26.8 C
Jakarta

Sosiologi Bencana; Kritik Atas Pemerintah

Artikel Trending

KhazanahResonansiSosiologi Bencana; Kritik Atas Pemerintah
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah banjir melanda Jakarta dan sekitarnya pada 25 Februari 2020 ini, dan juga sebelumnya pada malam Tahun Baru pada 31 Desember 2019, masyarakat kembali diguncang oleh penyebaran virus Corona atau Covid-19. Ketika hujan mengakibatkan banjir di beberapa wilayah di Jakarta dan sekitarnya. Spontan, suasana Jakarta yang diliputi kegembiraan dan kemeriahan pada malam harinya berubah drastis menjadi kesedihan dan kepedihan pada keesokan harinya. Pemerintah pun jadi sasaran.

Banjir yang melanda sejumlah wilayah Jakarta dan sekitarnya ini memancing kritik dan protes yang diarahkan kepada Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta. Begitupun bencana virus Corona. Baik pemerintah pusat maupun daerah dianggap lambat mengambil kebijakan pencegahan penyebaran virus Corona hingga seorang pasien ditemukan terkena virus Corona di Depok.

Demi mencegah wabah virus Corona menjangkiti banyak orang, pemerintah pusat dan daerah diminta agar mengambil kebijakan pencegahan yang tepat agar tidak semakin banyak korban yang terjangkit virus Corona. Sementara ini, pemerintah mengambil inisiatif dengan menghimbau agar masyarakat mengurangi aktivitas di tempat kerja dan berdiam di rumah.

Istilah social distancing atau menjaga jarak dan mencuci tangan serta menggunakan masker bagi yang sakit adalah beberapa kebijakan yang sudah disosialisasikan ke masyarakat di berbagai media cetak maupun elektronik. Tidak kalah juga, majelis-majelis agama ikut mengeluarkan fatwa. Agar umat beragama mengikuti kebijakan pemerintah dengan menunda kegiatan-kegiatan agama di rumah ibadah. Sehingga menghindarkan terjadinya pertemuan atau kerumunan banyak orang.

Kebijakan pemerintah ini harus dilaksanakan secara tegas dan ini sudah dilakukan. Contohnya, Ijtima Ulama Dunia Jama’ah Tabligh zona Asia 2020 rencananya akan berlangsung pada 19 Maret 2020 di Gowa, Makassar, urung dilaksanakan. Pada tanggal yang sama, pelantikan Uskup Ruteng, NTT yang akan dihadiri sekitar 7000 orang dibatalkan oleh pemerintah setempat.

Dua kasus kegiatan agama ini menjadi contoh bahwa pada praktiknya, masih banyak warga masyarakat yang tidak memenuhi himbauan pemerintah agar mengurangi atau menunda kegiatan keagamaan yang akan menimbulkkan terjadinyan kerumunan.

Kebijakan Pemerintah

Oleh karena itu, terdapat wacana agar dilakukan penutupan secara total (lock down) berbagai fasilitas publik. Seperti bandara, pelabuhan dan transportasi umum lainnya. Agar masyarakat tidak melakukan perjalanan dan tetap berada di rumah. Tapi wacana ini masih menjadi polemik di antara para pengambil kebijakan di pemerintahan.

Diskusi para pakar menghiasi layar kaca dan media cetak serta elektronik hampir 24 jam penuh tentang kebijakan yang harus dilakukan pemerintah. Masyarakat terbelah antara kubu yang mengkritik dan memuji kebijakan pemerintah dalam menangani bencana. Ada yang jujur menawarkan solusi. Tapi ada juga bernada politis, dan bahkan terkesan mengungkit-ungkit persoalan politik masa lalu.

Dari membaca dan menyimak sejenak komentar-komentar para nitizen di media sosial, kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata masyarakat masih menyisakan luka lama akibat konstelasi politik di DKI meski Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017 sudah berlalu lebih dari dua tahun setengah lalu, dan juga Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu.

Pemerintah Tidak Kooperatif

Tulisan ini dengan demikian tidak akan mengulas apakah kebijakan gubernur DKI Jakarta atau pemerintah pusat sudah memadai dalam menangani bencana banjir atau virus Corona di Indonesia. Bukan itu persoalan intinya. Yang menjadi pokok dari segala persoalan adalah sikap dan cara pandang dari masyarakat. Mereka memiliki tingkat kepercayaan yang rendah pada apapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Masyarakat dipertontonkan silang pendapat para elit dengan sikap saling menyalahkan dan menganggap satu kebijakan lebih baik dan paling bagus. Ini adalah sebuah tontonan yang tidak sehat secara politis dan tidak mendidik secara kemanusiaan. Utamanya bagi masyarakat yang sedang ditimpa bencana seperti sekarang ini. Oleh karena itu, rekonsiliasi yang sifatnya politis tidak akan berarti banyak jika persoalan krisis kepercayaan di masyarakat tidak diselesaikan terlebih dahulu.

Atas dasar itu maka diperlukan upaya untuk mengembalikan kepercayaan antar kelompok di masyarakat dalam mengatasi masalah keterpecahan (disunity). Kalau tidak maka ketidakpercayaan (distrust) di masyarakat akan terus ada dan apapun kebijakan yang diambil pemerintah tidak akan mendapatkan dukungan yang berarti.

BACA JUGA  Bimtek PPIH 2024: Upaya Kementerian Agama Melahirkan Uwais Al-Qarni di Zaman Modern

Berangkat dari hal tersebut, penulis berargumentasi bahwa rekonsiliasi politik antarelit itu penting. Tapi yang jauh lebih penting adalah rekonsiliasi di masyarakat akar rumput. Karena apapun kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengatasi bencana tidak akan mendapatkan simpati.

Membangun Kepercayaan

Secara sosiologis, kepercayaan adalah prasyarat keberhasilan bagi setiap macam transaksi sosial di masyarakat mulai dari transaksi politik hingga ekonomi. Francis Fukuyama dalam bukunya yang berjudul Trust: Social Virtues and Creation of Prosperity (1995), mengatakan bahwa kepercayaan atau trust adalah faktor determinan kesejahteraan sebuah masyarakat.

Artinya, hancur atau bertahannya sebuah masyarakat tergantung pada aspek ini. Pada tulisan Fukuyama lainnya, “Social Capital and Civil Society” (1999) bahwa kepercayaan adalah salahsatu modal sosial (social capital) yang mampu mempromosikan kerjasama (cooperation) dan membentuk hubungan timbal balik (reciprocity) antara dua orang atau lebih.

Jika merunut Kamus Besar Indonesia (KBI), kata rekonsiliasi bermakna “perbuatan memulihkan hubungan persahabatan pada keadaan semula; perbuatan menyelesaikan perbedaan”. Dari makna ini maka rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan segala perbedaan demi mengembalikan hubungan seperti sediakala.

Beberapa prasyarat untuk memulihkan hubungan yang ada adalah dua. Pertama, memperbaiki cara pandang dan sikap. Kedua, memperkuat moderasi beragama di kalangan umat beragama. Cara pandang terkait pada bagaimana memahami sesuatu.

Cara pandang yang sifatnya kognitif ini penting karena seseorang akan memahami sesuatu secara positif, dan kemudian akan memunculkan bentuk-bentuk kecenderungan berperilaku atau sikap, termasuk perasaan atau emosi (afektif), secara positif pula. Jika seseorang sudah memiliki cara pandang dan sikap yang positif maka dia akan memiliki keterampilan dan kemampuan untuk bertindak hal-hal yang positif.

Tidak mungkin perilaku seseorang itu positif jika dia tidak memiliki cara pandang atau sikap yang positif. Setelah itu, cara pandang positif akan memunculkan pandangan moderat terhadap segala sesuatu. Mengutip buku Moderasi Beragama (Kemenag, 2019), yang dimaksud moderat adalah adil dan berimbang.

Menjadi moderat berarti menghindarkan diri dari sikap dan cara pandang bahwa keyakinannya yang paling benar secara absolut. Jadi harus berimbang dengan sikap menghormati keyakinan orang lain yang berbeda agar melahirkan sikap toleran, dan menghindarkan diri dari cara pandang keagamaan yang ekstrem.

Pemerintah Harus Meruwat Kerukunan

Indonesia sangat heterogen. Rumah bagi hampir semua pemeluk agama. Ekspresi identitas agama yang cenderung ekstrim ditenggarai rentan menciptakan tindakan-tindakan intoleran terhadap kelompok lain yang tidak seagama dengannya. Interaksi antar umat beragama akan berjalan secara harmonis apabila masing-masing pemeluk agama bersikap moderat. Secara teoritis, semakin ruang-ruang perjumpaan diciptakan bagi warga yang berbeda agama maka akan tercipta sikap saling menerima dan menghormati perbedaan yang ada.

Merujuk pada Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dirilis Kemenag 2019, ukuran tinggi rendahnya kerukunan umat beragama sangat ditentukan oleh sejauhmana masyarakat memiliki sikap untuk: (1) menerima perbedaan keyakinan, (2) menghargai hak-hak orang lain dengan setara meski berbeda keyakinan dan; (3) memiliki keinginan untuk bekerjasama dengan orang lain meski tidak sekeyakinan.

Artinya, tinggi rendahnya angka kerukunan umat beragama suatu daerah ditentukan oleh sejauhmana masyarakatnya dapat hidup berdampingan secara damai.

Simpulan, sikap untuk saling memaafkan dan melupakan berbagai pertikaian masa lalu adalah prasyarat persatuan. Menyembuhkan luka lama dan menyambung kembali benang persatuan adalah sikap yang harus diambil. Baik pendukung Jokowi dan Anies bersama-sama memikirkan solusi terbaik penanganan banjir dan bencana virus Corona tanpa membanding-bandingkan kebijakan pemimpin yang didukungnya.

Sebagai warga, kita tidak peduli apapun kebijakan pemerintah yang diambil. Yang jauh lebih penting adalah bencana cepat berlalu dan para korban menerima bantuan yang semestinya. Kita hanya berharap bahwa aspek kemanusiaan lebih diutamakan di atas kepentingan politik.

 

Muhammad Adlin Sila, Peneliti Ahli Utama Balitbang Kemenag RI dan Dosen FISIP dan SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Indonesia. Lulusan dari Fakultas Syariah UIN Alauddin, Makassar, S2 dari Australian National University. Alumni S3 dari Universitas Indonesia (Sosiologi) dan S3 dari Australian National University (Antropologi).

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru