.

Berdasarkan beberapa pendapat ulama, terdapat perbedaan pendapat terkait hukum sunat perempuan. Perselisihan ini setidaknya bisa dipahami dengan beberapa jenis, di antaranya: pertama, hukum sunat perempuan adalah wajib dikeluarkan oleh al-Syafi’i, Ahmad ibn Hambal dalam salah satu riwayat Yahya ibn Sa’id dari Syiah.

Tidak hanya itu, al-Nawawi dalam al-Majmu’ menjelaskan pernyataan hukum wajib ini adalah pendapat mayoritas ulama salaf (yaitu golongan sahabat dan tabiin) seperti pula yang diceritakan al-Khutabi.

Kedua, sunat perempuan adalah sunah. Pendapat ini dikeluarkan oleh Abu Hanifah, Malik dalam riwayat yang paling masyhur, dan salah satu riwayat dari Ahmad, dan pendapat al-Murtada dari mazhab Syiah. Ketiga, sunat adalah makrumah (kehormatan). Pendapat ini dikeluarkan oleh Ibn Qudamah, seorang ulama madzhab Hanbali dan riwayat lain dari Abu Hanifah dan Malik.

Berdasarkan beberapa perbedaan tersebut, setidaknya kita memahami bahwa, secara pondasi dalil, tidak ada dalil yang kuat untuk mewajibkan sunat perempuan. Artinya, tidak ada dalil Al-Qur’an yang spesifik mewajibkan sunat perempuan. Untuk itu, praktik ini harus dilihat dan diukur dengan bobot kemaslahatan yang ditimbulkan. Jika melihat dampak yang ditimbulkan dalam praktik tersebut, pengakuan dalam hukum Islam mengharuskan untuk dilakukannya pencegahan.

Pilihan untuk tidak melakukan sunat perempuan, merupakan sebuah pilihan yang tepat bagi orang tua baru yang sudah belajar banyak tentang bahaya sunat perempuan. Meski begitu, tidak semua masyarakat memiliki akses pengetahuan yang sama terkait bahaya sunat perempuan.

Karena itu, penting untuk terus memberikan informasi kepada masyarakat secara luas terkait bahaya sunat perempuan secara medis, khususnya masyarakat pedesaan yang masih melekat sekali oleh tradisi, mitos, hingga budaya patriarki yang masih mengakar.

Penting juga bagi pemerintah, jaringan ulama, kiai, akademisi untuk menggandeng tokoh agama di akar rumput untuk memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak melakukan sunat perempuan dengan alasan medis. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru