Harakatuna.com- Muslimah-muslimah HTI, menjadi salah satu kelompok yang tidak bisa dilepaskan dari perjuangan para aktivis khilafah dalam mendirikan negara Islam di Indonesia. Mereka memiliki spektrum perjuangan tersendiri dengan para aktivis khilafah laki-laki. Target audiens mereka adalah para perempuan di Indonesia, yang sedang melakukan pencarian identitas diri sebagai seorang muslimah dan minim memiliki pengetahuan seputar kebangsaan. Selain itu, audiens mereka adalah kelompok perempuan yang muak dengan seputar masalah sosial-politik-ekonomi yang ada di Indonesia, lalu menemukan narasi imajinasi pendirian negara khilafah.
Muslimah HTI jangan dianggap sepele. Mereka bukan dari golongan masyarakat bawah yang tidak berpengetahuan atau tidak memiliki power seperti pengetahuan, karir, hingga pendidikan. Mereka terdiri dari para akademisi, cendekiawan, aktivis, politisi, yang hadir dan aktif menyuarakan isu sosial yang terjadi di masyarakat. Di media sosial, mereka aktif mengkampanyekan khilafah. Beberapa channel muslimah HTI, di antaranya: Muslimah Media Hub, Supremacy, Institut Muslimah Negarawan, Blusukan, Back to Muslim Identity, Suara Muslimah Bumi Cenderawasih, We are the Explore, Muslimah Bangil dan Muslimah Minang Rindu Syariah.
Muslimah HTI cukup unik. Ia berbeda dengan perempuan-perempuan dari kelompok radikal lainnya seperti Jemaah Islamiyah (JI), Jama’ah Ansharud Daulah (JAD), atau Negara Islam Indonesia (NII) yang cenderung tertutup dan tidak memiliki ruang aktivitas publik, serta melawan secara terang-terangan apabila ada masalah sosial atau kebijakan publik yang bermasalah. Mereka adalah kelompok yang setiap waktu, menyerang feminisme, sekulerisme, liberalisme melalui kacamata perempuan.
Muslimah HTI anti terhadap feminisme, selain ide tersebut dari Barat, ideologi itu juga tidak diajarkan dalam Islam sebab kemuliaan perempuan sudah merupakan makhluk terhormat dalam Islam. Perlu digaris bawahi, bahwa tidak semua perempuan yang anti terhadap feminis adalah muslimah HTI. Namun jika alasannya adalah sistem lalu mengkampanyekan pendirian Islam kaffah, berarti ia muslimah HTI.
Anehnya, narasi yang disampaikan oleh para Muslimah HTI cenderung bias. Di satu sisi, mereka menyuarakan tentang domestifikasi perempuan yang berkenaan tentang karir terbaik seorang perempuan adalah di rumah, melayani suaminya dan mengurus rumah tangga. Namun, di sisi lain, sebagian besar dari muslimah tersebut adalah kelompok menengah yang memiliki karir, pendidikan dan pekerjaan publik yang baik sebagai manusia. Oleh karena itu, sebagai perempuan kita tidak boleh tertipu oleh narasi para muslimah HTI yang selalu melakukan propaganda terhadap problematika perempuan yang ada di Indonesia.
Meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, kesejahteraan perempuan, keamanaan perempuan di ruang publik, perlu disuarakan agar pemerintah lebih banyak menciptakan kebijakan atau ruang publik yang ramah terhadap perempuan. Namun, menyuarakan pendirian Islam kaffah di tengah banyaknya masalah perempuan, adalah masalah yang tidak masuk akal.
Akan tetapi, hal yang tidak masuk akal tersebut bisa di terima oleh banyak perempuan karena yang menyuarakan adalah muslimah HTI berasal dari akademisi, cendekiawan, atau muslimah kelas menengah yang sudah memiliki pengikut. Maka dari itu, perlu lebih banyak muslimah dari kalangan moderat seperti NU, Muhammadiyah ataupun organisasi lainnya untuk menyuarakan Islam dan kebangsaan. Kita perlu memiliki kepercayaan diri yang tinggi melalui media sosial untuk menyuarakan problematika perempuan dan kebangsaan, agar perempuan di Indonesia tidak terjebak oleh ajakan sesat para muslimah HTI.
Kita memiliki banyak tokoh populer yang bisa dijadikan panutan agar para perempuan tidak terjebak dalam ajaran radikal. Para bunyai, ning, ustazah, tokoh agama dari kalangan moderat, mari memperbanyak narasi-narasi ajaran Islam yang memanusiakan perempuan dan menghargai kemuliaan perempuan. Lawan kita saat ini adalah ideologi yang memenjarakan perempuan. Muslimah-muslimah HTI memiliki militansi besar dalam menyuarakan khilafah. Kita juga harus menjadi muslimah yang memiliki militansi besar untuk menyuarakan bahwa, Indonesia tidak butuh khilafah dan kemerdekaan perempuan tidak akan didapat dengan menegakkan khilafah. Wallahu A’lam.