Harakatuna.com. Jakarta. Penulis disertasi “Islamisme dan Transisi Demokrasi di Dunia Muslim, Perbandingan Tuntutan Penguatan Syariat Islam dalam Amandemen Konstitusi di Indonesia dan Mesir”, Imdadun Rahmat mengatakan, sistem khilafah yang diusung Hizbut Tahrir itu tidak ada faktanya dalam sejarah Islam.
Pada masa Nabi Muhammad dan sahabat atau Khulafau Rasyidin, masyarakat Islam pernah menerapkan macam-macam tipoligi. “Pada zaman Nabi city state, negara kota, seperti Singapura sekarang atau Athena dulu,” katanya di kantor redaksi NU Online, PBNU, Jakarta, 28 April lalu.
Setelah itu, lanjut lulusan S3 Univeristas Indonesia itu, berubah menjadi kerajaan yang dibangun Bani Umayah dan Abasyiah. Sistem tersebut adalah negara dengan pemimpin turun-temurun.
“Peralihan dari Umayah ke Abasyiah itu terjadi pembantaian habis-habisan. Mana sistem bakunya? Merujuk kepada sistem khilafah? Tidak!” jelas Wakil Sekjen PBNU 2010-2015 itu.
Jika cita-cita khilafah itu menyatukan negara-negara Islam menjadi sebuah negara, sejarah Islam justru membuktikan pernah ada dua kerajaan Islam pada waktu yang bersamaan, yaitu pada zaman Abasyiyah dan kerajaan Islam di Andalusia yang merupakan kelanjutan dari Umawiyah.
Jika merujuk Turki Utsmani, lanjut Ketua Komnas HAM Periode 2016-2017, itu pun bukan bentuk khilafah, tapi tetap kerajaan.
Sekarang pun, tidak ada satu negara Islam pun yang menggunakan sistem khilfah. “Mana ada negara yang setuju. Negara Islam mana pun tidak akan setuju dengan khilafah itu karena basis eksistensi negara-negara Islam, adalah nation state. Malah ada suku state. Arab Saudi itu apa kalau bukan suku state?”
Jadi, menurut Imdad, penganut paham khilafah itu hanya berhenti pada keyakinan bahwa konsep mereka layak untuk diujicobakan.
“Padahal, negara, umat, tidak boleh menjadi obyek coba-coba. eksperimen politik itu terlalu besar cost dan madrat yang akan ditimbulkannya,” kata penulis buku Ideologi Politik PKS: Dari Masjid Kampus ke Gedung Parlemen. (Abdullah Alawi)
Sumber: NUONLINE