30.1 C
Jakarta

Sumpah Pemuda, Radikalisme Milenial, dan Tantangan Indonesia Emas 2045

Artikel Trending

KhazanahOpiniSumpah Pemuda, Radikalisme Milenial, dan Tantangan Indonesia Emas 2045
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Hari Sumpah Pemuda sudah kita lewati. Momentum yang kita peringati saban tanggal 28 Oktober merupakan tonggak penting berdirinya Republik Indonesia. Tanpa Sumpah Pemuda, Republik Indonesia barangkali tidak akan pernah lahir. Kini, usia Republik Indonesia sudah lebih dari tujuh dekade. Berbagai capaian telah kita raih.

Namun, di saat yang sama kita juga dibelit berbagai problem kebangsaan. Salah satunya ialah masih maraknya penyebaran paham dan gerakan radikalisme berbaju agama. Ironisnya, radikalisme justru banyak menyebar di kalangan kaum muda atau disebut pula kalangan milenial.

Fenomena milenial terpapar ideologi radikal bahkan terlibat jaringan terorisme ialah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Banyak survei telah mengungkapkan bahwa radikalisme berkembang pesat di kalangan anak muda berusia 18 sampai 40 tahun. Sejumlah peristiwa teror di Tanah Air dimana pelakunya merupakan anak muda juga menjadi bukti bagaimana rekrutmen kelompok teroris di kalangan anak muda begitu efektif.

Ironis memang. Apalagi kondisi ini terjadi ketika bangsa Indonesia tengah bersiap menyongsong bonus demografi yang puncaknya terjadi pada tahun 2030-2035. Yakni satu kondisi ketika jumlah penduduk usia produktif (20-50 tahun) lebih banyak dari penduduk usia anak dan lansia. Bonus demografi akan memberikan keuntungan bagi Indonesia jika kuantitas penduduk usia produktif itu berbanding lurus dengan kualitas sumber daya manusianya.

Namun, bonus demografi itu akan menjadi bencana manakala kuantitas penduduk produktif berbanding terbalik dengan kualitas SDM-nya. Kualitas SDM tentu tidak melulu berkutat soal tingkat pendidikan, keterampilan dan pengalaman, namun juga soal cara pandang dan praktik keberagamaan dan kenegaraan. Sayangnya, pada dua poin tersebut, kita masih sangat lemah.

Banyaknya milenial yang berpandangan radikal bahkan terlibat jaringan teroris adalah tantangan berat mewujudkan Indonesia Emas 2045. Bagaimana mau membangun ekonomi dan peradaban bangsa jika anak muda yang diharapkan jadi tulang punggung negara justru benci dengan negaranya sendiri, tega berbuat kerusakan dan bersikap intoleran? Jika kita melihat perkembangan global saat ini, negara-negara yang berhasil membangun peradaban dan ekonominya umumnya merupakan negara yang penduduknya moderat, toleran dan nasionalis.

Maka dari itu, tantangan mewujudkan Indonesia Emas 2045 tidak hanya tentang membangun sistem pendidikan dan kesehatan yang mapan. Namun, juga membangun generasi bangsa yang anti-radikalisme-terorisme. Agenda membangun kualitas generasi penerus tidak hanya berkutat seputar kesehatan fisik, kecakapan teknologi, literasi sains dan sejenisnya. Lebih dari itu, kita harus berupaya serius menyelamatkan generasi penerus dari paham radikal-terorisme yang menjadi musuh negara, agama sekaligus kemanusiaan.

Disinilah pentingnya menanamkan moderasi beragama sejak dini, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Ilmu kedokteran dan psikologi sudah sejak jauh hari meyakini bahwa kualitas manusia bisa dibentuk sejak dalam kandungan ibu. Kualitas kesehatan dan kecerdasan bisa dibentuk melalui asupan makanan yang bergizi dan berbagai jenis aktivitas yang bisa menstimulasi janin agar berkembang optimal.

Membacakan cerita untuk janin, memperdengarkan musik klasik, sampai mendaraskan kitab suci diyakini bisa menstimulasi janin agar kelak lahir lebih cerdas dan berakhlak mulia. Masa kehamilan ialah fondasi awal pembentukan karakter penerus bangsa. Selanjutnya, masa anak usia dini juga menjadi masa menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya.

Di titik ini, pandangan moderasi beragama kiranya harus sudah ditanamkan oleh orang tua sekaligus lingkungan. Maka, cukup disayangkan ketika di masa-masa usia dini, banyak orang tua atau lembaga pendidikan yang justru mengajarkan cara pandang keagamaan yang sempit dan intoleran.

BACA JUGA  Urgensi Pendidikan Karakter sebagai Tameng Kontra-Radikalisme Daring

Pengalaman saya sebagai seorang ayah pernah “salah” memasukkan anak ke lembaga pendididikan anak usia dini berbasis agama yang guru-gurunya berpandangan sempit dan kaku. Akibatnya fatal, anak saya bukannya belajar menghargai perbedaan (agama, suku dan ras) namun justru mengangungkan identitas individu.

Sebelum terlambat dan bertambah parah, saya pun memindahkan anak ke sekolah yang lebih inklusif. Di titik ini kita tentu tidak bisa menutup mata bahwa paham radikal bahkan sudah menyebar hingga ke level pendidikan anak usia dini di banyak sekolah atau penitipan anak.

Jika usia dini merupakan fondasi pembentukan karakter dan cara pandang keagamaan, maka usia remaja menjadi fase paling kritis bagi perkembangan manusia, termasuk dalam hal agama. Maka, penting bagi para orang tua dan masyarakat pada umumnya untuk mengarahkan remaja ke kelompok-kelompok keagamaan yang jelas-jelas berpandangan moderat dan berkomitmen penuh pada nasionalisme.

Banyak riset menunjukkan bahwa kelompok radikal-terorisme membidik remaja dan anak muda yang memiliki ghirah keagamaan tinggi namun tidak berafilisasi dengan ormas-ormas Islam berhaluan moderat seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Memutus Siklus Radikalisme-Terorisme

Mendorong remaja dan anak muda untuk bergabung dengan ormas-ormas Islam seperti NU atau Muhammadiyah tentu tidak dimaksudkan untuk membangun fanatisme keormasan. Apalagi mengajari anak tentang perbedaan-perbedaan kecil dalam peribadatan atau fiqih (furuiyyah).

Melampaui isu tersebut, mendorong remaja dan kaum muda berafiliasi dengan NU atau Muhammadiyah ialah upaya untuk membentengi diri dari infiltrasi paham radikal-terorisme. Fakta membuktikan bahwa selama ini banyak pelaku dan jaringan teror berafiliasi dengan ormas-ormas keagamaan yang berseberangan paham dengan NU dan Muhammadiyah.

Agenda mewujudkan Indonesia Emas 2045 dan melahirkan generasi milenial yang anti-radikalisme ialah satu paket yang tidak bisa dipisahkan. Jika tidak diselesaikan sejak sekarang, keterlibatan milenial dalam gerakan radikal akan menjadi batu sandungan bagi upaya mewujudkan Indonesia emas. Jika banyak milenial terpapar ideologi radikal bahkan masuk dalam labirin jejaring terorisme, bonus demografi tidak akan menadi peluang alih-alih ancaman.

Kita tentu mendorong dan mengapresiasi kerja pemerintah dalam melakukan penindakan hukum terhadap kelompok radikal dan jaringan teroris. Namun, patut diingat bahwa penegakan hukum ialah solusi jangka pendek. Hari ini puluhan teroris dibekuk, ormas radikal dibubarkan dan dilarang, namun beberapa saat kemudian jaringan teroris baru bermunculan, ormas-ormas radikal berganti baju dan nama. Radikalisme dan terorisme lebih menyerupai siklus hidup nyamuk. Satu nyamuk ditepuk, esok sepuluh nyamuk datang lagi.

Siklus itu hanya bisa diputus ketika kita membenahi akar persoalan di balik radikalisme dan terorisme. Ibarat nyamuk, kaum radikal-teroris juga bertransformasi, dari telur, jentik, bayi nyamuk, hingga nyamuk dewasa yang siap menggigit, mengganggu tidur kita, bahkan menyebabkan manusia demam tinggi dan tak tertolong. Bibit radikal-teroris inilah yang harus kita berantas sejak dini.

Caranya, ialah dengan tidak memberikan ruang bagi ideologi radikal-terorisme berkembang di masyarakat. Layaknya kita tidak memberikan ruang bagi nyamuk untuk bertelur, dan berkembang biak.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru