26.1 C
Jakarta

Strategi Kontra-Radikalisasi di Kalangan Aparatur Negara

Artikel Trending

KhazanahPerspektifStrategi Kontra-Radikalisasi di Kalangan Aparatur Negara
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comPaham radikal dan intoleran itu ibarat kanker yang menggerogoti tubuh bangsa dari dalam. Dan ketika penyebarannya sudah menjalar hingga ke aparatur pemerintah, maka kondisinya tentu sudah sedemikian parahnya. Aparatur Sipil Negara (ASN) yang idealnya menjadi representasi negara dan menjadi contoh publik dalam hal nasionalisme dan patriotisme nyatanya juga tidak kebal dari paparan virus radikal dan intoleran. Maka, pentingkah kontra-radikalisasi?

Paham radikal dan intoleran seperti kita tahu merupakan akar dari ekstremisme dan terorisme yang merupakan momok bagi kemanusiaan. Merujuk definisi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), radikalisme dapat diklasifikasikan dari setidaknya empat ciri. Pertama, sikap intoleran dalam artian tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain. Kedua, fanatik yakni selalu menganggap diri sendiri benar dan menganggap orang lain salah. Ketiga, tertutup alias eksklusif yakni mengambil jarak dengan orang atau kelompok yang berbeda. Keempat, revolusioner yakni menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 kriteria radikal ada tiga, yakni anti-Pancasila, anti-kebhinekaan, anti NKRI, dan anti-UUD 1945.

Problem radikalisme di kalangan ASN merupakan persoalan kebangsaan serius yang merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya pemerintah saja. Masyarakat sipil pun memiliki tanggung jawab moral untuk ikut andil mengatasi persoalan tersebut. Dari sisi pemerintah, penting kiranya untuk mengaplikasikan strategi kontra-radikalisasi dalam manajemen birokrasi aparatur negara. Secara umum, strategi kontra-radikalisasi dapat dipahami sebagai upaya menanamkan kecintaan terhadap tahan air (nasionalisme) dan spirit rela berkorban demi bangsa dan negara (patriotisme) serta menanamkan pentingnya hidup dalam perdamaian.

Tujuan strategi kontra-radikalisasi ialah mencegah terjangkitnya masyarakat oleh paham atau ideologi yang mengajarkan kebencian dan kekerasan terhadap kelompok lain. Sasaran strategi kontra-radikalisasi ini mencakup seluruh masyarakat umum, hingga kalangan aparatur pemerintah. Lebih spesifik dalam konteks aparatur pemerintah, strategi kontra-radikalisasi ini bisa dilaksanakan ke dalam setidaknya tiga tahapan.

Pertama melakukan screening awal untuk mengidentifikasi aparatur pemerintah yang terindikasi atau memiliki gejala terpapar paham radikal-intoleran. Identifikasi awal ini penting untuk memetakan sejauh mana paham radikal dan intoleran menyusup ke kalangan lembaga pemerintah. Proses screening awal untuk mengidentifikasi seseorang terpapar radikalisme atau tidak ini dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Mulai dari tes tertulis hingga wawancara yang intinya menguji komitmen aparatur pemerintah terhadap keindonesiaan dan kebangsaan.

BACA JUGA  Melawan Politik Jalan Memutar dan Kampanye Ideologis Pengusung Khilafah

Selain itu, screening awal itu juga bisa dilakukan dengan melakukan pengamatan secara empiris, yakni melalui observasi perilaku, cara pandang, cara bergaul, bahkan cara berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang yang terpapar paham intoleran dan radikal sudah barang tentu memiliki cara pandang keagamaan, cara berinteraksi dan cara berpakaian yang berbeda dengan yang lain. Proses screening awal ini idealnya dilakukan sejak proses seleksi calon ASN.

Kedua, menerapkan manajemen pengawasan internal di masing-masing institusi pemerintah untuk mencegah para pegawainya terpapar atau menyebarkan radikalisme di lingkungan kerjanya. Mekanisme pengawasan internal ini sangat penting lantaran salah satu faktor penyebaran radikalisme di institusi pemerintah ialah karena lemahnya pengawasan. Misalnya saja masih banyak lembaga pemerintah yang mengundang penceramah agama yang berpandangan radikal sebagai khatib shalat Jumat atau pengajian.

Hasil penelitian LPPM UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2015 mendapati fakta bahwa masih banyak kantor pemerintah yang mengundang ustad atau penceramah agama berpandangan konservatif-radikal. Menurut penelitian yang sama, kondisi lebih parah terjadi di sejumlah instansi BUMN. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan.

Ketiga, melibatkan masyarakat dalam mengawasi perilaku para aparatur negara ketika hidup dalam masyarakat. Ketika ada gejala-gejala ASN mengarah pada sikap radikal dan intoleran, maka masyarakat idealnya tidak segan melaporkan ke pemerintah. Dalam konteks ini, pemerintah telah membuat sistem atau mekanisme pengaduan ASN terlibat radikalisme yakni melalui situs aduanasn.com. Situs ini kiranya bisa menjadi saluran publik untuk mengawasi dan mengadukan ASN yang terpapar ideologi radikal-intoleran agar ditindaklanjuti oleh institusi yang bersangkutan.

Arkian, seluruh elemen bangsa mulai pemerintah dan masyarakat sipil harus bersinergi untuk membangun manajemen birokrasi yang steril dari anasir radikal dan intoleran. Bangsa ini akan kuat jika para aparatur negaranya memiliki komitmen kuat pada nilai-nilai keindonesiaan, kebinekaan dan persatuan. Aparatur Negara ialah garda terdepan dalam menanamkan spirit cinta tanah air kepada masyarakat. Peran itu hanya bisa dijalankan manakala para aparatur negara sendiri telah memiliki komitmen kuat pada nasionalisme dan patriotisme.

Desi Ratriyanti
Desi Ratriyanti
Lulusan FISIP Universitas Diponegoro, bergiat di Indonesia Muslim Youth Forum.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru