33.2 C
Jakarta

Serial Pengakuan Mantan Teroris (XXX-III): Arif Budi Setyawan, Famili Amrozi, Menjadi Korban Terorisme

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Mantan Teroris (XXX-III): Arif Budi Setyawan, Famili Amrozi, Menjadi Korban...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Keluarga kecilku memberi nama aku Arif Budi Setyawan. Sekarang aku menginjak usia tiga puluh enam tahun. Usia yang relatif menua. Banyak cerita pengin aku bagi. Tentunya, cerita tentang perjalananku menjadi seorang teroris.

Sekarang aku menyesal, masa mudaku dihabiskan dengan sesuatu yang kurang bermanfaat. Penyesalan ini menghujam diriku, karena aku sadar pernah terjebak propaganda terorisme. Masa muda, bagiku, masa yang sangat produktif. Masa di mana aku harus berkarya. Sayang, masa mudaku seakan nasi menjadi bubur.

Di usia menua sekarang aku merasa ghirah produktifitasku mulai menurun. Tapi, aku tetap tidak mau menyerah melawan penyesalan ini. Rasanya banyak dosa sosial yang telah kuperbuat. Kini aku pengin menebus dosa sosial ini dengan berbagi cerita-cerita sehingga orang lain tidak terjebak dalam cerita yang sama.

Masih ingat, dulu aku termasuk orang yang menjembatani pengiriman imigran ke negara ISIS, Suriah. Mungkin orang kaget mendengar pengakuanku. Apalagi, penampilanku tidak menggambarkan pelaku dan otak terorisme. Aku sadar, menjadi teroris tidak harus diperlihatkan di depan publik. Cukup sembunyi-sembunyi.

Sungguh aku telah membohongi banyak orang. Mereka percaya semua perkataanku. Sehingga, mereka mengalihkan perhatiannya ke Suriah. Mereka mulai membenci Indonesia, kendati negara merah putih ini tanah airnya sendiri. Mereka lebih memilih bergabung dengan ISIS. Merek pengin belajar al-Khilafah ala manhaj an-nubuwwah. Maksudnya, sistem khilafah ala Nabi Muhammad Saw.

Aku belum pernah merasakan betapa pedihnya orang yang terjebak di dalam negara ISIS yang kejam itu. Penderitaan demi penderitaan tentu menyayat hati mereka. Sampai kemudian mereka pasrah, karena tidak punya jalan keluar dan tempat bersandar, selain mendapat uluran tangan Tuhan. Semua penyesalan itu dirasakan begitu tahu, yang diharapkan hanyalah isapan jempol belaka.

Tidak hanya menjadi pengirim orang-orang ke negara ISIS, aku juga menjadi pencari dana untuk kegiatan-kegiatan terorisme. Dana ini biasanya dikumpulkan dari kotak-kotak masjid atau kotak amal yang diletakkan di IndoMart. Pasti orang tidak tahu kotak amal itu untuk kepentingan terorisme.

Sekarang aku sadar telah berdosa besar. Menipu banyak orang Islam untuk berderma, sementara hasil derma itu digunakan untuk sesuatu yang dilarang agama. Aku seakan pencuri diam-diam. Seandainya orang tahu tujuan derma itu yang sebenarnya, pasti mereka tidak bakal menyisihkan uang sakunya untuk berderma.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXVIII): Eks Napiter Sugeng Sukses Kembangkan Usaha Water Boom, Pemancingan Hingga Kuliner

Bahkan, aku menjadi pembeli senjata-senjata sampai pengajar pembuatan bom. Seakan di luar dugaan aku bisa melakukan itu semua. Seakan mimpi aku bisa sampai di titik itu. Tentu, semua itu berangkat dari keinginan yang kuat. Bom, setahuku, bagian dari senjata para pelaku teror.

Terorisme termasuk radikalisme. Aku mengenal paham menyesatkan ini berawal pada tahun 1995 ketika mondok di Pesantren Al-Islam Tenggulun, Lamongan. Pesantren ini dibangun oleh keluarga Amrozi, otak di balik peristiwa Bom Bali 2002. Secara genetik aku masih punya ikatan famili dengan keluarga Amrozi.

Keinginan kuat terjun di dalam kelompok teroris tidak lain karena aku mulanya diperkenalkan di pesantren itu dengan pemahaman tentang jihad yang ditafsirkan sebatas perang melawan orang-orang kafir. Orang kafir, bagi kelompok teroris, wajib dibunuh. Aku terbius bujuk rayu para ustaz yang mengajar di sana.

Pada tahun 1999 aku pindah dari pesantren ke Sekolah Teknik Menengah di sebuah kota. Lingkungan di luar pesantren tentunya berbeda dengan di dalam pesantren. Meski tidak nyantri lagi, aku tetap belajar paham teroris. Pengajaran ini dilakukan dengan mengikuti pengajian-pengajian.

Lebih dari itu, aku juga belajar paham teroris melalui jaringan internet. Belajar lewat internet sungguh sangat mudah dan menyenangkan. Belajarnya tidak perlu susah-susah bertatap muka dengan para ustaz atau santri lainnya. Jaringan yang aku akses saat itu meliputi mailing list, mIRC, dan beberapa situs khusus forum jihad.

Perbuatan terlarang ini kemudian mengantarkanku mendekam di balik jeruji besi pada tahun 2014. Saat itu aku ditangkap lantaran turut menyediakan senjata dalam perencanaan operasi penyerangan di Poso, Sulawesi Tengah. Aku divonis empat tahun sepuluh bulan penjara. Namun, aku bisa bebas pada bulan Oktober 2017 karena mendapat remisi.

Saat aku terbebas dari penjara, aku kembali ke masyarakat. Namun, masyarakat tidak langsung menerima kehadiranku. Mungkin, mereka masih khawatir aku akan melakukan aksi-aksi teroris kembali. Aku terima kenyataan pahit ini, karena itu semua terjadi akibat dari perbuatanku sendiri.[] Shallallah ala Muhammad.

Catatan: Tulisan ini adalah hasil rangkuman dan asumsi penulis yang diambil dari kompilasi tulisan di berbagai media. Bukan hasil wawancara langsung penulis. 

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru