29.7 C
Jakarta

Sesungguhnya Indonesia Belum Merdeka

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanSesungguhnya Indonesia Belum Merdeka
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tak terasa sudah tiba pada hari Sabtu tanggal 17 Agustus 2019. Kendati tahunnya tidak selalu sama, tapi tanggal dan bulannya tetap sama dan terus dikenang sabab tahun. Pada waktu itu Indonesia tercatat sebagai negara yang merdeka dari penjajahan.

Merdeka berarti terbebas dari segala sesuatu yang tercela. Penjajahan disebut tercela, karena itu salah satu sikap yang tidak manusiawi karena memperlakukan orang lain secara tidak sama dengan apa yang diperlakukan terhadap dirinya sendiri atau kelompoknya sendiri.

Sebelum Islam datang, perbudakan menjajah masyarakat Arab. Tidak hanya itu, kaum perempuan diperlakukan secara tidak setara dibandingkan kaum lelaki. Perempuan terlihat sebelah mata dan dianggap makhluk yang rendah sehingga ditempatkan sebagai orang kedua setelah laki-laki. Begitu datangnya Islam, kaum perempuan mulai memiliki ruang gerak yang setara dengan laki-laki.

Sampai detik ini Indonesia merayakan kemerdekaan sudah terhitung tujuh puluh empat kali. Tapi, saya terus bertanya: Sudahkan Indonesia Merdeka? Bukankah masih banyak perbuatan yang tidak mencerminkan kemerdekaan, seperti subordinasi gender? Bahkan, masih ditemukan pembatasan berpendapat dan beragama?

Secara sederhana masih banyak ditemukan pembatasan terhadap ruang gerak kaum perempuan. Salah satunya di pesantren yang notabeni menjadi media yang paling kental ditanamkan pengetahuan keagamaan. Pembatasan ruang gerak santri putri cederung tidak setara dibandingkan santri putra. Santri putri dibatasi seketat mungkin dibandingkan laki-laki. Subordinasi gender di pesantren sesungguhnya berangkat dari bahan bacaan yang misoginis.

Pesantren termasuk media keagamaan terbesar di Indonesia. Perkembangan pesantren tentunya berangkat dari kepercayaan masyarakat melihat pesantren sebagai tempat belajar Islam. Tak heran, pengaruh pesantren juga terasa di tengah-tengah masyarakat, lebih-lebih di pedesaan. Pada era kontemporer masih banyak orangtua yang melarang anak perempuannya belajar di luar pesantren, karena dikhawatirkan terperangkap pada pergaulan bebas, bahkan lebih senang orangtuanya menikahkan anaknya, sekalipun si anak itu belum siap, baik secara lahir dan batin.

Selain itu, tindakan yang mencerminkan Indonesia belum merdeka adalah pembatasan berpendapat. Islam fundamentalis seringkali melihat liberalisme sebagai paham kesesatan, bahkan sesuatu yang berbeda dengannya dikafirkan. Kebenaran, baginya, dibatasi seketat mungkin, sehingga hanya mereka yang berhak memegang kendali kebenaran. Padahal, Islam terbuka untuk ditafsirkan dari sisi yang berbeda dan beragam. Islam tidak mendewakan satu pendapat dan menolak pendapat yang berbeda. Karena, perbedaan belum tentu diklaim salah, namun perbedaan itu selalu mengantarkan kepada rahmat.

BACA JUGA  Satu Hal yang Sering Terlupakan Saat Memasuki Bulan Ramadhan

Gus Dur, Gus Mus, dan Quraish Shihab sering diklaim sesat dan dikafirkan oleh kelompok fundamintalis karena gagasan yang disampaikan terdengar berbeda dengan apa yang mereka pahami. Tindakan penyesatan ini berangkat dari sikap fanatik yang membabi buta. Biasanya sikap fanatik itu timbul disebabkan kekurangan piknik membaca. Apalagi literatur yang dibaca cenderung mengajak berpikir picik.

Saya sendiri belum mengerti apakah penyesatan itu berangkat dari analisis yang objektif sehingga dapat diterima oleh banyak orang atau hanya disikapi secara subjektif sehingga kebenarannya sepihak. Seringkali saya bertanya soal standar kesesatan kepada orang yang gemar menyesatkan. Sayangnya, mereka tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan dan gagasan yang dikumukakannya cenderung fanatis.

Pembatasan berpendapat secara tidak langsung membatasi akal berpikir. Sikap ini dapat mengantarkan seseorang berpikir picik yang sering mencari kesalahan di tengah kebenaran. Begitu juga sikap ini menggiring seseorang bertindak ekstrem. Salah satu yang mengantarkan seseorang menjadi teroris karena dasar pengetahuannya sempit, sehingga orang yang punya gagasan luas dianggapnya salah. Maraknya terorisme di Indonesia menjadi pukulan yang keras bahwa Indonesia secara tidak sadar sedang dijajah. Indonesia diperlakukan secara tidak bebas dari tindakan kekerasan dan kebebasan berpendapat.

Saya bersyukur saat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan beberapa bulan silam. Karena, itu bentuk pencegahan terhadap paham ekstrem yang tidak mengakui sistem negara Indonesia. Saya juga berharap kelompok garis keras, sebut saja Front Pembela Islam (FPI), dihapus, karena doktrin keislaman yang ditawarkannya terkesan kaku dan tidak searah dengan budaya masyarakat di Indonesia.

Demikianlah, sekelumit analisa pagi ini menyambut peringatan kemerdekaan Indonesia yang ketujuh puluh empat. Dirgahayu Indonesia. Semoga Indonesia benar-benar merdeka.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru