26.8 C
Jakarta
Array

Solusi Berwudhu’ Untuk Pemakai Perban (Bagian I)

Artikel Trending

Solusi Berwudhu’ Untuk Pemakai Perban (Bagian I)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Perban atau gift hampir bisa dipastikan selalu menghiasi korban kecelakaan. Ini tentu akan menyisakan satu persoalan dengan ibadah wudhu’. Pasalnya, tak jarang perban atau gift menutupi salah satu anggota wudhu’ sehingga para korban terkadang kebingungan. Dalam kondisi seperti ini, apakah ia harus salat tanpa wudhu’, atau wudhu’ tapi dengan cara berbeda?

Aksesori-aksesori semacam perban atau gift pada korban kecelakaan ini tentunya akan menghalangi air ke kulit. Artinya, wudhu’ bisa bermasalah dalam kondisi seperti ini. Karena wudhu’ sendiri baru dikatakan sah bila air telah menyentuh secara langsung pada kulit anggota wudhu’. Di sinilah letak kesulitan para korban-korban kecelakaan yang hendak berwudlu. Apakah di setiap kali wudhu’, mereka harus membuka perbannya supaya air dapat merata ke seluruh anggota wudhu’. Atau adakah cara lain yang lebih mudah dan juga dianggap sah secara Syara’? Mari kita bahas bersama!

Dalam literatur kitab fikih, istilah perban dikenai dengan nama ‘ishabah, yaitu kain yang digunakan untuk membalut luka agar terlindung dari kotoran. Sementara untuk patah tulang atau tulang yang retak ada istilah lain yang digunakan, yaitu dikenal dengan istilah jabirah. Sebuah alat semacam kayu yang digunakan untuk menutupi dan menekan bagian tulang yang patah agar nyambung/lurus kembali. [lawsyih ‘Ala lbni Qasim, 36; al-Fiqh al-Manhaji ‘Ala Madzhabiy Imam alSyafi’iy, 68:|]

Di masa sekarang, ‘ishabah sama persis dengan fungsi perban yang biasa digunakan para dokter untuk membalut luka korban kecelakaan. Sedangkan fungsi jabirah juga tidak terlalu beda jauh dengan gift yang biasa digunakan untuk korban patah tulang. Gift adalah semacam cairan yang dipasang ke tubuh pasien yang patah. Lalu dalam waktu tertentu gift tersebut membeku sesuai dengan ukuran bagian tubuh yang patah.

Terkait dengan ‘ishabah dan jabirah tersebut, para pakar Fikih klasik sudah sejak dulu mempresentasikan solusinya. Pertama, dari mazhab Syafi’iyah. Pada mulanya, di qaul qadim (fatwa Imam Syafi’iy ketika di Baghdad) termaktub bahwa korban kecelakaan yang telah dibalut dengan jabirah atau ‘ishabah mendapat dispensasi dengan bertayamum saja sebagai ganti dari wudhu’. [al-Majmu’, 268zll]

Dispensasi tersebut jelas keringanan yang nyata bila dipraktikkan. Pasalnya, kita hanya perlu tayammum dan tidak perlu susah-susah berwudlu sekalipun ada air, karena ini adalah keadaan darurat. Namun, entah mengapa keputusan hukum tersebut berubah setelah Imam Syafi’iy pindah ke Mesir. Di sana Beliau berfatwa bahwa pemakai ‘ishabah dan jabirah diwajibkan tetap berwudlu sebagaimana biasa, namun ketika pada bagian yang terbalut, maka hanya perlu diusap saja dan langsung seketika itu bertayamum untuk mengganti basuhannya. [Bughyatu al-Mustarsyidin, 60:|]

Jadi, seandainya bagian yang terbalut ada dua anggota wudlu maka tayammumnya juga dua kali. Misalnya tangan dan kaki. Selanjutnya, Syafi’iyyah menambah-nambah ketentuan dalam kasus ini, yaitu bilamana akan membalut luka tersebut maka harus dalam keadaan suci dulu, Karena kalau tidak, maka aktivitas salat yang dilakukan selama badan terbalut harus I’adah (diulang kembali) ketika sudah sembuh. Ketentuan ini berlaku jika anggota yang terbalut adalah selain anggota tayammum (wajah dan tangan). Namun, ketika yang terbalut adalah anggota tayammum maka salat wajib diulang. baik sebelum membalut telah suci terlebih dahulu atau belum. [Tawsyih ‘Ala Ibni Qasim, 36: als Fiqh al-Manhaji ‘Ala Mazhabiy lmam al-Syafi’iy, 68:l]

Ketentuan Imam Syafi’iy ini bukan tak beralasan. Beliau mendasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Jabir,

Dari Jabir Ra, ia berkata: “Kami sedang keluar dalam sebuah perjalanan. Kemudian (di perjalanan) sebuah batu menghantam seorang dari kami dan melukai kepalanya. Lalu ia tertidur dan bermimpi basah. Setelah bangun, ia bertanya pada para sahabatnya: “Apakah kalian menemukan untukku rukhshah (keringanan) untuk bertayamum?” Para sahabatnya pun menjawab’ ”Kami sama sekali tidak menemukan rukhshah untukmu sementara kamu masih sanggup untuk menggunakan air”. Maka, ia pun mandi lalu ia mati. Tatkala kami menghadap pada Nabi Saw., diceritakanlah berita itu pada Beliau. Beliau lalu bersabda: “Mereka telah membunuhnya, (semoga) Allah membunuh mereka. Mengapa mereka tidak bertanya terlebih dahulu ketika mereka masih belum tahu? Sesungguhnya obat kepelikan itu adalah bertanya. Sesungguhnya ia hanya perlu bertayamum dan mengikat lukanya dengan kain kemudian mengusap kain tersebut serta membasuh seluruh badannya. [Sunan Abi Dawud, 465:I, Sunan al-Baihaqi, 227zl]

Kedua, mazhab Malikiyah dan Hanafiyah. Kelompok ini mendasarkan argumennya pada hadis,

Dari sayyidina Ali Ra Ia berkata: kedua tanganku patah ketika perang Uhud dan bendera pun terjatuh. Lalu Nabi bersabda pada para sahabat lainnya, “Tempatkanlah bendera itu di tangan kiri Ali, karena dialah pemegang benderaku di dunia dan akhirat”. Lalu, aku bertanya pada Nabi: ”Wahai Rasul, apa yang harus aku perbuat dengan jaba’ir ini?”, Rasul menjawab: ”Usaplah itu…!”.

Dari ini, Imam Malik dan Abu Hanifah menyimpulkan bahwa para pengguna jabirah atau ‘ishabah hendaknya mempertimbangkan kuantitas luka/patah yang dideritanya. Jika yang sakit lebih dominan maka dia hanya perlu bertayamum saja. Namun jika lebih dominan yang sehat maka dia wajib membasuh anggota wudhu’ yang sehat dan mengusap yang sakit, tanpa harus bertayamum dan tanpa harus mengulang salatnya. [Tuhfatu al-Fuqaha’ 89:I, Maraqat aI-Mafatih Syarhu al-Misykatu al-Mashabih, 468:II, ‘Aunu aI-Ma’bud, 383:I]

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru