31.5 C
Jakarta
Array

Standarisasi Pendidikan; Perlukah? (2)

Artikel Trending

Standarisasi Pendidikan; Perlukah? (2)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Standarisasi Pendidikan; Perlukah? (2)
Oleh : Dr. M. Arfan Mu’ammar*

Standarisasi Pendidikan merupakan salah satu ciri dari pola fikir positivistik. Pola fikir positivistik selalu memaksakan pemahaman ilmu alam untuk memahami ilmu sosial. Contohnya jika mangga semakin tua, rasanya semakin manis. Sedangkan, jika mangga masih muda, maka rasanya kecut.

Tapi apakah itu juga berlaku pada ilmu sosial (manusia)? Jika mangga semakin tua semakin manis, maka wanita semakin tua semakin tidak manis. Jika mangga masih muda rasanya kecut, tapi wanita masih muda justru rasanya manis.

Standarisasi awal mulanya diterapkan pada dunia industri otomotif seperti pabrik mobil Ford. Tapi apakah standarisasi tersebut dapat digunakan untuk menstandarkan pendidikan? Karena pendidikan tidak dilaksanakan diruang kosong, akan tetapi dilaksanakan ditengah masyarakat yang sangat kompleks.

Karena begitu kompleksnya sebuah masyarakat, tentu tidak begitu saja digunakan satu standar. Masyarakat atau anak didik di daerah A tidak dapat begitu saja disamakan dengan anak didik di daerah B. Studi Kasus di Sekolah A dan studi kasus di sekolah B, walaupun dengan masalah yang sama, belum tentu dapat dipecahkan dengan metode yang sama pula. Karena itulah ciri lain dari pola fikir positivistik adalah “generalisasi”. Satu masalah terdiagnosa, digeneralisir dengan metode penanganan yang sama.

Selain memaksakan ilmu alam untuk memahami ilmu sosial dan generalisasi, pola fikir positivistik memiliki ciri “signifikansi”. Ketika banyak terjadi kasus tabung elpiji 3 kg meledak dibanyak tempat. Maka pemerintah bertanya, berapa jumlah angka elpiji yang meledak? Jika kemudian dijawab ada 100 elpiji meledak di sekitar seratus titik di Indonesia. Maka ditanyakan kembali. Berapa jumlah seluruh pengguna elpiji 3 kg di Indonesia? 100 itu berapa persen dari seluruh pengguna elpiji di Indonesia? Jika hasilnya “tidak signifikan” maka kebijakan elpiji 3 kg tetap dilaksanakan.

Begitu juga dengan Ujian Nasional. Ada beberapa kasus siswa-siswa peserta ujian nasional mengalami depresi dan stress. Ditanya kembali, berapa jumlah yang depresi dan stress dibanding dengan jumlah seluruh peserta ujian nasional. Jika hasilnya tidak signifikan, maka ujian nasional tetap dilanjutkan.

*Punulis adalah dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surabaya

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutnya

Artikel Terkait

Artikel Terbaru