25.9 C
Jakarta

Siapa yang Beruntung dari Penghapusan Kiai Hasyim dan Gus Dur dari Kamus Sejarah?

Artikel Trending

Milenial IslamSiapa yang Beruntung dari Penghapusan Kiai Hasyim dan Gus Dur dari Kamus...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdhatul Ulama (NU), dan sang cucu, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, hilang dari buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II. Namun, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud, Hilmar Farid mengatakan bahwa penghapusan Kiai Hasyim bukanlah kesengajaan.

“Kemendikbud selalu berefleksi pada sejarah bangsa dan tokoh-tokoh yang ikut membangun Indonesia, termasuk Hadratus Syech Hasyim Asy’ari dalam mengambil kebijakan di bidang pendidikan dan kebudayaan. Museum Islam Indonesia Hasyim Asyari di Jombang didirikan oleh Kemendikbud.  Bahkan, dalam rangka 109 tahun Kebangkitan Nasional, Kemendikbud menerbitkan buku KH. Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri,” jelas Farid.

Apakah masalahnya lantas selesai setelah klarifikasi tersebut? Ternyata tidak. Penghapusan Kiai Hasyim dengan alasan kesalahan entri adalah sesuatu yang aneh. Kejanggalan lainnya adalah, naskah buku tersebut ditulis pada 2017, saat Muhadjir Effendy yang notabene Muhammadiyah jadi Mendikbud. Belum lagi foto Kiai Hasyim dan Gus Dur ada di sampul buku, apakah masuk akal bahwa Kemendikbud teledor memasukkan dua tokoh penting dan keduanya sama-sama dari NU?

Boleh jadi, keteledoran tersebut berusaha memprovokasi NU-Muhammadiyah. Pertanyaannya, siapa aktornya dan siapa yang paling diuntungkan dalam polemik penghapusan Kiai Hasyim? Protes Wakil Sekretaris Jenderal PBNU Andi Najmi Fuaidi yang meminta Kemendikbud menjatuhkan sanksi pada pihak yang terlibat pembuatan kamus tersebut tentu beralasan. PP Tebuireng pun merespons, bahwa masalah ini bukan sekadar salah atau alpa belaka.

Apakah penghapusan Kiai Hasyim benar-benar sudah terstruktur, ada unsur kesengajaan untuk melenyapkan tokoh-tokoh yang sudah berjibaku untuk negeri, itu satu persoalan. Sungguhpun demikian, yang paling penting kita sorot bukanlah respons Ketua Harian Pergerakan Penganut Khitthah Nahdliyyah (PPKNU) H Tjetjep Muhammad Yasin maupun Nahdhiyyin lainnya, melainkan respons non-Nahdhiyyin yang menyinyalir kesalahan tersebut sebagai ulah PKI.

Penghapusan Kiai Hasyim oleh PKI?

Tim penyusun buku Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II adalah Dian Andika Winda, Dirga Fawakih, Ghamal Satya Mohammad, Saleh As’ad Djamhari, Teuku Reza Fadeli dan Tirmizi. Buku juga disertai dua pengantar, pertama pengatar dari Direktur Sejarah Triana Wulandari, dan kedua dari Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Siapa orang-orang tersebut, dan secara khusus siapa Hilmar Farid? Bagaimana dengan rumor bahwa ia adalah aktivis PRD yang pro-PKI?

Menurut Wulandari , penyusunannya bertujuan untuk memudahkan akses informasi kesejarahan sulit yang kerap muncul dalam teks-teks buku pelajaran sejarah, sehingga dapat menunjang kegiatan pembelajaran di dalam kelas. Andai saja Ketua Umum NU Circle Gatot Prio Utomo tidak mengungkap pemanfaatan Kiai Hasyim dan Gus Dur hanya di sampul belaka, mungkin kamus tersebut akan terus beredar tanpa disadari muatan polemisnya.

Dalam Kamus Sejarah Indonesia Jilid I & II, masing-masing jilid memuat informasi kesejarahan yang meliputi nama tokoh, peristiwa dan istilah yang tersusun secara alfabetis. Jilid I memuat daftar informasi kesejarahan pada kurun waktu 1900-1950, yakni pada masa pembentukan negara (nation formation), sementara Jilid II memuat daftar informasi kesejarahan pada kurun waktu 1951-1998, yakni pada masa pembangunan negara (nation building).

BACA JUGA  Ustaz Felix: Simbol Murtad Massal Aktivis Khilafah Menjelang Pemilu 2024

Sementara Gus Dur absen, Abu Bakar Baasyir dan Amien Rais justru luput dari kealpaan. Padahal, Baasyir merupakan sosok mantan narapidana kasus terorisme yang menolak teken ikrar setia pada ideologi Pancasila dan NKRI. Secara abjad juga ketiga nama tersebut berdekatan, sama-sama di entri ‘A’. Dan seharusnya jika Gus Dur tidak sengaja alpa, maka ia juga harus alpa dari penggunaan melengkap sejarah, apalagi sejarah tersebut adalah sejarah Megawati. Sangat tidak logis!

Benarkah kekhawatiran Gus Yasin bahwa Dirjen Kebudayaan Mendikbud Hilmar Farid itu aktivis PRD, condong ke ekstrem kiri—atau dengan istilah lain simpatisan PKI? Dari sinilah, siapa yang beruntung dari penghapusan Kiai Hasyim dan Gus Dur dari kamus sejarah tersebut tampak. Terangnya, itu jadi polemik provokatif.

Tendensi Provokasi

Respons Nahdhiyyin tentang penghapusan Kiai Hasyim dan Gus Dur dari kamus sejarah sangat normal. Yang perlu dipertanyakan adalah respons tokoh yang, dalam rekam jejaknya, ia bukan NU dan bukan simpatisannya. Ada segelintir tokoh yang selama ini kontras dengan narasi NU tiba-tiba membela Kiai Hasyim dengan satu narasi: kebangkitan PKI. Apa tujuannya? Sudah beralih jadi Nahdhiyyin atau hanya memanfaatkan momentum untuk memojokkan rezim?

Mereka ini yang sangat beruntung dari polemik penghapusan Kiai Hasyim dari kamus sejarah. Tetapi kalau ditelusuri, bukan keabsenan Kiai Hasyim yang mereka kritisi, melainkan justifikasi narasi PKI yang mereka mainkan. Dengan begitu Kemendikbud—yang merupakan bagian dari rezim—tercitrakan negatif di masyarakat, dan permainan mereka berhasil. Siapa mereka? Tidak perlu diungkapkan secara gamblang. Cukup kita memahami, siapa yang selama ini frontal melalui isu PKI.

Terlepas dari apakah benar Hilmar Farid itu aktivis PRD yang pro-PKI atau tidak, penghapusan Kiai Hasyim dengan Gus Dur secara bersamaan adalah kesalahan yang terstruktur. Sekalipun ada klarifikasi mengenai kealpaan yang tidak sengaja, bukan dalam rangka membelokkan sejarah, kritik merupakan konsekuensi logis karena memang memiliki sejumlah kejanggalan.

Dar kesemuanya, Kemendikbud harus melibatkan NU dan Muhammadiyah untuk merevisi kamus tersebut. Hilmar Farid sendiri, ke depan, perlu berhati-hati dari kecerobohan, karena setiap polemik selalu ada pihak yang memanfaatkannya. Perlu ada kesadaran kolektif bahwa masalah mengenai negara, pemerintah, NU dan Muhammadiyah adalah masalah sensitif.

Mengapa? Karena ketidakakuran mereka ditunggu-tunggu. Yang menunggunya, ternyata, adalah pihak yang anti-NU dan anti-pemerintah sekaligus. Merekalah yang paling beruntung dari semua polemik, termasuk polemik penghapusan Kiai Hasyim dan Gus Dur dari kamus sejarah.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru