29.7 C
Jakarta

Serial Pengakuan Mantan Teroris (XX-III): Paimin Korban Doktrin Radikalisme dan Jihadisme

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Mantan Teroris (XX-III): Paimin Korban Doktrin Radikalisme dan Jihadisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya, Paimin, masih ingat kali pertama saya merantau ke Jakarta. Merantau untuk mencari sesuap rezeki di ibu kota. Di Kemayoran saya berjuang jualan mie dan di situ pula tepatnya di Masjid al-Huda saya mengikuti pengajian atau semacam majlis ilmu. Saya belajar di majlis itu tentang jihad fi sabilillah. Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh beberapa ustadz. Saya masih ingat ustadz yang ngajar waktu itu. Namanya Ustadz Abu.

Setelah beberapa lama saya belajar tentang jihad fi sabilillah saya malah diarahkan untuk menjadi mujahid yang keliru. Saya sebut keliru, karena jihad ini bukan jihad yang dikehendaki oleh Islam, tetapi jihad yang dilaknat oleh Islam, yaitu terorisme. Saya belum menyadari aksi teror ini bagian dari sesuatu yang dilarang dalam agama Islam. Saya melakukannya dalam kondisi pikiran yang tertutup. Saya masih ingat aksi teror yang saya lakukan pertama kali, yaitu membawa racun untuk membunuh beberapa polisi.

Selain karena pengaruh doktrin jihad yang disampaikan oleh ustadz, ada hal yang membuat saya mendorong menjadi teroris, yaitu kesulitan saya memberikan makanan ke teman saya yang dihukum di tahanan. Sehingga, muncul pikiran bahwa polisi itu jahad, zalim, dan semacamnya. Apalagi, pengajaran jihad yang biasanya disampaikan oleh orang-orang teroris selalu membenturkan antara spirit jihad dan thaghut yang biasanya dialamatkan kepada polisi. Memerangi thaghut adalah sebuah kewajiban. Saya terjebak dalam pikiran berjihad memerangi thaghut yang dialamatkan kepada pihak kepolisian.

Aksi teror yang saya lakukan akhirnya mengantarkan saya menjadi tahanan di LP Magelang. Bertahun-tahun di tahanan saya sering menentang hukum yang diberikan oleh kepolisian. Tindakan tragis saya lakukan, seperti merusak pintu tahanan. Saya lakukan itu berkali-kali. Memang pada awalnya saya belum sadar. Saya merasa paling benar, sedang polisi selalu ada di posisi yang salah. Sikap emosi yang menguasai jiwa ternyata tidak menghantarkan saya meraih ketenteraman batin. Malah saya makin gelisah. Lambat laun, saya merenung. Melihat ke belakang apa telah yang telah dikerjakan. Sehingga, saya sampai pada satu titik yang membuat hati tenang: berdamai dengan takdir.

Saya menenangkan hati yang kalut dan nelangsa. Saya mengubah mindset negatif menjadi positif. Di situlah saya meraih apa yang disebut dengan ketenangan jiwa. Saya mulai melihat orang lain, termasuk kepolisian adalah orang yang baik. Sebagian mereka ada yang lebih taat ibadahnya dibandingkan saya. Mereka mengabdikan dirinya untuk negara. Saya menyesal telah melakukan sesuatu yang tidak berdaya guna kepada orang lain, terlebih kepada keluarga saya sendiri. Air mata penyesalan mengalir tiada terasa. Mungkin inilah titik balik saya melakukan taubat nashuha?

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXVIII): Eks Napiter Poso Mie Kembali ke Pangkuan NKRI

Saya masih ingat juga, di penjara saya dipertemukan dengan beberapa tahanan yang memiliki kasus yang sama. Sekitar lima orang yang ditahan karena kasus teroris. Ketika saya menyadari kesalahan ini saya ikut kasihan melihat orang-orang yang dibutakan hatinya dengan paham teroris. Berkat refleksi dan mengingat keluarga, terlebih kerja istri dan anak di rumah, saya sadar dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang sama. Bagi saya, aksi teroris adalah dosa besar. Karena, terorisme itu membunuh banyak jiwa. Sedang, membunuh satu jiwa saja sama dengan membunuh berjuta-juta jiwa. Naudzu billah!

Sepulang dari tahanan saya kembali ke masyarakat di mana saya dilahirkan, Sragen. Di tengah masyarakat saya bekerja keras untuk mencukupi nafkah keluarga. Harapan ke depan, anak-anak saya tidak menjadi seperti saya yang terjebak dalam kubangan terorisme. Saya bersikeras untuk menyekolahkan anak saya sehingga mereka dapat menimba ilmu-ilmu agama dengan benar. Karena, orang yang ilmu agamanya mapan tidak bakal terpengaruh dengan paham radikal berwajah terorisme. Hanya orang awam dan tidak paham agama yang gampang melakukan aksi teror.

Lebih dari itu, saya membuat Peduli Lingkungan Sekitar (PLS) yang bertujuan untuk membangkitkan ekonomi masyarakat. PLS ini menyelenggarakan bisnis perikanan. Karena itu, saya diterima dengan baik oleh masyarakat. Saya bahagia melihat masyarakat bahagia. Masyarakat tidak pernah mengucilkan saya karena saya mantan narapidana teroris (napiter). Saya akan terus membangkitkan Indonesia mulai dari kampung di mana saya tinggal. Saya memulai dari kecil sehingga pada akhirnya menjadi besar. I love Indonesia.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini dinarasikan dari cerita Eks-Napiter asal Sragen, Paimin yang dimuat di akun YouTube BIN Official RI

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru