27.7 C
Jakarta
spot_img

Skill yang Diperlukan Kini

Artikel Trending

KhazanahResonansiSkill yang Diperlukan Kini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Jika kita sebagai umat dan bangsa melakukan introspeksi diri di akhir 2024 ini, di antara problem kita adalah rendahnya skill/keterampilan berpikir (cognitive [C]) tingkat tinggi masyarakat kita. Bukan hanya bagi masyarakat lulusan SMA/SLTA, melainkan juga lulusan perguruan tingginya dan ini tak sesuai dengan tuntutan era society 5.0. Keterampilan berpikir tingkat tinggi itu adalah C4: keterampilan menganalisis (analysing), C5: mengevaluasi (evaluating), dan C6: mencipta/mengkreasi (creating). Tentu saja, jika diukur keterampilan berpikir tingkat rendahnya, masyarakat kita sudah cukup baik, meski belum seutuhnya, yaitu: C1: mengingat/menghafal (remembering), C2: memahami (understanding), dan C3: menerapkan (applying).

Era Society 5.0: Skill yang Perlu

Kini manusia di dunia, termasuk kaum Muslimin di Indonesia, sedang hidup pada era society 5.0, era di mana teknologi menjadi bagian real dari manusia, yang di dalamnya terdapat kombinasi human centered dan technology based, yang dimulai sejak 21 Januari 2019. Era ini memungkinkan umat manusia menggunakan ilmu pengetahuan berbasis teknologi canggih, terutama Artificial Intelligence (AI [kecerdasan buatan])/robot untuk mempermudah kehidupannya.

Dengan AI manusia mampu mengembangkan sistem produksinya yang lebih efisien, fleksibel, dan berkelanjutan, yang dalam kajian kapitalisme sebagai bagian dari rasio instrumental demi pelipatgandaan keuntungan. AI adalah ilmu dan rekayasa sistem komputer yang bisa “berpikir cerdas” layaknya manusia, yang memungkinkannya bisa menjalankan tugas seperti menerjemahkan, membuat keputusan, bahkan Robot Kismet dapat menampilkan emosi seperti manusia, komputer yang bisa membuatkan makalah sederhana, dan Deep Blue IBM bahkan bisa mengalahkan juara dunia catur 1997, Gary Kasparov. Era society 5.0 membuat dunia dilanda disruption, di mana IT mematikan dan menggantikan bisnis/kegiatan kovensional. Misanya fenomena Go-Jek, Grab dalam bisnis transportasi, Pos/Toko Matahari yang mengalami gulung tikar, koran besar beralih ke online, dan Zoom Meeting.

Era society 5.0 dialami manusia setelah sebelumnya mereka mengalami: (a) era society 1.0: era berburu (food gathering) dan mengenal tulisan; (b) era society 2.0: era pertanian dengan menetap; (c) era society 3.0: era industri di mana manusia menggunakan mesin; dan (d) era society 4.0: era pengembangan teknologi komputer hingga internet melalui machine learning dan AI sejak 2011.

Di era society 5.0, di mana manusia bisa menguasai teknologi, bukan dikuasai, minimal empat kompetensi dasar yang diperlukan: (1) technical competency, hard skills yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan baru. (2) Critical competency seperti kreativitas, entrepreneurship, dan analisis. (3) Personal competency seperti kegesitan, kemauan untuk terus belajar, dan daya tahan mental yang kuat. (4) Social competency seperti kecerdasan emosional, teamwork and cooperation, serta kemampuan interkultural.

Berdasarkan World Economic Forum, ada 10 skill yang dibutuhkan di era society 5.0, termasuk tahun 2025. Dari 10 skill itu, yang terkait teknologi (hard skill) yang mutlak harus dikuasai adalah: keterampilan yang terkait dengan teknologi dalam bidang usage and monitoring skill atas teknologi informasi dan juga programming. Selebihnya terkait soft skills, yaitu: analytical skills (kemampuan menganalisis), critical skills, complex decision making (membuat keputusan yang sulit), leadership and management skills (kepemimpinan dan manajemen), termasuk di dalamnya communication skills (keterampilan berkomunikasi), ability to learn (kemampuan untuk belajar), dan creativity and authentic skills (keterampilan untuk kreatif dan punya sisi keaslian/orisinalitas).

Perspektif Islam

Pertanyaannya, bagaimana Islam memandang keharusan menguasai skill-skill yang dibutuhkan saat ini sebagai era society 5.0 di atas? Paling tidak, skil-skill mendasarnya. Jawabannya, sebagai agama untuk kepentingan manusia, maka Islam secara umum mendorong manusia agar menguasai skill-skill itu. Alasannya, karena agama Islam hadir untuk menjaga dan mengembangkan minimal lima kemaslahatan manusia: hak hidup manusia (nafs/jiwa), agama/moralitasnya (dîn), akal/ilmu pengetahuan/pendidikan (‘aql), keturunan/keberlangsungan ras manusia (nasal), dan hak milik/harta kekayaan (mâl). Tanpa skill-skill di atas dikuasai, maka kepentingan minimal 5 hal mendasar manusia itu tak akan bisa terpenuhi. Dan itu sesuai dengan kaidah ushûl fiqh (metodologi hukum Islam): “Li al-wasâil hukm al-maqâshid” (hukum media/perantara sesuai hukum yang menjadi tujuan). Jika menjaga/mengembangkan hidup wajib dilakukan, maka media seperti skill-skill yang diperlukan juga harus dikuasai.  

BACA JUGA  Negeri Saba: Negeri yang Baik Padahal Sistemnya Bukan Khilafah

Mengenai penguasaan teknologi (hard skill/technical competency) seperti usage and monitoring skill dan programming sebagai keterampilan yang saat ini mendasar misalnya tentu harus dikuasai. Apalagi oleh anak-anak muda milenial. Jangankan anak-anak muda milenial, mereka yang lahir bukan sebagai kaum milenial saja kini harus menguasainya. Menjadi dosen yang senior yang tugasnya di bidang akademik sekalipun. Paling tidak, menguasai bagaimana melaporkan mengajar per hari secara online dengan melampirkan bukti-bukti kehadiran mahasiswa dan materi yang disampaikan. Juga harus menguasai cara meng-input nilai mahasiswa ke dalam  sistem admin online pada setiap semester dan juga melaporkan kinerja pengajaran/pendidikan, penelitian, termasuk di dalamnya publikasi karya tulis, hingga pengabdian masyarakat ke kanal/sistem admin online yang disediakan.

Tentu saja, dengan bukti-bukti yang online juga, meski ini menyebalkan sebagai kerja administrasi, bukan akademis. Tentu saja, harus menguasai kemampuan men-submit artikel ilmiah ke jurnal nasional dan internasional secara online juga. Tanpa kemampuan itu, maka sulit bagi dosen yang bukan milenial untuk bisa bertahan. Secara umum, keharusan menguasai skill komputer ini sesuai dengan QS. al-Mujadalah/58: 11, di mana kunci kedigdayaan seseorang/umat/bangsa adalah integritas dan ilmu pengetahuan/teknologi.

Apalagi, dari abad ke-7 M, kunci kedigdayaan umat Islam pada masa Nabi dan sahabatnya, selain sikap hidup seperti punya daya tahan/kesabaran (mau berdamai/memaafkan), juga institusionalisasi seperti masjid dan penguasaan teknologi seperti teknologi dan taktik/strategi berperang demi membela diri saat diserang karena terpaksa, termasuk keharusan adanya kaum pemanah, pasukan berkuda dan berunta. Tentu saja juga  teknologi bangunan, teknologi kertas, teknologi armada laut, dan sebagainya.

Maka, teknologi kertas misalnya yang awalnya diimpor dari Cina sebagai negara yang memproduksinya pada masa Usman bin ‘Affan menjadi khalifah, belakangan kaum Muslimin menjadi masyarakat yang paling banyak memproduksi kertas pada abad 8-13 M. Lebih belakangan lagi, umat Islam bisa melahirkan teknologi tinta yang bisa dibaca saat gelap, teknologi pembedahan pertama dalam kedokteran, dan juga teknologi dinamit, yang sebagian besarnya memengaruhi Barat modern.

Demikian juga mengenai skill/keterampilan ability to learn. Dalam Islam, seseorang tidak terlalu dimasalahkan saat berbuat salah, karena manusia sejak Nabi Adam dimungkinkan berbuat salah. Manusia dimungkinkan trial & error. Bahkan, kegagalan dipandang bukan sebagai kesalahan/kegagalan, melainkan belajar hidup. Maka, salah satu hal yang membedakan antara Nabi Adam dan Iblis adalah kemampuannya mengakui kesalahan dan bertaubat, belajar untuk mampu melakukan introspeksi diri, mampu belajar untuk hidup lebih baik, memperbaiki kesalahan di masa lalu. Dalam Islam sikap itu dikenal dengan taubat, kembali ke jalan yang benar. Apalagi belajar dalam Islam sebagaimana tampak dalam hadis adalah kewajiban bagi manusia, dari sejak lahir hingga kematian tiba.

Hal yang sama untuk skill-skill lainnya. Misalnya leadership and management skills yang bisa dilihat dari keberadaan Nabi di Madinah yang juga sebagai kepala negara, selain kepala agama. Juga membentuk persaudaraan berdasarkan agama (ummah), menggantikan persaudaraan berdasarkan darah, dan membuat konstitusi pertama dalam sejarah umat manusia lewat Perjanjian Madinah, dengan membentuk negara multietnis dan agama. Mengenai kinerja misalnya lihat QS. al-‘Ashr/103 dan mengenai keharusan sinergi (ta’âwun) bisa dilihat QS. al-Maidah/5: 2, QS. Ali Imran/3: 103).

Karenanya, hanya kelompok sosial yang mau bersatu saja yang bisa digdaya, sebagaimana disimbolkan dengan dhammah (berhimpun/bersinergi) saat mau rafa’ (tinggi) dalam aturan nahwu/tata bahasa Arab. Soal critical skills tampak dari perintah banyak menggunakan metode bertanya dalam pengembangan ilmu, sebagaimana yang dilakukan Ibn Abbas dan Nabi Ibrahim (QS. 16: 43, QS. 2: 260). Juga tampak dari kecaman Islam terhadap rakyat Fir’aun yang membebek (QS. 28: 8, 40 dan 11: 97-98). Sedangkan authentic skills  bisa dilihat dari QS. al-Sajdah/32: 7 dan QS. al-Mu’minun/23: 14, yang meminta kaum Muslim mencontoh sifat Allah yang menciptakan alam semesta yang tak ada yang bisa menandinginya (diciptakan secara optimal dan dengan ketelitian yang amat tinggi). Wallâh a’lam bisshawâb. []

Prof. Sukron Kamil
Prof. Sukron Kamil
Guru Besar FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru