Harakatuna.com – Pada 2022 ini, Sumpah Pemuda menginjak 94 tahun. Angka yang masih terbilang belia jika dibandingkan dengan sejarah-sejarah dunia lainnya. Namun, angka 94 bukanlah sebatas angka. Ia adalah rentetan sejarah bangsa yang jika tidak dirawat dengan benar, akan melibas masa depannya.
Angka 94 tahun, artinya menuju satu abad perjalanan sebagai sebuah bangsa Indonesia. Dan perputaran satu abad ini, bagi sebagian orang adalah siklus perubahan: berubah menjadi bangsa yang beradab, atau berubah menjadi bangsa yang bangsat.
Pemuda Pejuang
Di tangan pemuda, sejarah bangsa menemui revolusinya. Pada masa lalu, pemuda menjadi inisiator bagaimana bangsa dan negara diperjuangkan-dirancang. Pemuda waktu itu menjadi eksekutor bagaimana negara-bangsa didirikan. Oleh sebab itu, kata Ben Anderson, tak akan ada revolusi kemerdekaan Indonesia, jika tidak ada revolusi yang dilakukan oleh para pemuda Indonesia.
Di penjuru Indonesia, gerakan pemuda berkobar. Di penjuru Indonesia, pemuda-pemuda bersepakat untuk mencetuskan sejarah bangsa yang berkibar. Maka lahirlah apa yang disebut sebagai Kongres Pemuda. Dan dari kongres-kongres pemuda ini, lahirlah Sumpah Pemuda.
Sumpah pemuda berdampak pada penyatuan bangsa. Sumpah pemuda memberikan efek besar pada lanskap pembangunan Indonesia. Di mata pemuda itu, Indonesia adalah negara yang terang. Di tangan pemuda itu, Indonesia adalah negara yang maju dan berkemajuan. Tapi itu dulu.
Pemuda Radikal
Kini, kita melihat senjakala pemuda. Kepemudaan yang tercermin pada mental bajanya persatuannya, beralih pada mental pragmatisme dan fanatisme. Di sekujur tubuh pemuda, kita hanya melihat dua watak: mentalitas yang ambruk, atau fanatisme buta yang terlunta-lunta.
Sayangnya, fanatisme ini berlaku hanya untuk politik keagamaan. Mereka sangat yakin dan fanatik dengan apa yang dibentuk oleh emosional otak kirinya. Mereka fanatik dengan asupan ilmu yang dibreef oleh ustaz sesaatnya. Makanya, kita banyak melihat, banyak anak-anak muda yang berangkat ke Afghanistan dan Syiria. Di sana, mereka menjadi pejuang keagamaan yang tersesat dan mematikan.
Di sana pemuda fanatik ini berjuang bukan melawan penjajah. Melainkan ia berjuang melawan bianglala kebodohannya. Di sana mereka mengangkat senjata bukan untuk berjuang demi bangsanya. Melainkan sekadar berjihad oleh hasil tafsir-tafsir sesat agamanya. Pemuda ini bukan jadi pemuda pejuang kemerdekaan yang tujuannya memerdekakan dan persatuan. Tapi menjadi pemuda yang radikal yang membunuh dan menghancurkan.
Intergritas pemuda Indonesia hancur! Inilah yang harus kita terima dari wajah pemuda Indonesia sekarang. Mereka merangkai permusuhan, kebencian, dan perpecahan. Dengan alasan-alasan irasional, yang jika ditimbang, timbangannya lebih enteng dari jamu saset di pasaran.
Memupuk Rasa Kasih Sayang
Fanatisme pada agama sering kali bukan membuat ia lebih saleh dan tentram. Fanatisme agama sering kali malah membuat mereka berbisa dan leluasa untuk menzalimi yang lian. Ini terjadi karena mereka menganggap dirinya paling benar, sementara yang lain salah total.
Dari sini kekerasan yang dilahirkan dari tafsir agama mengental. Berbuah pada kekeresan pribadi, berlanjut pada kekerasan sosial, dan menjadi kekerasan rasial. Dengan belajar agama fanatik dan timpang, mereka lebih bahaya daripada bom atom yang memporak-porandakan bangsa Jepang.
Di momen sumpah pemuda ini, kita harus saling bahu-membahu untuk mengikis fanatisme buta pemuda. Kita harus berkehendak untuk sama-sama saling menjaga kesatuan dan persatuan. Pemuda boleh berhashat setinggi mungkin dalam keliaran berpikirnya. Tapi keliaran itu tidak boleh mengorbankan keindonesiaan dan kedamaian Indonesia. Di momen sumpah pemuda ini, mari saling memupuk rasa kasih sayang.