33.2 C
Jakarta

Spirit Ke-Negarawan-an Kiai Ageng Muhammad Besari

Artikel Trending

KhazanahOpiniSpirit Ke-Negarawan-an Kiai Ageng Muhammad Besari
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
“Agama dan nasionalisme adalah dua kutub yang tidak berseberangan. Nasionalisme adalah bagian dari agama dan keduanya saling menguatkan.” (Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, 1871-1947).

Harakatuna.com – Kiai Ageng Muhammad Besari merupakan tokoh penting peletak fondasi nasionalisme dan gerakan kebangsaan di Jawa pada abad 18. Ia memimpin Tegalsari dari tahun 1742 hingga 1773 di tengah situasi penuh gejolak, baik secara sosial maupun politik.

Beberapa peristiwa seperti geger pacinan (1742), Perang Suksesi Jawa III (1746-1755), Perang Jawa (1825-1830), dan kebijakan tanam paksa (1830-1917) merupakan momen-momen krusial yang mengiringi jejak langkah dan kiprah penting Kiai Ageng Muhammad Besari.

Menurut Haris Daryono Ali Haji (2018), dalam buku Menggali Pemerintahan Negeri Doho: Dari Majapahit Menuju Pondok Pesantren, kakek Kiai Ageng adalah trah Majapahit yang mulai menggunakan nama Islam, yaitu mengambil nama Abdul Mursad. Meski terlahir dari keluarga kerajaan, Abdul Mursad memilih menjadi mubaligh. Dia melakukan “bunuh diri kelas”.

Dia yang semula mendapatkan banyak sekali keistimewaan secara sosiologis masyarakat Jawa abad 16-17 karena lahir dari keluarga kerajaan, rela melepaskan semuanya. Dia meniti jalan untuk menyebarkan agama Islam. Di kemudian hari dia dikenal dengan nama Syekh Abdul Mursad.

Syekh Abdul Mursad memiliki putra Raden Neda Kusuma yang kemudian dikirim untuk memperdalam pengetahuannya di Giri Kedaton (Gresik Jawa Timur). Saat itu Sunan Prapen, cucu Sunan Giri yang menjadi pengasuhnya. Raden Neda Kusuma ini kemudian diangkat mantu. Ia lantas pulang untuk menyebarkan hasil belajarnya ke wilayah karesidenan Madiun.

Ia bergerak ke pedalaman, mengembara menyebarkan Islam yang kemudian dikenal dengan nama Kiai Ageng Anom Besari. Pada satu titik dia bermukim di daerah perdikan bernama Kuncen, Caruban, Madiun. Uniknya dalam menyebarkan Islam dia bekerja sebagai pembuat gerabah. Sehingga dia juga dikenal dengan julukan Kyai Ageng Nggrabahan.

Kiai Ageng Anom Besari memiliki trah sampai ke pendiri Majapahit, Prabu Kertarajasa Jaya Wardhana atau Raden Wijaya (1293-1309 M). Maka jika dirunut, Kiai Ageng Anom Besari merupakan  generasi ke-13.

Ia memiliki tiga putra, yaitu Kyai Ageng Khotib Besari, Kiai Ageng Muhammad Besari, dan Kiai Ageng Nur Shodiq Besari. Kiai Ageng Anom Besari memasrahkan pendidikan agama ketiga anaknya kepada keturunan Sunan Bayat yang menyebarkan Islam di Ponorogo; yakni Kiai Donopuro di Setono, Jetis.

Kiai Ageng memimpin Tegalsari semasa keraton Solo diperintah oleh Pakubuwono II. Saat itu situasi sosial politik Jawa tengah bergejolak. Salah satunya terjadi pada 1742 dengan pecahnya peristiwa geger pacinan di Solo. Kondisi ini memaksa Pakubuwono II mengungsi ke Tegalsari. Keputusan Pakubuwono II untuk melarikan diri ke Tegalsari didasari atas pertimbangan bahwa Tegalsari dianggap lebih netral.

Menurut Ahmad Baso (2012), keterlibatan Tegalsari di masa pergerakan dan perlawanan terhadap penjajah tidak lepas dari konsep jejer pandhita yang sering dijadikan pegangan oleh raja-raja Jawa. Jejer pandita berarti audiensi dengan ulama atau kiai. Kiai dengan pesantrennya kemudian menjadi oase perlindungan bagi para kaum nasionalis dan kaum pergerakan.

BACA JUGA  Menjaga Persatuan dalam Keberagaman Agama

Beberapa tokoh bisa dijadikan contoh praktik konsep ini, seperti Raden Patah jejer pandhita dengan Sunan Ampel, Jaka Tingkir jejer pandhita dengan Sunan Kalijaga,  dan Panembahan Senopati jejer pandhita dengan Ki Juru Martani.

Keputusan Pakubuwono II untuk jejer pandhita kepada Kiai Ageng Muhammad Besari di Tegalsari menyebabkan naiknya posisi tawar Tegalsari dalam konstelasi politik Jawa abad 18. Keadaan ini diperkuat dengan keberhasilan Kiai Ageng Muhammad Besari dalam membantu Pakubuwono II secara spiritual untuk mengakhiri konflik di keraton Solo.

Berkat keberhasilan ini pula Pakubuwono II kemudian memberikan status tanah perdikan (tanah bebas pajak) kepada Desa Tegalsari. Selain itu, sesuai dengan piagam tertanggal 9 April 1746, Pakubuwono II juga memberikan kekuasaan Reh Pangulon, yaitu hakim dari pengadilan Surambi yang menangani perkara sengketa keluarga, waris, pernikahan, perceraian, harta gono-gini, dan memutus segala kasus bidang pradata.

Kondisi ini sebenarnya dapat menjadi daya tawar sekaligus membuka peluang Kiai Ageng Muhammad Besari untuk masuk dalam konstelasi politik keraton. Namun, jiwa kenegarawanan yang dimiliki Kiai Ageng Muhammad Besari menjadikan pilihan tersebut tidak menarik dan tetap menjalankan perannya membersamai santri-santri dalam mendalami agama di Tegalsari, sembari melaksanakan tugasnya sebagai Reh Pangulon.

Jabatan tersebut diambil dengan dua pertimbangan: Pertama, instabilitas politik Mataram. Kedua, memastikan agar kondisi sosial-ekonomi masyarakat Tegalsari tetap lestari (Nurdianto, dkk, 2018).

Dengan menjadi Reh Pangulon, kompleksitas persoalan yang dihadapi masyarakat di tingkat akar rumput dapat langsung direspons oleh Kiai Ageng dengan berbagai kiat dan pendekatan keulamaannya. Berkat keluasan ilmu yang dimiliki, Kiai Ageng dapat melihat setiap persoalan dari berbagai kemungkinan dalam rangka membina kehidupan beragama dan berbangsa.

Karakter ulama-negarawan yang dimiliki Kiai Ageng ini selaras dengan yang diilustrasikan Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin, yakni yang memenuhi prasayarat sebagai faqih fi mashalihi al-khalqi; memahami dan mengenal dengan baik segi-segi kesejahteraan dan kemaslahatan publik.

Prasyarat ini disandingkan dengan pemahaman yang baik dalam ilmu-ilmu agama, akan meletakkan seorang ulama dalam kedudukannya sebagai pemberi inspirasi dan motivasi, pemberi pengaruh bagi terciptanya kehidupan yang seimbang dari sisi material maupun spiritual melalui spirit sosial keagamaan yang bersinggungan langsung dengan problem nyata kemasyarakatan.

Peranan sebagai faqih fi mashalihi al-khalqi sudah ditunjukkan oleh Kiai Ageng Muhammad Besari dengan dedikasinya yang penuh ketlatenan dalam mendidik santri-santrinya menjadi tokoh-tokoh nasionalis di masa depan. Teladan negarawan Kiai Ageng Muhammad Besari juga tumbuh dan mengalir dalam diri tokoh-tokoh bangsa sesudahnya.

Misalnya kepemimpinan etis yang dicerminkan Tjokroaminoto melalui keteguhan iman, kemampuan berfikir rasional dan ketinggian ilmu berpadu kepiawaian dalam berpolitik, sehingga figurnya menjadi acuan dalam mendorong bangkitnya pergerakan kebangsaan hingga mencapai kemerdekaan.

Akhirnya, spirit ulama-negarawan inilah ideal untuk diwujudkan dalam gerak langkah pengembangan IAIN Ponorogo menuju UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo yang hebat dan religius. Semoga!

Lukman Santoso Az
Lukman Santoso Az
Pengajar Hukum Ketatanegaraan Islam, Fakultas Syariah IAIN Ponorogo.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru