33 C
Jakarta

Separatisme KKB, Etno-Nasionalisme, dan Ancaman Disintegrasi NKRI

Artikel Trending

KhazanahOpiniSeparatisme KKB, Etno-Nasionalisme, dan Ancaman Disintegrasi NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua selalu identik dengan kekerasan. Subversifme yang berkelindan dengan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan telah melahirkan praktik terorisme berlatar separtisme paling brutal dalam sejarah Indonesia pasca Orde Baru. Brutalitas KKB tidak lagi diragukan. Aparat keamanan diserang, warga sipil diteror, fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar tidak luput menjadi sasaran amuk.

Jika dibaca dalam perspektif yang lebih luas, KKB merupakan ekspresi dari kebangkitan etno-nasionalisme. Yakni kesadaran atau komitmen kebangsaan yang dilandasi oleh identitas etnis, ras, suku, warna kulit dan identitas primordial lainnya. Di Indonesia, etno-nasionalisme ini mewujud ke dalam gerakan-gerakan separatisme mulai dari gerakan kemerdekaan Timor Timur, Gerakan Aceh Merdeka, Republik Maluku Selatan, juga Organisasi Papua Merdeka.

Menurut Daniel Dakhidae (2019), fenomena etno-nasionalisme dilatari oleh setidaknya dua hal. Pertama, adanya perasaan senasib dan sepenanggungan dalam satu komunitas etnis yang kemudian bereskalasi menjadi kehendak untuk membentuk sebuah bangsa atau negara. Kedua, adanya kebanggaan berlebihan terhadap identitas etnis, suku, ras dan identitas primordial yang disandang kelompok tertentu. Kebanggaan itu lantas diterjemahkan sebagai gerakan politik.

Dakhidae beranggapan bahwa etno-nasionalisme sebenarnya merupakan hal yang alamiah. Orang Jawa misalnya pasti akan memiliki perasaan senasib dengan sesama suku Jawa serta pasti memiliki kebanggaan akan identitas kesukuannya. Etno-nasionalisme juga tidak menimbulkan persoalan sepanjang tidak bereskalasi menjadi gerakan melawan pemerintahan yang sah. Sayangnya memang, etno-nasionalisme selalu bertendensi melahirkan gerakan subversif, makar, bahkan separatis seperti tampak dalam fenomena KKB di Papua.

Nasionalisme pada dasarnya merupakan satu bentuk komitmen kebangsaan yang utuh. Tidak bisa ditawar, baik oleh sentimen keagamaan maupun kesukuan. Komitmen pada nasionalisme mensyaratkan individu dan masyarakat untuk meletakkan kepentingan pribadi dan golongan di bawah kepentingan bersama (masyarakat dan negara). Etno-nasionalisme yang bangkit akhir-akhir ini ialah musuh bagi nasionalisme sekaligus berpotensi menciptakan disintegrasi bangsa.

Etno-nasionalisme yang disikapi secara permisif akan melahirkan apa yang disebut Michael Foucoult sebagai “implosion” alias ledakan ke dalam. Yakni adanya kekuatan-kekuatan yang berusaha memecah bangsa dan negara menjadi kepingan-kepingan kecil berdasar sentimen primordial (ras, etnis, suku, warna kulit, dan sejenisnya). Etno-nasionalisme dengan demikian merupakan virus dalam ekosistem kebangsaan yang dilandasi semangat persatuan dan egalitarianisme.

BACA JUGA  Etika Politik Berbasis Religi sebagai Kontra-Polarisasi Pemilu 2024

Meredam Etno-Nasionalisme

Maka, upaya mengatasi persoalan KKB Papua ialah dengan meredam setimen kebangkitan etno-nasionalisme. Caranya ialah dengan membangun kesadaran nasionalisme yang didasarkan pada konsep negara-bangsa. Semua masyarakat harus memiliki kesadaran bahwa NKRI ialah negara-bangsa yang dibangun di atas kesadaran nasionalisme universal. Yakni kesadaran kebangsaan yang melampaui identitas keagamaan, kesukuan, ras, etnis, dan sebagainya.

Konsep nasionalisme universal inilah yang harus kita bumikan dan arusutamakan dalam kehidupan politik dan sosial-budaya kita. Tujuannya untuk meredam sentimen etno-nasionalisme yang kian subur di era pasca-modern ini. Integrasi NKRI yang terdiri atas pluralitas reliji dan multikulturalitas etnis harus dipertahankan. Dalam kehidupan politik kita perlu menggagas sebuah model demokrasi dialogis yang bertumpu pada asas musyawarah dalam menyelesaikan masalah.

Arah demokrasi kita belakangan ini harus diakui mulai mengarah pada liberalisme. Liberalisasi demokrasi itu tidak pelak telah meninggalkan sejumlah residu persoalan. Antara lain ialah kian permisifnya publik pada segala ide dan wacana, termasuk yang mengancam keutuhan bangsa dan negara. Hal ini tampak misalnya pada sikap sejumlah aktivis dan pegiat hak asasi manusia yang secara terang-terangan kerap membela kelompok separatis.

Sedangkan dalam kehidupan sosial-budaya kita perlu mengembangkan paradigma multikulturalisme. Yakni pandangan yang meyakini tentang ragam kehidupan di dunia, atau kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan tentang adanya keragaman, kebhinekaan, pluralitas, sebagai realitas utama dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem sosial- budaya, dan politik yang mereka anut.

Dalam paradigma multikulturalisme, kebangsaan dikelola dengan mengedepankan penghargaan terhadap keragaman, kemajemukan dan kebinekaan, tentu dalam bingkai persatuan dan integrasi bangsa. Oleh karena itu, multikulturalisme harus menjadi paradigma pendidikan, birokrasi dan kehidupan sosial-budaya kita.

Sivana Khamdi Syukria
Sivana Khamdi Syukria
Pemerhati isu sosial dan keagamaan, alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru