Harakatuna.com – Di balik datangnya Paus Fransiskus ke Indonesia masih menyisakan pertanyaan. Pasalnya, ada tujuh orang yang berencana menyerang Paus Fransiskus. Namun akhirnya mereka ditangkap pada 2 dan 3 September di beberapa lokasi, termasuk Jakarta, Bogor, Bekasi, Sumatera Barat, dan Kepulauan Bangka Belitung. Para tersangka yang ditangkap berinisial HFP, LB, DF, FA, HS, ER, dan RS.
Respons Media Asing
Rencana penyerangan kepada Paus Fransiskus tidak hanya viral di Indonesia. Tetapi media-media asing ikut menyoroti. Misalnya media asal Singapura, The Strait Times, menyoroti hal tersebut dalam berita berjudul “Indonesian Police Detain Seven in a Failed Plot to Attack Pope Francis.”
The Strait Times menulis, dalam penggeledahan di rumah salah satu tersangka yang merencanakan serangan terhadap Paus, ditemukan busur panah, drone, dan selebaran ISIS. Beberapa dari tersangka juga diketahui telah bersumpah setia kepada ISIS. Sumpah ini yang kemudian dijadikan sebagai jalan utama untuk melakukan tindakan radikal atas nama agama di Indonesia.
Berita yang sama juga disiarkan oleh kantor berita Prancis, AFP, dalam berita berjudul “Indonesia Arrests Aeven Over Pope Francis ‘Terror Threats’. AFP menyoroti bagaimana Indonesia telah lama menghadapi ancaman militan islamis. “Serangan bom di Bali pada tahun 2002 yang menewaskan 202 orang menjadi serangan teror paling mematikan dalam sejarah negara ini,” tulis AFP.
Media Vatikan, EWTN Vatican, juga mengungkapkan berita yang sama. Dilihat dari unggahan Instagram-nya, diterangkan bahwa tujuh orang yang merencanakan penyerangan terhadap Paus ditangkap berkat laporan masyarakat. “Meskipun ada ancaman, Paus Fransiskus dan Imam Besar (Istiqlal) Nasaruddin Umar bersatu melawan kekerasan agama, dengan menandatangani deklarasi bersama di masjid tersebut pada tanggal 5 September. Dunia harus terus mendorong perdamaian dan toleransi dalam menghadapi ekstremisme,” tulis media EWTN Vatican.
Teroris Jadi Pengacau
Dilihat dari berita-berita di atas, teroris inilah yang menjadi pengacau. Indonesia rusak di mata dunia hanya gara-gara kelompok teroris yang merusak tatanan yang ada. Teroris ini sok-sokan kecewa atas kunjungan Paus Fransiskus ke Masjid Istiqlal di Jakarta, masjid terbesar di Asia Tenggara. Mereka juga mengklaim marah dengan keputusan pemerintah yang meminta stasiun televisi tidak menyiarkan azan selama siaran langsung kunjungan Paus berlangsung.
Namun ketika dilihat lebih jauh, ada kelompok lain yang juga memiliki kepribadian yang sama. Mereka adalah aktivis khilafah yang hingga kini memiliki egoisme agama. Mereka berpikiran bahwa kunjungan Paus memiliki misi politik.
“Setiap kunjungan pemimpin dunia memiliki maksud politik walaupun itu adalah kunjungan agama tertentu. Oleh karena Paus itu adalah pemimpin agama dunia dari negara Vatikan, maka tidak mungkin hanya kunjungan biasa, pasti ada maksud politik di balik itu. Indonesia adalah negeri mayoritas umat Islam. Bukankah Indonesia ini negeri kaya ulama? Tentu hal penting bagi pengunjung untuk mengutamakan kunjungannya hendak mengarah ke daerah mana. Kunjungannya ke Indonesia tentu bernilai strategis,” ungkapnya Sabtu (MNews, 7-9-2024).
Mereka juga mengatakan bahwa Paus sebenarnya hanya omong kosong saat berbicara perdamaian. Buktinya tidak ada upaya signifikan untuk menghentikan kebiadaban terhadap umat Islam, khususnya di Palestina.
Narasi lain yang dibangun aktivis khilafah ini adalah tentang penyiaran misa akbar yang berbarengan waktu salat Magrib sampai harus menggeser tayangan azan di televisi dan pemberitahuan waktu Magrib hanya disampaikan melalui running text. Menurut mereka, pemerintah lebih mementingkan minoritas daripada mayoritas. Pemerintah lebih mementingkan misa dari azan yang merupakan panggilan salat. Mereka kira umat Islam seperti direndahkan dan terus diinjak-injak. Pemerintah seakan memaksa umat Islam untuk selalu kalah dan terzalimi.
Hanyalah Provokator
Karena itulah pemerintah tak lepas dengan tuduhan sekuler. Negara dinyatakan bersistem sekuler. Pandangan aktivis khilafah, agama diposisikan sebagai urusan individu dan negara tidak ikut campur mengurusinya. Apakah penyataan ini benar?
Tujuh teroris yang ditangkap dan kelompok ekstrem ini hanyalah provokator. Mereka memang ingin mengedarkan kebencian agar berkabung di bumi Indonesia. Sekarang, mereka mungkin senang karena media asing telah merespons perilaku mereka. Seakan-akan Indonesia masih belum bisa memberantas habis ancaman radikalisme dan terorisme.
Ke depan, bisa jadi mereka akan terus melakukan hal seperti ini. Salah satu jalan yang akan ditempuh, kelompok teroris dan radikal ini memanipulasi konsep keagamaan dan kenegaraan agar masyarakat tersulut api kebencian terhadap non-Muslim atau Muslim yang tidak sesuai dengan pandangan mereka.
Untuk ini, keberadaan kelompok ini sungguh membahayakan. Narasi dan perilaku teror bukan hanya mengancam kerukunan antarumat beragama, tetapi juga sekaligus ancaman langsung terhadap nilai-nilai keberagaman di Indonesia. Ingat, agama apa pun di dunia mengajarkan kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap kehidupan manusia. Maka apabila ada tafsir dan perilaku terbalik, sesungguhnya ia mengingkari pesan dasar agama.