27.9 C
Jakarta
Array

Solusi Berwudhu’ Untuk Pemakai Perban (Bagian II-Habis)

Artikel Trending

Solusi Berwudhu’ Untuk Pemakai Perban (Bagian II-Habis)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Ketiga, mazhab Imam Ahmad. Menurut beliau, setelah menganalisis ulang argumen Syafi’iyah menyatakan bahwa tidak ada satu keterangan pun yang sahih dari Nabi tentang kewajiban mengusap ‘ishdbah atau jabirah. Kalau pun ada maka itu dha’if. Dari itu, Imam Ahmad menegaskan bahwa pengguna ‘ishabah atau jabirah hanya diwajibkan membasuh anggota yang sehat dan bertayamum saja sebagai ganti membasuh yang sakit. Dan kalaupun harus mengusap yang sakit, maka hal tersebut dilakukan ketika pembalutnya terlalu melebihi sasaran luka yang dikehendaki. Hanabilah juga menyatakan bahwa tak perlu adanya i’c’idah dalam kasus tersebut. [al-Mughniy, 314:I, Maraqat aI-Mafatih Syarhu aI-Misykatu aI-Mashabih, 468:II]

Demikianlah uraian mengenai argumen ulama mazhab tentang shahibu al-jabirah dan shahibu ai-‘ishabah. Manakah yang harus kita pilih? Pada dasarnya, argumentasi para ulama di atas sungguh samasama kuat. Kita tidak bisa mengetahui secara pasti mana yang paling kuat. Karena boleh jadi menurut kita kuat, tapi menurut yang lain itu lemah. Dan itulah ragam fikih dan rahmat perbedaan bagi umat Islam. Itu semua tak lain agar kita mau terus berpikir dan menganalisis. Pada kasus kita saat ini, yang pasti solusi yang ditawarkan haruslah sejalan dengan Ruh syari’ah Islam, yaitu mendahulukan kemaslahatan umat, baik dunia maupun akhirat.

Kalau kita lihat kenyataan yang ada, misalnya di rumah-rumah sakit atau di puskesmas-puskesmas, mereka memang tidak berdaya Untuk bertingkah laku seperti orang sehat. Oleh karena itu, seharusnya; memang mereka layak mendapat dispensasi yang lebih mudah dari pada orang yang sehat Coba bayangkan! Ketika kita ikut mazhab Syafi’iyah, yaitu harus membasuh anggota yang sehat, lalu diusap pada bagian pembalut, lalu ditayamumi sebagai ganti dari yang tak ter basuh, setelah itu masih harus mengganti salat ketika yang dibalut termasuk anggota tayamum. Ketentuan hukum ini jelas lebih sulit dari pada dalam keadaan normal. Apakah ini yang dikehendaki Syari’ah?

Dalam kondisi seperti ini, nampaknya Mazhab Hanafiy dan Imam Malik atau imam Ahmad lebih maslahat untuk diikuti, karena dengan begitu si korban memang benar-benar akan mendapat kemudahan sebelum melakukan salat. Ketentuan ini akan memacu para korban untuk tetap salat dan juga akan membuktikan bahwa agama Islam tidak terlalu sukar dan pelik. Nabi sendiri sudah menyatakan bahwa janganlah kita mempersulit diri ketika hendak beribadah. Sabda Beliau,
Buatlah menjadi mudah dan jangan kalian per sulit (dalam beragama). [Shahih al-Bukhariy, 1332!] Wa-Allahu A’lamu.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru