30.1 C
Jakarta

Strategi Resolusi Konflik untuk Menangkal Manuver Kaum Radikal-Teroris

Artikel Trending

KhazanahOpiniStrategi Resolusi Konflik untuk Menangkal Manuver Kaum Radikal-Teroris
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comKaum radikal-teroris ialah kelompok yang haus kekuasaan. Mereka rela melakukan apa saja untuk merebut kekuasaan dari pemerintah yang sah. Jika dilihat sepakterjang dan manuvernya selama ini, ada setidaknya tiga langkah dalam skenario pengambil-alihan kekuasaan oleh kelompok radikal-teror.

Pertama, mengadu-domba dan memprovokasi publik dengan narasi-narasi yang menjurus kebencian, permusuhan dan perpecahan. Kedua, mengobarkan api konflik horisontal (antar-masyarakat) dan vertikal (rakyat dan pemerintah). Ketiga, setelah konflik dan kekacauan tercipta mereka akan mengambil alih situasi dengan tampil bak pahlawan dengan merebut kekuasaan. Strategi itu efektif diterapkan di sejumlah negara muslim di Timur Tengah.

Hal yang sama tampaknya akan diterapkan di Indonesia. Skenario pertama yakni menebar narasi kebencian, permusuhan, dan perpecahan sudah kerap dilancarkan kaum radikal. Dalam beberapa tahun terakhir, kaum radikal membanjiri ruang publik kita dengan hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian dengan tujuan memecah belah dan mengadu-domba umat. Provokasi kebencian dan permusuhan tidak hanya didesain untuk mengadu-domba sesama masyarakat, namun juga menggerus kepercayaan masyarakat pada pemerintah atau negara.

Alhasil, kita melihat sendiri bagaimana relasi horisontal (antar-masyarakat) dan vertikal (antara rakyat dan pemerintah) belakangan ini mengalami semacam instabilitas. Masyarakat mudah sekali terprovokasi oleh isu-isu sumir yang belum jelas kebenarannya. Di saat yang sama, kepercayaan publik terhadap pemerintah juga tergerus akibat propaganda kaum radikal. Pendek kata, skenario awal kaum radikal untuk menciptakan konflik harus diakui cukup efektif.

Terorisme Ciptakan Kekacauan

Jika diamati, tujuan kelompok teroris melancarkan aksi kekerasannya bukanlah semata ingin melukai atau membunuh individu atau kelompok yang dipersepsikan sebagai musuh. Lebih dari itu, tujuan kelompok teroris menebar kekerasan ialah untuk menciptakan situasi kecemasan, ketakutan, dan kekacauan yang pada akhirnya akan memuncak pada pecahnya konflik horisontal dan vertikal. Disinilah pentingnya strategi resolusi konflik untuk menutup ruang gerak atau manuver kaum radikal-teroris.

Strategi resolusi konflik melibatkan empat pendekatan. Pertama, akomodasi yaitu mencegah munculnya jonflik dengan jalan mengakomodasi kepentingan semua pihak secara adil dan transparan. Akar konflik salah satunya ialah adanya kecemburuan sosial akibat dari kesenjangan yang ada di masyarakat. Disinilah pentingnya mengakomdasi kepentingan semua kelompok masyarakat agar tidak ada satu golongan yang merasa dianaktirikan sementara golongan lain dianakemaskan.

Kedua, membangun jejaring koeksistensi alias kerjasama antar-kelompok yang berbeda di masyarakat untuk memecahkan persoalan-persoalan krusial dan subtansial. Konflik dan perpecahan bisa juga dilatari oleh kondisi dimana setiap kelompok masyarakat hidup dalam cangkangnya masing-masing dan tidak saling menjalin kerjasama.

BACA JUGA  Bahaya Brainwashing Radikalisme di Dunia Maya dan Strategi Penanganannya

Akhirnya, terjadi semacam kompetisi tidak sehat yang kerap berujung pada konflik horisontal. Koeksistensi damai dibutuhkan agar masyarakat mampu mewujudkan tujuan dan cita-citanya masing-masing tanpa timbul gesekan apalagi konflik.

Ketiga, mewujudkan asimilasi yakni adanya pembauran antar-kelompok masyarakat yang berbeda. Ide tentang asimilasi mewujud pada terbentuknya tatanan masyarakat plural yang terbuka, mau hidup bersama, berdampingan dalam bingkai perdamaian dan kesetaraan. Artinya, masyarakat idealnya tidak hidup dalam satu kelompok atawa komunitas yang seragam identitasnya, melainkan membaur dalam keragaman. Dengan begitu, masyarakat akan terbiasa dengan kehidupan sosial yang pluralistik.

Kelima, mewujudkan ide peace-builiding yakni binadamai. Secara sederhana, binadamai ditafsirkan sebagai sebuah upaya mentransformasikan masyarakat dari kecenderungan berkonflik menuju masyarakat yang berkomitmen pada terwujudnya perdamaian. Binadamai dibutuhkan agar masyarakat bisa beranjak dari paradigma konfliktual yang mempersepsikan kelompok lain sebagai entitas asing yang layak dimusuhi.

Mengejawantahkan Strategi Resolusi Konflik

Melalui strategi resolusi konflik kita berharap masyarakat memiliki semacam mekanisme deteksi dini dini sekaligus benteng dalam mencegah terjadinya benturan sosial. Tugas berat ke depan ialah bagaimana strategi resolusi konflik ini tidak sekadar menjadi wacana yang diperdebatkan di ranah-ranah akademik, namun diejawantahkan dalam kehidupan nyata. Di titik ini, diperlukan sinergi semua pihak, mulai dari pemerintah, organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, tokoh agama, media massa, dan masyarakat sipil pada umumnya.

Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyusun kebijakan yang steril dari unsur ketimpangan dan ketidakadilan. Ormas keagamaan dan kemasyarakatan sebagai institusi sosial terpenting dalam kultur keindonesiaan harus mampu menjadi simpul yang mengikat keberagamaan dalam bingkai persatuan. Demikian pula para tokoh agama dan media massa hendaknya menjadi agen-agen penebar perdamaian, bukan justru menjadi pengujar narasi perpecahan dan permusuhan.

Demikian pula, masyarakat sipil diharapkan meningkatkan koordinasi dan konsolidasi sosial dalam membendung narasi provokatif yang menjurus pada munculnya konflik. Konflik ialah hambatan besar sebuah negara meraih kemajuan. Sekaya apa pun sumber daya alam sebuah negara, tidak akan berarti apa-apa jika masyarakatnya dilanda konflik berkepanjangan. Disinlah strategi resolusi konflik mutlak diterapkan.

Nurrochman
Nurrochman
Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru