32.9 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks Napiter (C-XXXIII): Curhat Eks Napiter Hasan Terlibat dalam Bom Bunuh Diri di Mapolresta Solo

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Eks Napiter (C-XXXIII): Curhat Eks Napiter Hasan Terlibat dalam Bom...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Radikalisme dan terorisme menjadi masalah serius di negeri ini. Tak sedikit korban yang berjatuhan, baik sebagai pelaku sendiri atau sebagai sasaran dari kejahatan ini. Bangsa tanah air telah kehilangan masa depannya. Mereka semakin diperbudak oleh kejahatan ideologi tersebut.

Butuh sikap defensif atau pencegahan terhadap tumbuh dan berkembangnya radikalisme-terorisme. Tanpa disadari radikalisme itu benih, sementara terorisme adalah buah. Siapapun yang menanam benih radikalisme pada akhirnya ia tinggal menunggu waktu memetik buahnya, yaitu terorisme.

Dari radikalisme ke terorisme jelas membutuhkan waktu. Di situ pelaku terorisme didoktrin pikirannya dan dicuci otaknya dengan jihad perang (jihad qital) melawan orang-orang kafir yang diklaim sebagai thaghut atau musuh Tuhan. Biasanya yang dimusuhi adalah institusi kepolisian, karena pihak kepolisian dianggap oleh para teroris sebagai pihak yang menghalangi kepentingannya.

Bangsa Indonesia yang pernah terpapar radikalisme-terorisme adalah Haryanto alias Hasan (selanjutnya disebut: Hasan). Ia merupakan eks narapidana teroris (napiter) kasus bom bunuh diri di Mapolresta Solo pada pertengahan tahun 2016 lalu.

Hasan menceritakan kali pertama terpapar radikalisme. Dulu awalnya ia menganggur, kemudian ia berkumpul dengan kelompok teman kajian. Hingga ia mendapat doktrin bahwa pemerintahan sekarang itu buruk dan tidak adil. Buruk karena pemerintah dianggap sebagai thaghut atau musuh Tuhan, kemudian tidak adil karena pemerintah bertindak secara otoriter.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXX): Eks Napiter Khoirul Ihwan Ternyata Pernah Gabung dengan HTI

Sampai Hasan diperintahkan untuk menyiapkan sebuah sepeda motor, yang ternyata digunakan untuk aksi pemboman tersebut. Ia mengaku, tidak tahu mengenai rencana aksi teror itu. Ia hanya mengikuti apa yang diperintahkan oleh pelaku terorisme. Seandainya tahu, ia pasti menolak, karena ia sadar perintah itu membahayakan.

Akibatnya, Hasan terjerat dalam pusaran paham radikal. Tak lama setelah itu, ia ditangkap dan menjalani kurungan 3 tahun di dalam penjara. Selama di penjara, ia melakukan banyak refleksi, bahwa apa yang telah ia lakukan sampai menyeret ia masuk penjara adalah perbuatan yang keliru. Karena, jika yang ia lakukan benar, pasti pihak kepolisian tidak memenjarakannya.

Refleksi itu menghadirkan manfaat yang cukup besar. Hasan disadarkan dengan nasib yang membawanya mendekam di dalam penjara. Itulah hidayah yang menjadi hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak mampu melakukannya, jika Tuhan tidak menghendaki. Hasan hijrah ke jalan yang benar: kembali ke pangkuan NKRI.

Peristiwa radikalisme dan terorisme yang menimpa Hasan dapat dijadikan renungan bagi kita semua. Kita harus lebih berhati-hati terpapar radikalisme-terorisme. Karena, begitu masuk di dalam kejahatan ini, sangat sulit keluar. Maka, mending siaga saja. Agar selamat![] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita mantan narapidana teroris Hasan yang dimuat di media online Tribunnews.com

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru