29 C
Jakarta

Sumpah Pemuda dan Tantangan Kekinian

Artikel Trending

KhazanahPerspektifSumpah Pemuda dan Tantangan Kekinian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sumpah pemuda merupakan salah satu aset berharga bangsa Indonesia. Sumpah pemuda melahirkan semangat nasionalisme untuk memerdekakan Hindia-Belanda dari tangan kolonial. Dari sini pula sekat-sekat antar suku, etnis, dan agama dileburkan menjadi semangat persatuan dan kesatuan tanah air Indonesia.

Mereka yang dulu turut serta dalam pengambilan sumpah ini masih konsisten dengan arah perjuangannya yaitu untuk memerdekakan Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Muh. Yamin, Soegondo Djojopoespito, J. Leimena, Soenario, Djoko Marsaid, Amir Syarifuddin Harahap, W.R. Supratman, S. Mangoensarkoro, Kartosoewirjo, Kasman Singodimedjo, M. Roem, A.K. Gani, dan Sie Kong Liong.

Dari nama-nama di atas nama Soekarno dan Hatta tidak tercantum. Pasalnya pada saat itu Soekarno baru membentuk PNI, oleh karenanya beliau disibukkan dengan kegiatan kampanye. Selain itu juga umur Soekarno sudah menginjak 27-28 tahun sehingga bisa dibilang tidak muda lagi. Sementara Hatta masih berada di Belanda untuk menuntut ilmu. Namun kedua tokoh ini bukan berarti tidak memperhatikan gerakan kalangan muda. Kedua tokoh ini turut memperhatikan dengan cara melebarkan sayap konsolidasi sehingga nantinya akan terbentuk kekuatan yang besar jika waktunya telah tiba. Praksis sekitar 17 tahun setelah Sumpah Pemuda itu diambil kemerdekaan dapat diraih.

Usaha dan perjuangan mereka tidak sia-sia dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Apa yang dicita-citakan memang terbukti kebenarannya. Indonesia merdeka dari tangan penjajah; persatuan tanah air dari Sabang sampai Merauke; bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. ini semua adalah cita-cita yang didapat berkat usaha dan kerja keras para pemuda.

Apakah saat ini masih ada pemuda yang memegang prinsip dan nilai dari Sumpah Pemuda?. Jawaban singkatnya ‘Iya’ dan ‘Tidak’. Memang masih ada pemuda yang memang prinsip kesatuan dan persatuan Indonesia. Namun juga tidak semua demikian. Ada dua persoalan yang menyebabkan pemuda tidak lagi melihat pentingnya nilai tersebut. Pertama yaitu pemuda yang terpapar paham intoleran, radikalis, maupun teroris; Kedua, pemuda terjebak dalam budaya konsumerisme.

Nilai persatuan dan persaudaraan terasa absen apabila melihat banyak kaum muda yang bersikap intoleran atas perbedaan pandangan keagamaan. Mereka lupa bahwa selama ini negara yang mereka tinggali berkat jerih payah pemuda waktu itu dengan meleburkan unsur SARA. Apa yang mereka lakukan sama sekali tidak mencerminkan rasa persatuan dari keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia.

BACA JUGA  Menyikapi Radikalisme dan Narasi Keislaman yang Dipolitisasi

Persoalan kedua yaitu budaya konsumerisme. Budaya konseumerisme diproduksi oleh dan melalui sistem kapitalisme. Ini merupakan konsekuensi dari dunia modern dan globalisasi. Saat ini anak-anak muda banyak yang terpengaruh oleh sistem tanda yang diproduksi dari sistem kapitalisme. Di kafe atau warung kopi berjejer-jejer anak muda yang main game, scrolling sosmed, dan buka marketplace. Memang tidak semua pemuda demikian, akan tetapi apabila hal ini terjadi berlarut-larut maka mereka yang dulu pernah mengetahui tentang sumpah pemuda akan lupa sama sekali.

Rekonstruksi Pengajaran Sumpah Pemuda

Maka dari itu langkah yang tepat untuk mendidik kalangan muda agar tidak terjebak pada dua persoalan di atas adalah pertama-tama dengan merekonstruksi pengajaran tentang sumpah pemuda. Guru-guru PPKN dan semacamnya seharusnya mengetahui tantangan yang dihadapi oleh pemuda saat ini. Pembacaan atas realitas itu diperlukan agar materi yang disampaikan tidak melulu soal hafalan.

Harus diakui bahwa sistem pengajaran Indonesia mengenai sejarah masih didominasi oleh hafalan. Misalnya Indonesia merdeka tahun berapa; apa saja kelima sila dalam Pancasila; perjanjian-perjanjian; tahun berapakah sumpah pemuda; apa saja isinya. Apabila hanya demikian yang diajarkan maka jangan diharapkan mereka mampu untuk menginternalisasikan nilai yang terkandung dalam sumpah pemuda.

Oleh karena itu, guru maupun pengajar lainnya seharusnya mampu mengajak untuk berpikir kritis atas realitas saat ini. Materi yang diajarkan tidak lagi menghafal melainkan mengajak mereka berfikir tentang pentingnya jiwa nasionalisme dan semangat persatuan dalam sumpah Pemuda di tengah himpitan gerakan radikalisme, intoleransi, dan terorisme maupun sistem kapitalisme global. Sebagai bahan pengajaran penting untuk meletakkan musuh untuk memudahkan kita, kalangan muda memahami pentingnya semangat persatuan yang harus dimiliki oleh pemuda.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru