26.1 C
Jakarta

Seperti Syekh Ramadhan al-Buthi, Taruhan Memerangi Radikalis-Ekstremis Memanglah Nyawa

Artikel Trending

Milenial IslamSeperti Syekh Ramadhan al-Buthi, Taruhan Memerangi Radikalis-Ekstremis Memanglah Nyawa
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Syekh Ramadhan al-Buthi adalah salah satu ulama Suriah yang concern membahas tentang jihad dan persoalan keislaman kontemporer lainnya. Bukunya, Al-Jihad fi al-Islam: Kaifa Nafhamuhu wa Kaifa Numarisuhu, berhasil membuat kaum radikalis-ekstremis kebakaran jenggot, lalu membakar karya-karya al-Buthi. Ia juga dicap kafir, Syiah, dan boleh dibunuh. Tidak terbayangkan bahwa ulama sealim al-Buthi, bagi mereka, adalah musuh. Lalu dibunuhnya.

Syekh Ramadhan al-Buthi syahid oleh bom bunuh diri seorang remaja belum genap berusia dua puluh tahun yang pura-pura mengikuti pengajian di Masjid Jami’ Al-Iman, Mazraa, Damaskus, pada 21 Maret 2013. Seperti diketahui, ia dalam pengajiannya sering kali menyinggung konflik Suriah sebagai fitnah yang harus disudahi. Al-Buthi juga tidak jarang mendakwahkan sikap kompromistis terhadap pemimpin yang kemudian membuatnya tertuduh, kaum radikalis-ekstremis, sebagai ulama pemerintah.

Dalam wawancara dengan Republika, putra al-Buthi, Taufiq Ramadhan al-Buthi, meluruskan duduk persoalannya. Menurutnya, dalam konteks konflik Suriah, al-Buthi memiliki sikap yang dilandasi dengan kaidah syariat: tidak condong ke satu pihak, atau mendukung pihak lainnya. Al-Buthi berpegangan pada dua hal, hukum syariat menentang pemerintah (uli al-amri) dan kepekaan bahwa konflik tersebut merupakan fitnah yang berupaya memecah belah negara.

Agenda memecah belah Suriah menjadi sekterian dan sukuisme, hingga menjadi negara-negara kecil yang saling bersiteru, ternyata juga menimpa Indonesia. Kaum radikalis-ekstremis melakukan segala cara, bahkan merangsek posisi-posisi strategis seperti majelis dakwah dan aparat negara. Tidak heran, misalnya, kemarin sempat viral ihwal ‘polisi sunnah’. Radikalis-ekstremis mendakwahkan Islam puritan dan eksklusivisme yang melemahkan komitmen nasionalisme.

Melawan mereka, al-Buthi bisa menjadi teladan. Ia tidak pernah mundur sedikit pun dalam mendakwahkan agar masyarakat mencintai Suriah, di samping perintah syariah mengenai ketundukan terhadap uli al-amri. Karyanya dibakar, tetapi jiwa jihadnya semakin kuat, dan berakhir sebagai syahid karena Allah. Al-Buthi menjadi ikon dari komitmen menjaga keutuhan bangsa di satu sisi, dan di sisi lain sebagai potret keniscayaan memerangi kaum radikalis-ekstremis dan propagandanya.

Propaganda Radikalis-Ekstremis

Memang benar, terminologi moderat dan puritan tidak hanya describe, melainkan juga judge (Abou El Fadl, 2007: 16). Artinya, term radikalis-ekstremis mungkin memiliki anasir tuduhan. Tetapi secara politik, mereka dapat tergeneralisasi sebagai kalangan yang bercita menciptakan disintegrasi bangsa. Alih-alih menyebarkan Islam, mereka sebenarnya tengah mempropagandakan ideologi. Islam ideologis mereka itulah yang harus bersama-sama dilawan, bahkan sekalipun nyawa risikonya.

Di Indonesia, beberapa tokoh publik tidak asing bagi semua kalangan. Kendati perlu digarisbawahi bahwa tidak semua mereka punya motif yang sama, namun tetap laik tercap sebagai radikalis. Khalid Basalamah dan Firanda Andirja tidak sama dengan Felix Siauw dan Ismail Yusanto. Narasi Islam ala PKS juga tidak sama dengan FPI, misalnya. Meski berbeda, kesemuanya menjalankan propaganda masing-masing. Negara ini, dengan demikian, tercengkeram ragam ideologi yang riskan.

Semua lini tidak luput dari propaganda mereka. Pendidikan dan majelis taklim menjadi sasaran empuk, menggaet jemaah: yang muda dan yang tua. Pembelokan sejarah kebudayaan Islam sebagai sejarah politik Islam dan khilafah, juga kezaliman pemimpin dan demokrasi menjadi bumbu propagan tersebut. Di salah salah satu desa di Jember, Jawa Timur, Wahabi punya pendidikan tinggi. Itu adalah satu dari ratusan lainnya di seluruh pelosok di Indonesia.

BACA JUGA  Serangan Moskow dan Bukti Kekejaman Teroris di Bulan Ramadan

Kaum radikalis-ekstremis, dalam hal mengapa mereka dapat mempertahankan eksistensinya di masyarakat, juga karena propaganda: mereka bisa memberikan akomodasi yang golongan lainnya tidak bisa. Fakta demikian mirip dengan sekumpulan preman yang memberikan bantuan sosial kemanusiaan dengan balasan ‘legitimasi eksistensial’. Dengan akomodasi tersebut, mereka memenangkan hati masyarakat, dan indoktrinasi ideologi berjalan lancar.

Masih di Jember, yang tidak perlu disebutkan lokasi spesifiknya. Kaum radikalis-ekstremis mampu menyewa rumah dengan harga fantastis—jauh lebih tinggi dari harga lumrahnya. Setiap Idul Adha, daging kurban berserakan di setiap pintu warga, bantuan dari mereka. Sementara kita berdebat soal politik terus menerus, mereka justru menyelinap diam-diam memenangkan hati masyarakat agar anti-pemerintah. Propaganda tersebut tentu tidak bisa dibiarkan. Demi negara.

Demi Negara

Apakah salah memberikan bantuan daging kurban dan berbagai jenis akomodasi lainnya? Kenapa mereka yang kelihatannya sangat baik malah dicap radikalis-ekstremis? Mungkin sebagian orang akan bertanya begitu. Tidak sedikit yang melihat zahir semata dan menjadikannya tolok ukur penilaian. Pandangan tersebut mengabaikan fakta bahwa tidak ada makan siang gratis. Mereka akan memberikan apa pun, tetapi mereka harus mendapat feedback dari kebaikannya.

Kendati tidak dapat digeneralisasi, feedback paling jelas adalah kompromi masyarakat dan menerima keberadaan mereka. Setelah itu, menerima isi dakwahnya. Lalu mengamalkannya jika bisa, baik purifikasi Islam atau keberagamaan yang ekstrem. Tidak ada kritik bisa terlayangkan meski para radikalis-ekstremis menginstruksikan konfrontasi, mengafirkan sesama, memonopoli politik, dan lainnya hanya karena satu alasan: hutang budi terhadap kebaikannya.

Sebagaimana al-Buthi yang tidak terpengaruh propaganda kaum ekstremis di Suriah, kita juga mesti terhindar dari muslihat radikalis-ekstremis yang menginginkan perpecahan. Demi negara, melawan mereka merupakan sesuatu yang niscaya. Aparat di Poso sudah beberapa kali menjadi korban melawan MIT, dan di daerah-daerah lain, kaum ekstremis harus diserang habis sebelum mereka yang justru menyerang duluan. Apakah cita-cita tersebut terealisasi?

Ternyata tidak. Banyak di antara kita yang justru menyerang sesama. Tidak sedikit pula yang semakin haris bertambah antipati terhadap pemimpin dan menawarkan solusi dari radikalis-ekstremis, yaitu: Indonesia harus berlandaskan Islam agar negara makmur dan rakyat sejahtera. Jika ulama sekaliber al-Buthi keras ketika berbicara mengenai kaum ekstremis, segelintir ulama –mengaku sebagai ulama—di Indonesia justru jadi bagian dari ekstremis itu sendiri.

Al-Buthi sampai harus mempertaruhkan nyawa untuk menyampaikan kebenaran, melawan kaum radikalis-ekstremis dan propagandanya. Sementara kita? Kebalikannya. Sibuk menjelekkan sesama karena berbeda, semakin gampang membid’ahkan dan mengafirkan. Jika idealnya kita harus rela pertaruhkan nyawa demi bela negara, yang terjadi justru rela mempertaruhkan agama demi memecah belah negara.

Dalam menghadapi radikalis-ekstremis, kita mau meniru jejak keberanian al-Buthi yang sampai syahid, atau justru seperti musuhnya; akan jadi agen propaganda juga?

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru