Harakatuna.com – Pembahasan tentang bid’ah bahkan ungkapan kafir, belakangan sering kali menghiasi perdebatan netizen di media sosial. Hal itu lantaran banyak sekali ekspresi keberagamaan yang tidak memiliki tuntunan dalam hadis dan Al-Qur’an. Di beberapa daerah, banyak sekali budaya dan tradisi yang sampai hari ini terus dilestarikan, bahkan menjadi ciri-ciri pada suatu masyarakat tertentu. Perdebatan tersebut sebenarnya bukan hal baru dalam kehidupan sosio-kultural masyarakat.
Sampai hari ini, netizen terus membandingkan tentang ritual keagamaan yang dilakukan atas dasar tuntutan Al-Qur’an dan hadis, dengan ritual keagamaan yang berdasarkan dari tradisi/budaya masyarakat. Tidak sedikit dari netizen justru berupaya untuk menghilangkan kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat karena dianggap bukan bagian dari ajaran Islam. Untuk menjawab kegelisahan tersebut, setidaknya kita perlu mengetahui beberapa kearifan lokal yang berkembang di tengah masyarakat.
Di Sulawesi Utara, misalnya. Semboyan Torang Samua Basudara dan Torang semua ciptaan Tuhan adalah contoh kearifan lokal yang djadikan semboyan bersama dalam hidup di tengah perbedaan serta merawat kerukunan. Di daerah Jawa, banyak sekali kearifan lokal yang sampai hari ini masih terus dilestarikan sebagai upaya merawat kekayaan budaya, serta tidak lupa terhadap kegiatan-kegiatan di masa lalu.
Di Yogyakarta, misalnya. Pada kompleks pemakaman raja-raja Imogiri, ada salah satu kearifan lokal yang bernama Ngarak Suwur. Tradisi tersebut dilakukan dengan mengarak dua buah siwur sebagai alat untuk menguras air di dalam kong, sebelum melakukan adat nguras kong (mengganti air di dalam kong) dilaksanakan. Berdasarkan jalurnya pelaksanaannya, ngarak siwur dilakukan dimulai dari kantor kecamatan sampai ke tempat komplek pemakamanan raja-raja Imogiri. Kemudian pelepasan ngarak siwur sendiri dipimpin oleh kepala camat yang ditandai dengan pelepasan secara simbolis.
Contoh tradisi di atas, hanyalah sebagian kecil kearifan lokal yang terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat. tidak bisa dipungkiri bahwa, kearifan lokal menjadi salah satu pengetahuan lokal, bahkan bisa dimaknai sebagai sebuah pemikiran hidup. Penguasaan terhadap kearifan lokal akan mengusung jiwa seseorang semakin berbudi luhur. Oleh karena itu, tidak heran apabila para orang tua kita selalu mengingatkan kita sebagai anak muda, untuk terus melestarikan budaya ataupun tradisi yang sudah lama turun-temurun sebagai bagian dari menjaga kekayaan budaya yang dimiliki oleh Indonesia.
Keterikatan masyarakat dengan para leluhur melalui berbagai ritual, budaya ataupun tradisi seringkali dimaknai sebagai perwujudan bid’ah oleh sebagian kelompok karena tidak ada tuntunannya dalam Islam. Padahal, ajaran agama Islam datang dan diterima oleh masyarakat Indonesia, bukan dalam ruang hampa, melainkan dengan berbagai kompleksitas masyarakat, termasuk adanya peleburan dengan budaya yang berkembang di tengah masyarakat.
Agama dan kearifan lokal adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, terutama dalam pembentukan karakter masyarakat yang beragama dan kental akan tradisi. Dalam setiap daerah, pasti ada ciri khas budaya ataupun tradisi yang berkembang. Hal ini karena, pandangan agama perlu sesuai dengan perkembangan zaman.
Artinya, ekspresi keagamaan yang ditampilkan oleh masyarakat Indonesia dengan masyarakat Muslim di luar Indonesia atau di negara lain, pasti akan berbeda. Perbedaan tersebut yang perlu disadari, sehingga tidak ada lagi fenomena membid’ahkan bahkan mengkafirkan kearifan lokal yang terdapat dalam suatu masyarakat, lantaran tidak sesuai dengan tuntutan Islam.
Ajaran Islam yang berkembang di Indonesia, berhadapan dengan berbagai bentuk dan jenis situasi yang terdapat pada masyarakat. Dengan watak semacam itu, kehadiran Islam di suatu wilayah tidak merombak tatanan nilai yang telah mapan di tengah masyarakat, justru bersinergi satu sama lain untuk menunjukkan identitas yang khas yakni Islam Nusantara. Wallahu A’lam.